Friday 31 July 2009

Pengaruh Pornografi Pada Otak Anak

“Aduh, Mbak !!! Teman anak saya yang besar (kelas 6 SD, perempuan-pen) bawa video porno di HPnya.” cerita seorang teman suatu hari.Saya terkejut sekaligus miris. Pornografi sudah jadi konsumsi anak SD ! Bahkan kelas 1 SD !“Jadi bagaimana, Mbak?” tanya saya.“Yah mau bagaimana lagi? Sudah telanjur” Jawab teman saya pasrah. Gubrak!!! Masya Allah!

Pornografi pada anak usia sekolah dasar sebenarnya bukanlah berita baru. Sebelumnya di tahun 2008 Yayasan Kita dan Buah Hati sudah melakukan survey pada 1.625 siswa kelas 4-6 sekolah dasar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Pada survey ini terungkap bahwa 66 % dari mereka telah menyaksikan materi pornografi lewat berbagai media. Sebanyak 24 % di antaranya lewat komik, 18 % melalui games, 16 % lewat situs porno, 14 % melalui film, dan sisanya melalui VCD dan DVD, telepon seluler, majalah dan koran.

Mereka umumnya menyaksikan materi pornografi itu karena iseng (27%), terbawa teman (10%), takut dibilang kuper (4%). Ternyata anak-anak itu melihat materi pornografi di rumah atau kamar pribadi (36%), rumah teman (12%), warung internet (18%), rental (3%).Hasil survey ini sanggup membuat saya merinding.

Sebenarnya seberapa besar pengaruh pornografi terhadap otak anak?

Hari Jum’at lalu (10/04) di TVRI dalam acara Untukmu Ibu Indonesia, Dr Adre Mayza Sp.S(K) dan Ibu Elly Risman menjelaskan bahwa akibat dari pornografi pada otak anak adalah:

1. Bagian depan otak yang mengatur gerak dan perilaku akan menyusut. Bisa berpengaruh pada berkurangnya rasa tanggung jawab.

2. Neuron transmitter, yakni bagian otak yang mengontrol pada kesenangan, bekerja berlebihan. Pada saat dewasa mereka akan berperilaku hanya berdasarkan kesenangan saja, sehingga tidak dapat mengontrol dirinya.

3. Ketidakmampuan mengontrol batasan perilaku, akibatnya kecendrungan untuk mudah depresi lebih besar.

4. Saat dewasa anak-anak yang biasa menyaksikan pornografi hanya memandang wanita sebagai objek seksual saja.

5. Ada kemungkinan melakukan kekerasan seksual dan phedophilia.

Singkatnya Bu Elly Risman mengatakan bahwa jika narkoba menyebabkan 3 syaraf otak rusak, maka pornografi menyebabkan 5 syaraf otak yang rusak!

Source : sheilabanun

STOP! Komunikasi Dengan Kekerasan

Anak menangkap pesan kekerasan melalui komunikasi yang dibangun lingkungannya setiap hari. Perlahan tapi pasti, komunikasi dengan kekerasan akan merusak fitrah anak yang penuh dengan kelembutan. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit diatur, pembangkang, dan keras hati.

"Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" Ibu Dewi memelototi Firman (5 tahun) yang tidak mau membuka mulutnya untuk memakan sayur sop. "Ayo makan sop ini, kalau tidak Mama pukul!" Namun, Firman tak juga menurut. Ia malah lari ke kamar dan membanting pintu.

Perekat keluarga

Menurut Ery Soekresno, Psi, Pengelola Sekolah Kebon Maen, Cilangkap-Cimanggis-Depok, komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam keluarga. Menurutnya, komunikasi berfungsi sebagai perekat keluarga. Ery mencontohkan, berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1996, faktor penyebab tingginya angka perceraian di Amerika ternyata bukan disebabkan kehadiran orang ketiga. Karena di mata masyarakat Amerika umumnya, perzinahan sudah dianggap halal. Namun, penyebab yang tertinggi adalah faktor terhambatnya komunikasi suami istri. Komunikasi yang tidak lancar antara suami istri akan berdampak pula terhadap kelancaran komunikasi pada anak.


Komunikasi antara orang tua dan anak adalah sebuah proses pengiriman pesan dimana pesan yang diterima sama dengan pesan yang dikirim. Komunikasi dengan kekerasan, menurut Ery adalah, penyampaian pesan yang dilakukan secara negatif. Termasuk dalam komunikasi secara negatif adalah saat orangtua menggunakan bahasa yang tidak indah. "Bahasa yang jelek tidak menyenangkan anak, akibatnya anak tidak mau mendengarkan orangtua," tutur psikolog yang aktif menyerukan kampanye komunikasi tanpa kekerasan ini.

Komunikasi dengan kekerasan tidak melulu berarti disampaikan dengan bahasa-bahasa yang tidak baik, seperti penggunaan kata yang berasal dari ‘kebun binatang’ atau kata hinaan lainnya. Penggunaan kata seperti yang diungkapkan Ibu Dewi, "Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" juga bermasalah. Coba ditimbang secara jujur, betulkah ungkapan itu? Selain menggunakan kata ‘samasekali’, ditambah pula kata ‘tidakpernah’. Artinya: tidak pernah sama sekali! Padahal, sang anak toh hanya kadang-kadang saja berbuat seperti itu. Bahasa bernuansa ‘kekerasan’ ini juga diperkuat dengan bahasa non verbalnya, yaitu nada bicara yang tinggi, mata melotot, dengan tangan yang sudah terangkat untuk memukul.

Verbal dan non verbal

Ada dua bentuk komunikasi, yaitu verbal (bahasa) dan non-verbal (bahasa tubuh). Artinya, saat orangtua berbicara kepada anak, bukan hanya kata-katanya saja yang ditangkap oleh anak. Menurut Ery, di bawah usia satu tahun, mungkin mereka hanya menangkap 10% kata yang diucapkan ibu. Sisanya lebih kepada bahasa non-verbal.

