Monday 7 September 2009

Agar Anak Tak Berguru Pada TV

”Bu, kalau mau bahagia, ibu dan ayah ke On Clinic aja...” begitu saran Nadine (6 tahun) kepada ibunya, Sarah.
Sarah tersentak dan dengan hati-hati bertanya balik, ”Memang On Clinic itu tempat apa?” (Sarah belakangan menjelaskan ke saya bahwa ia mengajukan pertanyaan ini dengan dada berdebar-debar tak karuan).
Nadine menjawab dengan santainya, ”Tempat berobat supaya bahagia... Ayah dan ibu bisa minta obat biar bahagia terus!”

Sarah bercerita kepada saya, celoteh Nadine tentang On Clinic itulah yang menyadarkan- nya bahwa anaknya itu sudah terlalu jauh menjadi ”anak TV”. Nadine memang gemar menonton TV. Aktivitasnya sepulang sekolah kebanyakan diisi dengan menonton TV.
On Clinic yang diperbincangkan Nadine adalah klinik yang diiklankan sebagai tempat untuk ”kebahagiaan suami-istri” –ini adalah klinik untuk pria yang memiliki masalah seksual. Wajarlah Nadine si ”anak TV” mengenal tempat ini, karena iklannya cukup gencar muncul di TV pada sembarang jam pada berbagai stasiun.


***


“Kubunuh kau, Papa!”
Kata-kata “sadis” itu diucapkan seorang anak batita kepada ayahnya. Wajah si anak merah padam. Ia berkata demikian sambil memegang kerah baju ayahnya.
Ucapan dan perilaku “ala adegan TV” itu muncul karena si anak kesal akibat ulah usil ayahnya saat ia bermain balok susun. Ayah dan ibu sang anak tentu amat kaget dengan ucapan dan perilaku si upik.


Anak kecil itu adalah Grace Christina. Saat ia duduk di bangku SMP, ia menuangkan pengalamannya itu dalam esai berjudul sangat impresif, “Kubunuh Kau, Papa” yang memenangkan Penghargaan UNICEF untuk Penulis Muda Indonesia 2006 untuk kategori SLTP.


Grace berkisah bahwa ia menjadi anak yang dibebaskan menonton TV saat masih kecil. Acara yang paling disukainya adalah film laga yang penuh kekerasan. Setiap kali menonton orang marah-marah, saling memaki dengan kata-kata kotor, saling pukul dan baku tembak, Grace kecil selalu berteriak-teriak memberi dukungan tanpa tahu mana tokoh baik dan mana yang jahat.

***


Kisah Nadine atau Grace kecil adalah kisah yang sering terdengar tentang anak-anak yang banyak menonton TV. Bagi banyak anak, TV bisa dikatakan sebagai ”media sehari-hari”, karena benda ini selalu dalam keadaan ”on” pada banyak rumah. Di antara berbagai media, TV sering dikatakan sebagai media yang paling dekat dengan anak.
Tingkat konsumsi TV oleh anak menunjukkan angka yang tinggi. Beberapa survei mengenai pola menonton TV pada anak menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah jam menonton TV pada anak menunjukkan peningkatan.


Pada 1997 menurut data Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, rata-rata anak usia SD menonton TV antara 22-26 jam per minggu atau 3 – 4 jam per hari. Pada 2006, menurut data Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), rata-rata anak usia SD menonton TV 30—35 jam per minggu atau 4—5 jam per hari pada hari biasa dan 7—8 jam pada hari Minggu.


Jika waktu menonton TV ini dibandingkan dengan waktu bersekolah, maka waktu menonton TV mencapai jumlah lebih dari 1.500 jam dalam setahun, sementara jam belajar (di sekolah dasar negeri) selama 1 tahun hanya sekitar 750 jam.
Ini angka-angka yang memprihatinkan. Padahal para ahli membolehkan anak menonton TV maksimal hanya dua jam per hari.


Apa persoalan dengan anak yang banyak menonton TV? Kepustakaan komunikasi mencatat, anak yang lebih lama menonton TV memiliki risiko yang jauh lebih besar untuk terkena dampak negatif TV daripada anak yang sedikit menonton TV.
Sudah sangat sering dibicarakan muatan TV yang negatif, yang tidak sehat bagi anak. Contohnya, kekerasan, seks, mistik, bahasa kasar, konsumtivisme, dan macam-macam lagi.


Sejumlah langkah dapat dan telah dilakukan untuk mengurangi dampak negatif TV, baik melalui perbaikan dan penegakan regulasi maupun berbagai upaya yang dilakukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Salah satu langkah yang diyakini sangat penting adalah apa yang dapat dilakukan di rumah. Orangtua dapat memodifikasi atau bahkan mencegah efek-efek yang berhubungan dengan TV melalui beragam aktivitas yang dikenal dengan mediasi (mediation).