Ery mencontohkan, saat bayi berbicara dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Misalnya bah, bah, bah. Kebetulan ibu ini membahasakan bapaknya itu abah. Ibu memberikan respon sambil menunjuk pada suaminya atau menunjukkan fotonya, "Oh Abah ya, Abah. Ya, itu Abah."Artinya, anak itu memahami sebuah kata itu kan dari bahasa non verbal karena setiap kali dia ngomong bah, bah, bah kok yang ditunjuk orang itu. Akhirnya kata itu memiliki arti bagi dirinya. Meskipun saat itu anak belum mengerti betul tentang siapa sebenarnya Abah.
Menurut Ery, orangtua perlu terus menyadari bahwa bahasa non-verbal yang dipakainya sangat penting bagi anak. Meski bahasa yang digunakan orangtua positif, namun bila komunikasi non-verbalnya negatif, maka pesan yang diterima anak adalah seperti yang ia lihat. Misalnya, seorang ibu mengatakan pada anaknya, "Ibu tuh sebenarnya sayang sama kamu,” tapi intonasinya yang tinggi atau dilakukan sambil mencubit anak. Tak salah bila anak akan berpikir, "Oh sayang itu artinya sama dengan mencubit ya."

Akhirnya, saat bertemu dengan sepupu, adik atau temannya atau dia dengan adiknya dia menyampaikan sayangnya dengan mencubit. "Padahal seharusnya menyampaikan rasa sayang harus diiringi dengan pelukan dan suara yang lembut agar anak mampu menangkap pesan yang disampaikan dengan benar," jelas istri dari Irwan Rinaldi ini.

Dampak komunikasi dengan kekerasan

Dampak dari komunikasi dengan kekerasan terhadap anak-anak adalah hilangnya fitrah kelembutan. Berdasarkan pengalamannya, anak yang terbiasa dengan kekerasan, sejak kecil sudah terlihat. Karena terbiasa dengan kekerasan, ia pun akan membutuhkannya setiap kali akan melakukan sesuatu. Hal itu terjadi karena fitrah kelembutannya sudah melemah.

Komunikasi dengan kekerasan juga akan membuat anak tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Ery mencontohkan adegan yang terjadi pada sebuah keluarga saat mereka menanti datangnya waktu maghrib untuk berbuka puasa. Di hari pertama, ibu menyediakan menu lengkap, ada kue, es kelapa, gorengan, disamping menu utama hari itu.
Di hari kedua, sang ibu tidak menyediakan gorengan dalam deretan menu berbuka. Namun, ia menggantikannya dengan makanan kesukaan anak-anak yang lain, yaitu puding karamel. Anaknya yang berusia 5 tahun berkomentar, "Mi, kok hari ini nggak ada gorengan?" Sang Ibu, yang kebetulan masih sibuk dengan urusan dapur langsung bereaksi dengan melakukan interpretasi dan evaluasi. " Kamu ini kok nggak bersyukur banget sih?" Anak yang semula hanya sekedar berkomentar tentu menjadi takut untuk menyampaikan komentar pada kesepatan lain. Apalagi bila hal seperti itu terjadi berulang kali.
Lebih berbahaya lagi, menurut Ery, bila anak menjadi terbiasa melakukan pekerjaan secara sembunyi-sembunyi. Bila orangtua tidak segera mengubah cara berkomunikasinya, maka dampak itu akan terpelihara sampai anak tumbuh dewasa.
Dampak lainnya adalah menjadi terbiasa berpikir negatif. Artinya, ketika ada orang bermaksud baik terhadap anak, dia tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya, anak akan berpikir, "Apa sih maksudnya kamu berbuat baik sama aku?" Menurut Ery, hal itu terjadi karena orangtua terbiasa berpikir negatif terhadap dirinya yang terwujud dengan komunikasi yang negatif. Akhirnya, yang terbangun dalam benak anak adalah apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar.
Misalnya, saat seorang anak sedang duduk-duduk di dalam rumah sementara ibunya sedang menyapu lantai. Sang Ibu mengatakan "Aduh Kakak, tidur-tiduran aja, enggak mau membantu ibu nyapu," Sebaliknya, saat sang anak sedang menyapu lantai, Ibu berkomentar, "Wah tumben nih anak ibu nyapu." Komentar seperti itu akan membuat anak menjadi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan karena menjadi serba salah.
Komunikasi yang baik saat ibu sedang menyapu sementara anaknya sedang tidur-tiduran adalah "Ibu seneng deh kalau kakak mau membantu Ibu nyapu. Kalau kakak membantu Ibu pekerjaan rumah ibu cepat selesai. Habis itu kita bisa bermain dan cerita-cerita". Pesan akan sampai tanpa perlu menyakiti perasaan anak. Anak pun menjadi lebih mudah diajak bekerjasama. Saat anak sedang menyapu, seharusnya Ibu menyampaikan penghargaannya dengan pesan yang positif, tanpa perlu menyindir anak.

Menurut Ery, faktor pembentuk utama dan pertama adalah keluarga. Bila rumah sudah berfungsi sebagai tempat yang memberikan kesejukan untuk anak-anak, maka ke mana pun anak pergi, rumah tetap menjadi referensi utama bagi anak. Kesejukan itulah yang perlu dibangun oleh orangtua melalui komunikasi tanpa kekerasan. Saat anak memiliki masalah, mereka tahu kemana harus berbicara. Saat yang paling berpengaruh bagi anak adalah sebelum anak mencapai usia balighnya karena pada masa itu anak masih mudah untuk berubah. Namun, perubahan yang paling utama dan pertama harus berawal dari para orangtua. Wallahu’alam
Source : beranda

Gaya Komunikasi Menyimpang (GKM)

Dalam sebuah seminar parenting yang diselenggarakan kharisma di Berlin pada tanggal 9 Juni 2007 , seorang psikolog ternama ibu Elly Risman, Psi., menyampaikan sebuah makalah yang sangat bermanfaat bagi setiap orang tua dan yang akan menjadi orang tua. Silahkan simak penuturan beliau dalam makalahnya tsb.

Ada 12 gaya komuniksi yang populer dilakukan orang tua. Walau disebut populer tapi belum tentu gaya komunikasi tersebut benar. Istilahnya yaitu GKM alias gaya komunikasi menyimpang. Contoh kasus, seorang ibu yang melarang anaknya bermain di ruang tamu karena baru membeli guci yang harganya “selangit”.

“Coba ya, Kakak sama Adik jangan main di situ. Tahu enggak, guci mama itu baru. Harganya mahal banget. Nanti kalau kesenggol kan bisa pecah. Sana, mainnnya di tempat lain.”

Namun, namanya anak-anak, maklum saja kalau mereka tetap bermain di situ. Sampai tiba-tiba si Kakak terdengar menangis keras. Si ibu pun berlari tergopoh-gopoh. Ia menghela napas lega kala gucinya masih aman-aman saja di tempatnya. Namun, ia terperanjat saat kaki anaknya terluka karena terjatuh. Lalu mulailah sang ibu mengeluarkan 12 GKM tadi, yaitu:

“Tuh, kan tadi Mama bilang juga apa. Enggak denger, sih!” (Menyalahkan)
“Sudah, diam, jangan nangis!” (Memerintah)
“Katanya jagoan, tapi kok nangis?” (Mengeritik)
“Benar, kan. Ini akibat kamu eggak mendengarkan mama. Lain kali kalo Mama bilang, nurut ya.” (Menasehati)
“Nakal, sih, enggak bisa diam.” (Melabel/mencap)
“Coba sini Mama lihat lukanya. Ah, kayak begini aja masak sakit.” (Meremehkan).
“Adik aja waktu lukanya menganga enggak sampai menangis begitu.” (Membandingkan)
“Ya, sudah, besok pasti sembuh.” (Membohongi)
“Sudahlah, jangan dirasa-rasai. Nonton TV atau baca buku sajalah sana.” (Menghibur)
“Awas ya, kalau lain kali Mama bilang ngga nurut.” (Mengancam)
“Coba pikir, kenapa sampai terjatuh? Kan kamu enggak dengerin Mama? Kamu dorong-dorongan sama Adik?” (Menganalisa)
“Lain kali main dorong-dorongan lagi saja. Kan enak…!” (Menyindir)

DAMPAK GKM

Padahal jika 12 GKM tadi terus-menerus dilakukan, tak sedikit dampak yang diakibatkan. Diantaranya kepercayaan diri anak bisa hilang, anak merasa tidak punya harga diri, perasaan anak selalu tertekan, emosinya tak tersalurkan, serta komunikasi antara anak dan orang tua sesungguhnya takpernah berjalan. Jelas saja akhirnya anak akhirnya frustasi terhadap orang tua. Bahkan beberapa kasus salah komunikasi seperti itu, bisa berakibat fatal karena anak memutuskan menghabisi dirinya sendiri, seperti yang kini banyak terjadi.

12 GKM tak hanya berampak pada sisi kejiwaan anak, tapi juga akan mempengaruhi perkembangan otaknya. Menurutnya, komunikasi-komunikasi menyimpang tadi ang berlangsung terus- akan mengganggu sirkuit otak anak.
Pasalnya, anak yang selalu dalam keadaan terancam tidak akan pernah bisa berpikir panjang apalagi belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan otak bagian korteks yang merupakan pusat logika. Berarti di korteks inilah pusat kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa, kemampuan memecahkan masalah hingga kemampuan mengambil keputusan.

Namun, korteks hanya bisa “dijalankan” kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila tidak, atau saat anak dalam keadaan tertekan karena kerap dimarahi, tidak disayang, merasa tidak dibutuhkan, maka segala stimulus yang masuk hanya sampai di batang otak saja. Kalau sudah begitu, cara berpiki anak tak berbeda dengan cara berpikir binatang yang hanya menggunakan instink.

Ya, seperti dikatakan tadi, anak jadi tidak bisa berpikir panjang. Tak heran kalau ada anak yang tidak dibelikan duren oleh orang tuanya lantas bunuh diri karena dia tidak bisa berpikir panjang.
Oleh arena itu, dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua harus memperhatikan pula cara sirkuit otak bekerja. apa pun kondisi orang tua, apakah sedang capek, letih, lesu, sakit, tetaplah berusaha menjaga komunikasi yang tidak menyimpang dengan anak.

Dengan contoh kasus tadi, saat orang tua tahu anaknya terjatuh padahal sudah dilarang bermain di tempat itu, yang pertama mesti dilakukan adalah kendalikan diri jangan langsung bereaksi. Ini juga berlaku pada semua kasus.

Jika orang tua bisa mengendalikan diri berarti dia juga bisa mengendalikan emosinya sehingga otaknya memiliki waktu untuk berpikir, apakah perkataan yang dikeluarkan akan menyakitkan anak atau tidak. Dengan emosi yang terkendali sangat mungkin orang tua akan berkata, “Jatuh ya sayang. Sini Mama obatin. Lain kali enggak usah main dorong-dorongan lagi ya!”
Source : al-habib

Selamatkan Generasi Kita

Masalah kenakalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang, maka arus hubungan antar kota-kota besar dan daerah semakin dekat, lancar, cepat dan mudah, seolah tiada batas. Dunia teknologi yang semakin canggih, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, disisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas diberbagai lapisan masyarakat.

Pengaruh Televisi yang Tidak Mendidik

Meningkatnya kenakalan remaja saat ini merupakan salah satu dampak dari media informasi yaitu program siaran televisi yang dinilai kurang memberikan nilai edukatif bagi remaja ketimbang nilai amoralnya. Hal ini disebabkan karena industri perfilman kurang memberikan pesan-pesan moral terhadap siaran yang ditampilkan.

Dapat diperhatikan dalam berbagai program televisi seperti pada sinetron-sinetron maupun reality show yang banyak menayangkan tentang pergaulan bebas remaja bersifat pornografis, kekerasan, hedonisme dan sebagainya untuk selalu ditampilkan dilayar kaca. Oleh karena program tersebut banyak diminati publik, khususnya remaja.

Berbagai acara yang menayangkan tentang pergaulan bebas remaja di kota besar yang sarat akan dunia gemerlap (dugem). Seperti tayangan remaja dalam mengonsumsi obat-obatan terlarang, cara berpakaian yang terlalu minim alias kurang bahan / sexy, kisah percintaan remaja hingga menimbulkan seks bebas, ucapan-ucapan kasar dengan memaki-maki atau menghina dan sebagainya. Inilah yang seringkali menjadi contoh tidak baik yang sering mempengaruhi remaja-remaja yang berada di kota maupun di daerah untuk mengikuti perilaku tersebut.

Dari tayangan – tayangan tersebut ada remaja yang hanya sekedar menyaksikan, tapi tidak terpengaruh mengikutinya. Dan ada juga remaja yang memang gemar menyaksikan dan terpengaruh untuk mengikuti hal tersebut guna mencari sensasi di lingkungan pergaulan.

juga program yang menayangkan adegan kekerasan sehingga remaja yang pola pikirnya masih labil dan emosional cenderung untuk melakukan perilaku yang kasar dan tidak sopan baik kepada teman sendiri, maupun kepada guru bahkan orang tua sekalipun.