Istilah mediasi merujuk pada ”interaksi dengan anak-anak mengenai televisi” (interactions with children about television). Meskipun ada sejumlah individu yang dapat memberikan mediasi, seperti saudara kandung, teman atau orang dewasa lainnya, istilah ini umumnya dipakai bagi interaksi orangtua—anak. Jadi, fokusnya adalah pada mediasi orangtua (parental mediation).


***


Menurut Amy Nathanson (1999), ahli media anak, terdapat tiga bentuk mediasi, yakni mediasi aktif, mediasi restriktif, dan coviewing.
Mediasi aktif terbagi lagi atas tiga bentuk. Pertama, mediasi aktif positif. Artinya, selama mendampingi anak-anak menonton TV, orangtua memberikan komentar-komentar positif jika ada hal positif yang tampak di layar.


Kedua, mediasi aktif negatif. Sebaliknya dengan yang pertama, di sini orangtua memberitahukan hal-hal negatif yang disajikan di layar. Contohnya, saat menyaksikan orang melakukan tindakan pengrusakan dalam sebuah berita, orangtua berkomentar bahwa itu adalah tindakan salah. Atau, saat melihat iklan yang berlebihan menonjolkan produk, orangtua dapat memberitahu anaknya bahwa yang ditampilkan tersebut tidak benar.


Yang ketiga, mediasi netral. Ini merupakan jenis mediasi aktif yang melibatkan penyediaan informasi tambahan atau instruksi bagi anak mengenai isi TV. Misalnya, sementara menyaksikan program pendidikan, orangtua mungkin melanjutkan apa yang telah disampaikan oleh TV. Di sini orangtua tidak memberikan arahan positif atau negatif, tetapi memberi tambahan informasi pada anak.


Mediasi jenis kedua adalah ‘mediasi restriktif’ (restrictive mediation). Sesuai namanya, di sini orangtua membatasi akses anak terhadap TV. Orangtua dapat menentukan peraturan mengenai jenis program yang boleh ditonton anak, seberapa banyak mereka boleh menonton, dan kapan mereka boleh menontonnya.


Mediasi bentuk ketiga adalah apa yang dikenal sebagai coviewing atau ‘pendampingan’. Pada bentuk ini, orangtua sama-sama menonton TV bersama anak. Berbeda dengan yang pertama, orangtua tidak memberi arahan apa pun pada anak. Menurut hasil studi, bentuk mediasi ini paling banyak dilakukan oleh orangtua, karena memang mudah dilakukan.


Amat disayangkan, berdasarkan studi Erica Austin (1993), tidak semua orangtua menjalankan mediasi. Beberapa faktor yang menghambat orangtua untuk melakukan mediasi di antaranya waktu orangtua yang tersedia (terutama jika kedua orangtua bekerja) dan kemudahan akses anak terhadap TV (faktanya, makin banyak anak yang memiliki perangkat TV dan komputer di kamarnya).


Merangkum beberapa studi, Nathanson ada beberapa hal yang patut dicatat dalam hal mediasi orangtua.


Pertama, yang lebih sering melakukan mediasi adalah ibu. Apakah ini berarti para ayah kurang peduli dengan efek negatif TV? Entahlah...


Kedua, ibu berpendidikan umumnya menerapkan restrictive mediation. Kesadaran akan efek TV memang berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua.


Ketiga, orangtua yang menyukai TV cenderung menggunakan mediasi aktif positif, sementara yang tidak menyukai TV cenderung melakukan mediasi aktif negatif.


Keempat, orangtua yang berpendidikan lebih rendah cenderung menerapkan coviewing. Ini mengingatkan tentang banyaknya cerita dari anak-anak yang sering saya dengar tentang bagaimana mereka menonton TV bersama-sama sekeluarga. Yang ditonton ya sinetron, film laga, infotainment, reality show, dan macam-macam lagi. Beberapa dari anak-anak itu bahkan mengatakan, “Aku nemenin ibu.” Jadi tidak jelas, siapa mendampingi siapa dalam hal menonton TV ini!
***
Mediasi orangtua secara umum memberi efek positif bagi anak. Dengan mediasi, anak antara lain akan lebih mudah memahami plot program TV, kurang mudah percaya bahwa yang hadir di layar adalah realita, dan cenderung tidak mudah terpengaruh oleh kekerasan di TV. Dengan demikian mediasi orangtua laksana “vaksin” yang diberikan orangtua kepada anak untuk menangkal efek TV yang buruk.


Apalagi, bentuk mediasi yang dilakukan orangtua dengan penuh kasih sayang tentu akan mengeratkan hubungan emosional antara orangtua dan anak.
Mediasi orangtua dapat membantu anak untuk menjadikan ayah-ibunya sebagai satu-satunya orangtua tempat ia berpegang pada nilai-nilai kehidupan, bukannya membuat ia berguru pada “orangtua” lain yang ada di rumahnya –yakni orangtua elektronik bernama televisi. (Nina Mutmainnah,aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak)

-------------

No comments:

Post a Comment