Diantara remaja-remaja, pastinya juga ada yang mengambil sisi positif dari acara yang diberikan. Kenakalan remaja akibat dari program televisi menyimpang dapat terjadi apabila didukung pula oleh lingkungan yang memberikan kesempatan buruk terhadap pergaulan mereka.

Kondisi Labil Remaja

Kita ketahui bahwa usia remaja merupakan masa labil pada seseorang. Dimana saat itu timbul rasa ingin menunjukkan diri ”ini aku”. Oleh karena itu sikap meniru pada kalangan remaja merupakan suatu bentuk dari masa pubertas yang dialami oleh keadaan jiwa yang masih labil. Artinya dampak yang timbul antara lain pada kenakalan remaja seperti pencurian, cabul, perkosaan, pemerasan, narkoba kebut-kebutan dijalan atau tauran antar sekolah dalam ajang menunjukkan kejagoannya.

Faktor Kenakalan Remaja

Berdasarkan perkembangan zaman saat ini adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab kenakalan remaja saat ini adalah:

1. Faktor intern: Keinginan meniru terhadap yang mereka saksikan dilakukan hanya sekedar rasa iseng untuk mencari sensasi dalam lingkungan pergaulan dimana mereka bergaul tanpa batas dan norma agar dipandang oleh teman-temannya dan masyarakat sebagai remaja yang gaul dan tidak ketinggalan zaman. Timbulnya minat atau kesenangan remaja yang memang gemar menonton acara televisi tersebut dikarenakan kondisi remaja yang masih dalam tahap pubertas. Sehingga rasa ingin tahu untuk mencontoh berbagai tayangan tersebut yang dinilai kurang memberikan nilai moral bagi perkembangan remaja membuat mereka tertarik.

2. Faktor ekstern: Faktor ini dapat disebut sebagai faktor lingkungan yang memberikan contoh atau teladan negatif serta didukung pula oleh lingkungan yang memberikan kesempatan. Hal ini disebabkan karena pengaruh trend media televisi yang telah banyak teradopsi oleh nilai-nilai budaya luar yang kurang dapat mereka seleksi mana yang layak dan yang tidak layak untuk ditiru.

Peran Orang Tua Sangat Dominan

1. Kurangnya perhatian dari orang tua dan lingkungan

Kurangnya perhatian orang tua dan lingkungan yang buruk, bagi para remaja, sehingga remaja mencari perhatian diluar. Mereka cenderung melakukan atau mencari kesenangan di lingkungan pergaulannya. Dengan alasan Ikut-ikutan hingga tak lagi dapat membedakan yang mana baik dan buruk. Rasa takut hilang karena menganggap banyak temannya yang melakukan hal keliru tersebut. Hingga akhirnya ketergantungan dan mereka terus melakukannya berulang kali seperti halnya biasa dan membentuk sebuah budaya yang tak bisa lepas dari hidup mereka.

2. Keutuhan Keluarga

Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan remaja sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan yang akan berdampak pada kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Namun demikian ketidakutuhan sebuah keluarga bukanlah faktor yang dominan karena ada juga mereka yang berasal dari keluarga utuh terjerumus pula pada kenakalan remaja. Begitupun dengan tingkat interaksi keluarga mempengaruhi kenakalan remaja, bagi keluarga yang interaksinya baik maka pengaruhnya baik, begitupun sebaliknya. Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan.

3. Kehidupan Beragama Keluarga

Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rohani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.

Oleh karena itu, menciptakan generasi yang unggul, tentunya bukan hal mudah, tetapi merupakan pekerjaan rumah yang mesti kita selesaikan. Generasi muda adalah cerminan dari bangsa kita kedepan. Mari kita jaga generasi muda saat ini………….. Save Our Generation, Now !!

Source : percikan iman

Wednesday 29 July 2009

Mungkinkah ADHD?

Jika anak-anak sulit menyimak perkataannya, banyak orang tua merasa khawatir anak-anak mereka mengidap attention deficit hyperactivity disorder(ADHD). Kenyataannya, ADHD sulit dideteksi,bahkan sering tidak terdiagnosis pada anak usia 4 - 5 tahun. Karena gejala ADHD sperti kurang perhatian,hiperaktif,impulsif(berlebihan ketika berbicara,mengganggu,atau memukul) adalah perilaku umum anak-anak usia itu kata Dr.Stwart Mostofsky.

"ADHD biasanya dideteksi belakangan,ketika anak sudah menghadapi berbagai tuntutan di sekolah."

Meskipun begitu,konsultasikan anak ke dokter jika si kecil sulit berkonsentrasi,terlalu aktif,atauu lebih impulsif dibandingkan anak-anak seusianya,atau jika perilakunya tampak berlebihan dan mengganggu performa di sekolah.
Source : Parents Guide edisi April 2007

Saturday 25 July 2009

Anak-Anak - Pasar Empuk Pembuat Produk Pornografi

JAKARTA, KOMPAS.com — Anak-anak di bawah umur 10 tahun belum dapat menggunakan logika berpikir secara maksimal. Apa yang mereka lihat akan langsung dipraktikan tanpa menganalisis benar atau salah. Setelah mereka melakukan tindakan itu dan merasa mendapatkan kenikmatan, mereka akan mengulangi tindakan tersebut lagi dan lagi. Dengan demikian, tak mengherankan jika anak-anak adalah target utama para pembuat dan pemasar tayangan pornografi.

Elly Risman, Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati, menerangkan, sebelum membuat tayangan pornografi, para ahli berkumpul untuk merancang "strategi". "Ada ahli dari ahli syaraf, psikolog, dan yang pasti ahli-ahli dari pembuat teknologi yang membuat tayangan tersebut menarik. Kemudian, pasar yang dibidik adalah anak laki-laki yang belum baliq," ujarnya setelah pembahasan Uji Materi UU Anti Pornografi, di Kantor KPAI Jakarta, Selasa (5/5).

Ia menerangkan, pada anak laki-laki yang belum mengalami masa puber sekitar umur 9 tahun, mereka mempunyai rasa penasaran yang tinggi terhadap tayangan pornografi. "Anak-anak dilarang menonton tayangan itu oleh orangtuanya dengan alasan masih kecil, dan itu membuat rasa penasaran mereka bertambah," kata dia.

Saat orangtua lengah, ia melanjutkan, anak akan mencuri-curi untuk menonton tayangan pornografi itu. Setelah menonton tayangan tersebut, apa yang dilihat akan tersimpan terus di dalam sistem limbik. "Tak jarang saat menonton, anak mengalami orgasme. Pada saat itu mereka memang merasa berdosa. Namun, karena merasa ada sesuatu yang menyenangkan, mereka akan mengulanginya lagi," ungkapnya.

"Dan setelah mengalami 33-36 kali pengalaman orgasme, seumur hidup anak akan kecanduan pada tayangan pornografi itu," imbuhnya.
Menurutnya, jika pada umur 9 tahun saja anak sudah kecanduan dengan tayangan pornografi, pada usia 14 tahun anak itu berpotensi melakukan hal-hal yang lebih berbahaya lagi karena setiap hari kadar adiksi dan tingkah laku anak terus berkembang.

"Untuk mencegah anak-anak kecanduan pada tayangan pornografi, orangtua juga harus mengawasi kegiatan anak. Kalau mau memberikan mainan untuk anak, sebaiknya dilihat dulu, kalau tidak mengerti tanya pada pihak lain," kata dia.
"Hilangkan budaya tidak peduli antara anak dan orangtua. Walaupun sibuk, tetap berikan perhatian kepada anak. Selain itu, pemerintah juga harus menegakkan peraturan dengan tegas. Anak-anak harus dilindungi," tandasnya.

Waspadai Pengaruh TV Pada Anak

Hari Minggu seharian si kecil nongkrongin televisi. Bagus-bagus acaranya. Mulai Doraemon, PMan, hingga Dragonball. Masih juga dilengkapi dengan kehadiran gadis kecil berambut pendek bertas ransel yang populer disebut Dora. Sebegitu menariknyakah kehadiran kotak ajaib yang kini menjadi barang wajib dalam setiap rumah itu? Haruskah kita membiarkan si kecil berada di depannya tanpa ada kita di hadapannya? Artikel berikut ini bisa jadi bahan panduan Anda. Selamat membaca!

Sayangnya banyak tayangan TV yang sama sekali tak baik bagi perkembangan anak.
Anda mau bukti konkret? Teruslah membaca artikel ini ya. Sebuah penelitian regional yang melibatkan anak-anak Kanada, Australia, Amerika dan Indonesia dalam hal menonton televisi mendapatkan hasil menarik. Mau tahu? Anak Indonesia adalah penonton TV terlama, disusul Amerika, Australia dan paling rendah Kanada.

Hal ini tak lepas dari perubahan gaya hidup masa kini yang dianut sebagain besar orang tua di Indonesia: Sibuk bekerja, pengasuhan anak diserahkan kepada pengasuh serta berbagai faktor lain yang mengiringi.
Menonton televisi tampaknya membawa dampak negatif pada perkembangan anak dibanding dampak positif. Dari televisi anak-anak dapat menyaksikan semua tayangan, bahkan termasuk yang belum layak mereka tonton, mulai kekerasan dan kehidupan seks.

Dr. Endang Darmoutomo, MS, SpGK, dalam seminar yang diselenggarakan 'Dancow Parenting Center' beberapa waktu lalu mengungkapkan kecenderungan menonton tv terlalu lama akan meningkatkan angka obesitas pada anak-anak. Satu jam nonton tv misalnya, akan meningkatkan obesitas sebesar 2%. Pasalnya selama menonton TV, lanjut Dr. Endang, anak lebih banyak ngemil dan tak melakukan aktivitas olah tubuh.

Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. "Saat nonton tv atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang digunakan," ujar Dr. Endang. Saat anak nonton tv, kalori yang dibakar hanya 36 kkal/jam, padahal apa yang dia konsumsi jauh melebihi kalori yang digunakan. "Anak perlu aktif untuk bertumbuh," tandas Dr. Endang.

Obesitas tak hanya berdampak buruk bagi kesehatan karena mengundang berbagai penyakit seperti hipertensi, diabetes, gangguan sendi, penyakit jantung koroner hingga stroke saat anak dewasa, namun juga dapat mengganggu psikologis anak. Ingat, obesitas akan terbawa saat anak dewasa jika tak ditangani secara baik. Mungkin ia akan merasa malu, rendah diri, bahkan merasa tak berharga karena memiliki tubuh 'berbeda' dibanding teman-teman di lingkungannya.

Apa lagi dampak negatif menonton televisi pada anak selain obesitas? Ternyata menonton tv terkait erat dengan kecerdasan. Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA (K) mengutip hasil penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement.

Arch Pediatr Adolesc Med 2005, bahwa menonton tv saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun.
Sedangkan penelitian lain mengenai pengaruh tv terhadap IQ anak mendapati hasil bahwa anak di bawah 3 tahun yang rajin menonton televisi setiap jamnya ternyata hasil uji membaca turun, uji membaca komprehensif turun, juga memori. Yang positif hanyalah kemampuan mengenal dengan membaca naik.

Dari situ disimpulkan bahwa menonton tv pada anak di bawah 3 tahun hanya membawa lebih banyak dampak buruk dibanding efek baiknya.Anak yang sering menonton tv juga mengalami masalah pada pola tidurnya, seperti terlambat tidur, kurang tidur bahkan tak bisa tidur, cemas tanpa sebab, terbangun malam dan mengantuk pada siang hari.

Dr Hardiono menjelaskan, otak berfungsi merencanakan, mengorganisasi dan mengurutkan perilaku untuk kontrol diri sendiri, konsentrasi atau atensi dan menentukan baik atau tidak. "Pusat di otak yang mengatur hal ini adalah korteks prefrontal yang berkembang selama masa anak dan remaja," papar Dr. Hardiono. Televisi dan game video yang mindless (tak membutuhkan otak untuk berpikir) akan menghambat perkembangan bagian otak ini.

Lebih lanjut Dr. Hardiono memaparkan, hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu tv bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik.

Nah masih tega membiarkan anak tercinta kita sendirian di depan televisi? Tentu lebih bijak rasanya kalau kita menemaninya sembari memberikan pengertian mengenai acara yang berlangsung. Siapa sih yang ingin anaknya memiliki pengetahuan luas? Tetapi siapa juga yang ingin anaknya terjerembab dalam dunia lain, mimpi layaknya suguhan televisi?

Oke, selamat menjadi orang tua yang bisa menjelma menjadi sahabat anak-anak.

Diadaptasi dari hanya wanita

Friday 24 July 2009

Tragis, Bocah 7 Tahun Ketagihan Tontonan Porno

detikcom - Jakarta, Jika Anda menonton tayangan "miring", waspadaianak-anak Anda. Jangan sampai dia bernasib apes seperti seorang bocahTaiwan berumur 7 tahun yang ketagihan tontonan porno karena ulah sembrono pengasuhnya. Bocah malang ini saat ini tengah mendapat bantuan ahli untuk menanggulangi adiksinya pada tontonan porno tersebut.


Bagaimana bisa seorang bocah menderita "penyakit" itu?


Ceritanya, dia mulai menonton tayangan haram itu saat dia tengah belajar berjalan tertatih-tatih. Itu terjadi ketika kakek yang menjaganya, keranjingan menonton VCD dalam kategori X itu.Sedang ibu si bocah yang hanya diidentifikasikan sebagai Nyonya Liu,menyatakan bahwa bapaknya berpikir bahwa cucunya itu tidak mengerti apayang sedang ditontonnya, demikian lapor United Daily News.

Namun,perkiraan itu keliru besar.Ketika sang anak yang baru belajar berjalan itu belajar bagaimanamenyetel televisi, dia lebih suka mencari tontonan yang mengandung unsurpornografi ketimbang film-film kartun yang lazimnya disukai anak-anakseusianya.Tragisnya, ketika umur si bocah mencapai 3 tahun, ibunya memergoki bocahitu sedang memanjakan penisnya ketika sebuah film porno ditayangkan ditelevisi. Buru-buru Ny.Liu pun pindah dari rumah ayahnya.
Selama inidia memang tinggal di situ karena suaminya yang berprofesi sebagai tentarajarang pulang ke rumah.

Ny.Liu lantas memonitor perilaku anaknya dan memperhatikan bahwa anaknyasuka dipeluk di antara payudara wanita dan akan meraba payudara parawanita dengan tidak malu-malu.Ketika dia masuk TK pun, bocah itu suka mengangkat rok guru-guru merekadan menggambar wanita telanjang ketimbang tokoh-tokoh kartun. Dia jugamengintip rumah tetangga yang dihuni seorang wanita yang punya kebiasaantidur telanjang tanpa menutup jendela. Bocah itu juga mencuri pakaiandalam tetangga itu dan hal itu terus berlanjut meski ibunya seringmengomelidan memukulnya.

Ny.Liu akhirnya menyadari bahwa anaknya membutuhkan bantuan ahli setelahanaknya itu mulai merabanya ketika dia sedang terlelap. Dokter-dokterdi RS psikiatrik di Kaohsiung mengatakan pada si ibu bahwa perilaku anaknyaitu adalah hasil dari eksposure yang cukup panjang dari film-filmpornografi.Para dokter mengatakan, para orang dewasa keliru bila mereka berpikiranak-anak yang masih muda tidak terpengaruh oleh materi semacam itu.Jadi, waspadai tontonan anak-anak Anda!

Hindari Kekerasan Fisik Pada Anak

Tema mengenai reward and punishment untuk anak sudah kerap dibicarakan, melalui berbagai media massa maupun lewat seminar dan diskusi. Namun, dalam kenyataan masih banyak orangtua yang menerapkan kekerasan fisik kepada anak-anaknya, dengan berbagai alasan.

Bagi psikolog pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lucia RM Royanto, mendidik anak itu pada dasarnya adalah membuat mental anak sehat. Jadi, perasaan anak harus dijaga sebaik-baiknya. Anak rewel, nakal, ngambek, tidak menurut adalah hal yang biasa. Orangtua sebaiknya tidak memberikan hukuman dengan kekerasan fisik (corporal punishment) sama sekali.

Menurut Lucia, hukuman fisik bisa berdampak serius. Salah satunya adalah membuat anak imun. "Awalnya, diceples sudah mempan. Lama-lama dipukuli pun tidak mempan lagi. Anak makin beradaptasi dengan rasa sakit, dan ini bisa menimbulkan agresivitas," katanya.

Dampak lain, kekerasan pada anak mengakibatkan efek modeling atau meniru. Anak yang kerap dipukuli orangtua biasanya akan memukuli teman-temannya. Jika ia tidak belajar dan bersikap terbuka saat dewasa, perlakuan ini pun bisa ditularkan kepada anaknya. Ia akan memukuli anaknya seperti dia dipukuli orangtuanya.

Selain itu, kekerasan juga traumatis dan akan terbawa sampai anak menjadi dewasa. Memang, tidak semua anak demikian, tergantung bagaimana pula lingkungan membentuknya. Bagi orangtua yang mau belajar dan bersikap terbuka, kekerasan yang pernah diterimanya sewaktu kecil tidak akan ditularkan kepada anaknya.

Secara pribadi, Lucia tidak mengharamkan pukulan sama sekali. "Hanya ada satu alasan mengapa anak harus kita pukul, yaitu ketika pengaruh perilaku anak itu membahayakan dia dan orang lain. Misalnya menyeberang jalan seenak perut. Boleh dipukul di paha agak keras, supaya tahu kalau itu tidak boleh," paparnya.

Namun, untuk perilaku seperti tidak akur dengan adik, makan tidak baik dan berceceran, hal itu justru bisa menjadi ajang bagi orangtua untuk berdiskusi dengan anak. "Resolusi konflik itu dengan diskusi. Tunjukan jika orangtua itu marah bukan pada orangnya tetapi pada perilakunya," tutur Lucia.

Masa anak-anak adalah masa bermain, jadi jangan racuni mental anak dengan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis. "Sewaktu kecil tidak boleh dikerasi, apalagi kalau sudah besar dan bisa menimbang-nimbang sendiri," katanya.

Ada beberapa tips buat orangtua ketika marah kepada anak:
- Minta orang lain (suami kalau istri yang marah/istri kalau suami yang marah) untuk menasehati anak
- Diam dan menghitung angka paling tidak satu sampai sepuluh.
- Minum air putih banyak-banyak.

Sumber: Kompas

Taman Bacaanku

Akhirnya......Tercapai juga cita-cita kecilku (coz cita-cita besarku:masuk surga!) bikin taman bacaan di rumah.Walau baru punya buku 500-an biji.Semoga bisa menjadi penambah wawasan buat aku,keluargaku,dan masyarakat di sekitarku.

Koleksi bukuku a.l tentang psikologi anak,kesehatan,wirausaha,pendidikan,keuangan,sastra,dan agama Islam tentu saja. Buat teman-teman yang punya info tentang pengelolaan taman bacaan,boleh dong bagi-bagi ilmunya.....!!

Yang lebih menggembirakanku,anak-anakku sekarang terbiasa pegang buku.Mo berangkat sekolah baca buku,pulangnya ambil buku lagi,eh...mau tidur (lag-lagi) minta dibacain cerita dari buku.So,aku nggak perlu maksa-maksa mereka belajar lagi.Semoga kelak mereka semua jadi 'manusia pembelajar' just like their mommy he...he....

Enak lho jadi manusia pembelajar tuh....Dunia kayaknya 'asyik' banget buat dibaca.Lagi suntuk baca buku,marah sama suami (ups sorry...abi, just sometimes kok!) baca buku pula,anak-anak rewel dibawa santai aja sambil baca buku.Pokoknya, I got everything from the book deh!

Career Woman Blues

Lagi-lagi rasa itu datang lagi.Menyergap rutinitas hari-hariku dan meninggalkan goresan luka.Ups,berapa jam lagi waktu yang akan 'kucuri' dari anak-anakku?Pertanyaan yang sama dan terus berulang-ulang dari hari ke hari.

Irinya aku melihat ibu-ibu yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menimang,memeluk,dan mencium buah hatinya.Sesuka mereka.Tanpa terikat waktu kerja yang membelenggu.Tanpa terbebani tugas-tugas kantor yang selalu menumpuk.Tak jua harus terburu-buru menyambut pagi.

Ibu-ibu yang dengan bangga menceritakan kata pertama sang buah hati,memandang dengan takjub saat pertama kali si kecil mulai bisa berdiri,atau ketika kecupan-kecupan kecil membalas segala jerihnya.Sementara aku hanya bisa mendengarnya dari si mbak pengasuh anak-anakku.Bahkan anakku begitu kebingungan ketika tak menemukan pengasuhnya suatu hari,hal yang tak dilakukannya bila kutinggal pergi bekerja.

Bisakah kuhentikan laku 'si pencuri waktu' anak-anakku?Dengan konsekuensi aku harus mengetatkan ikat pinggang semakin kencang karena tiba-tiba saja semua harga kini membubung tinggi.Dan mengecewakan kedua orang tuaku yang menyekolahkan aku hingga tinggi agar jadi pegawai negeri?

Entahlah....mungkin suatu hari.

Rasanya Jadi Bunda....

Ups......ternyata jadi bunda ndak mudah ya.Apalagi ketika satu per satu baby mungilku lahir ke dunia.Capek,jenuh,dongkol,marah,etc....yg pernah ngerasain jadi ibu tau sendiri deh rasanya...Tapi semua rasa itu hilang seketika dengan slip pembayaran yang luar biasa : kecupan tiba-tiba yg kudapat menjelang tidur,ucapan cedal si kecil,"Aku cayang ummi.....emmuahh!",senyum sumringah mereka saat menyambutku pulang dari kantor,atau sekedar pelukan erat yang menghangatkan jiwa.

Dulu pernah terbersit olehku,betapa nyamannya 'terlepas' dari rutinitasku mengasuh mereka.Tak perlu repot bikinin minum,nyebokin,nyuapin,melerai mereka ketika berkelahi,membereskan perabotan yang selalu jungkir balik tak karuan,atau tak perlu mendengar teriakan mereka yang memekakkan gendang telingaku.Ingin sebentar saja memanjakan diri dengan tidur-tiduran sambil ndengerin musik yg lembut atau baca-baca novel kesukaanku.

Tapi ternyata aku salah.....Ketika kemarin aku melahirkan si 'princess' Muthia,aku memang bisa terlepas dari kerubutan tiga jagoan kecilku itu.Aku sudah menyiapkan buku-buku parenting untuk menemaniku kala kesepian di RS,buku tulis untuk mencatat,en cemilan ringan untuk ngemil.Eh,bukannya bisa menikmati 'kesendirianku' dengan nyaman,malah tiga wajah usil 'three muskeeters' itu yang bermunculan di benakku.

Yeee......ternyata seheboh apapun mereka,aku tak mampu terpisah walau sejenak.Merekalah sumber inspirasiku yang sesungguhnya.Yang menyemangati hari-hariku untuk terus produktif.Thank's my babies.....you're my really inspiration!!

Saat Aku Lelah....

Putus asa, kupandangi wajah penuh air mata yang tersedu-sedu di pojok kamarku. Sudah setengah jam lebih, dan ia tak jua berhenti menangis. Rupanya teriakanku barusan membuatnya kecewa dan sakit hati hingga ia menangis berkepanjangan. Dan kejadian serupa sudah berulang-ulang terjadi akhir-akhir ini. Hampir seminggu lebih.

Mengapa akhir-akhir ini aku begitu mudah 'bertanduk'?Gampang emosi hanya karena anak-anakku tak henti membuat gaduh dan memporakporandakan rumahku?Pun mulutku begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kasar bila mereka tak mau menuruti nasehatku, bahkan sesekali tanganku menyakiti tubuh-tubuh mungil itu.
Padahal setumpuk buku-buku parenting habis kubaca. Mendidik Dengan Cinta-nya Irawati, Mendidik Anak Cerdas-nya Edwards,Kitchen Table Melody-nya Agnes,Chicken Soup For The Parent's Soul,en seabreg buku lain yang kulahap agar aku bisa mendidik anakku dengan bijak. Mengapa semua yang kubaca tak lagi memberi inspirasi berarti?

"Masalah-masalah yang diakibatkan oleh ulah anak-anak,ternyata hanya menjadi masalah bagi ibu ketika hati ibu sedang emosi. Manakala sedang tak dikejar weaktu, kondisi badan tak capai, dan saat hati ibu sedang senang, maka kerewelan anak akan mudah dihadapi dengan sabar," papar Irawati Istadi dalam salah satu buku parentingnya.

Mengendalikan emosi. Apakah itu kuncinya?

Lalu, mengapa akhir-akhir ini aku sulit mengendalikan emosiku? Kucoba telusuri hari demi hari yang telah kulewati. Bangun di pagi hari dengan tergesa-gesa. Tak sempat (atau tak menyempatkan diri?) berasyik masyuk dengan-Nya dalam nikmatnya tahajjud, takut anak-anak keburu bangun dan merecoki aktivitas pagiku. Ba'da Shubuh (lagi-lagi) tak menyisihkan sedikit waktu untuk sekedar melantunkan dzikir Ma'tsurat atau selembar mush'af.
Tiba di kantor, disibukkan banyaknya pasien yang antri untuk ditangani, hingga alpa sholat Dhuha. Ketika malam menjelang, kesibukan berkurang, pun anak-anak sudah asyik dalam dunia mimpinya,aku pun ikut terhanyut dalam pelukan malam. Tak ada waktu khusus untuk bermuhasabah atas aktivitasku hari itu, atau sekedar membaca buku, atau bermuraja'ah mengulang hafalan Qur'anku.

Ternyata......Stabilitas emosiku berbanding lurus dengan kejernihan nuraniku. Manakala aku lalai memperbaiki diri dengan ibadah harianku, maka aku tak lagi menikmati manisnya 'bermujahadah' mengasuh amanah-Nya. Yang ada hanya rasa lelah, jenuh, bahkan frustasi karena mereka tak jua berhenti berulah.



Ultimatum....

“Pulangnya jangan sampai sore lho,Mi…..,” sulungku menyatakan ‘warning’nya kala aku sedang bersiap pergi ke kantor pagi itu. Kuhitung, ini sudah peringatan yang kesekian diarahkannya padaku akhir-akhir ini.

Aku urung menstarter motorku, coba merenungi kata-katanya barusan. Pulang sore? Sebenarnya jam berapa sih akhir jam kerjaku? Tak sampai sore sebenarnya. Bila aku tak mampir-mampir, jam dua siang aku sudah bisa bercengkerama dengan anak-anakku di rumah. Aku punya sedikit waktu untuk tidur siang sebelum kembali disibukkan dengan aneka tugas domestikku, menyuapi dan memandikan anak-anak terutama.

Lalu, mengapa Zuhdi mengeluarkan ultimatum seperti itu padaku? Pasti ada sesuatu yang salah dengan jadwal harianku. Pulang kerja, mampir ke warung belanja sayuran untuk besok pagi, kadang sekalian ke warnet yang kebetulan letaknya berdampingan dengan tukang sayur langgananku. Awalnya cuma ‘having fun’ aja,refreshing setelah seharian lelah bekerja. Tak terasa satu jam, kadang dua jam berlalu tanpa terasa. Belum lagi kalau musim pameran buku tiba. Aku bisa betah sampai malam muter-muter cari buku buat nambah koleksi taman bacaanku.

Akhirnya.....aku pun sampai di rumah dalam keadaan capai. Tak sempat memejamkan mata walau sekejap karena keempat ’permata’ku sudah antri ingin dimanja. Tak ada lagi acara baca buku bersama karena tenagaku seolah habis tak bersisa. Yang ada hanya kantuk yang makin menggelayut di mata. Celotehan mereka pun hanya kutanggapi sekedarnya. Tak jarang si sulung asyik main dengan teman-temannya hingga Maghrib tiba dan ketika pulang membawa berjuta kata ajaib yang tak sepantasnya diucapkan anak seusianya. Adiknya pun tak kalah asyiknya dengan game-game baru di komputernya.

Betapa tak adilnya diriku. Pantas saja anakku protes bila jadwal kepulanganku molor dari waktu yang semestinya. Ia bisa membaca kualitas kebersamaanku yang ’hambar’ bila aku pulang telat. Berbeda bila aku pulang lebih awal, aku punya waktu istirahat untuk memulihkan staminaku, dan berinteraksi bersama buah hatiku dengan asupan tenaga baru.Terimakasih Mas Zuhdi atas ’sentilan’ tanda cintanya.......a great love for you!

Berkualitaskah kebersamaan itu?

Tadi pagi,pas aku lagi sarapan,samar-samar kudengar syair lagu anak-anak dari TV. Kurang lebih begini bunyinya :

……Ayah dan ibu tak tahu apa sebenarnya yang kuinginkan………
……Mereka memberiku mainan yang banyak……..…
…. .Juga baju-baju yang bagus…….…
…...Tapi bukan itu sebenarnya yang kuinginkan…..…
…...Aku ingin mereka bermain bersamaku………
…...Hingga aku tidak merasa kesepian…….


Sejenak, kuhentikan makan pagiku. Mencoba mencerna kalimat-kalimat yang barusan kudengar. Ouw…aku merasa tersentil. Karena selama ini aku selalu berusaha memenuhi kebutuhan fisik anak-anakku. Selengkap mungkin. Mainan beraneka macam. Baju-baju bagus. Buku-buku pengetahuan. Plus vitamin serta obat-obatan komplit saat mereka sakit. Semua untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka semata.
Coba kutelusuri lagi. Apa yang telah kuberikan untuk memenuhi kebutuhan psikis mereka.Waktu bersama?Hmm…pulang kerja,aku memang bersama anak-anakku. Tapi berkualitaskah kebersamaan itu?Aku kadang asyik membaca, sementara mereka pun asyik memelototi acara TV. Kali lain,aku sibuk membereskan rumah ketika mereka pun riuh bermain game computer. Atau aku ngobrol kesana kemari dengan tetangga,sedang anak-anakku kebut-kebutan dengan sepeda kecilnya.
Tidak ada komunikasi dua arah antara aku dan anak-anakku. Kami memang bersama secara fisik, tapi aktivitas kami berlainan. Olala….sungguh selama ini aku keliru memaknai arti kebersamaan itu. Seharusnya aku mengajak mereka bicara atau berdiskusi tentang kegiatan mereka seharian tadi. Atau membacakan cerita-cerita berhikmah. Atau bermain bersama mereka. Atau apalah….yang pasti ada interaksi antara aku dan anak-anakku.
Baiklah….aku akan berusaha lebih bijak lagi menjalani kebersamaanku bersama keempat buah hatiku. I’ll try!!