Thursday 17 September 2009

Jadi Full Time Mother?!Siapa Takut......

Hari-hari ini Ana sedang bingung. Amir, sang suami memintanya berhenti bekerja kantoran karena merasa gajinya kini sebagai seorang General Manager di sebuah perusahaan konstruksi telah mampu menopang ekonomi keluarga.

Menurut Amir, kini saatnya Ana memberikan konsentrasi perhatian bagi keluarga. Amir tidak sama sekali mematikan bakat Ana, justru ia memberikan banyak pilihan alternative pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus jadi pegawai kantoran. Akan tetapi, tetap saja Ana bingung. Ia yang setiap hari menghabiskan waktu bekerja di kantor, tiba-tiba harus “tinggal diam” di rumah.

“Wah… saya takut nanti jadi "pengangguran" yang tak punya kegiatan apapun,” ungkap Ana. Bila Anda juga mengalami hal serupa ini, tak perlu khawatir, “tinggal” di rumah ternyata tak kalah asyiknya dengan bekerja di kantor. Segudang aktivitas dan banyak hal baru bisa Anda lakukan. Apa saja? Simak terus jawabannya di sini.

1. Bisa Punya Usaha Sendiri

Ita yang berhenti bekerja di sebuah bank karena harus ikut suaminya ke Amerika, pun berbagi cerita. “Di Amerika, saya terbiasa memasak sendiri untuk keluarga. Maka, sepulang dari sana, saya jadi jago masak. Ketika sekolah anak saya membuka tawaran menyediakan makanan untuk para guru dan murid, saya pun mencobanya.”

Kini, Ita pun menekuni usaha catering beromzet Rp 6 juta per minggu. Nah, jika Anda punya kemampuan untuk bekerja di rumah, mengapa tak berani mencobanya? Misalnya, Anda terampil membuat kue, cobalah menawarkannya ke orang-orang terdekat lebih dulu. Coba tawarkan kue ke mantan rekan kerja dulu. Bicara soal resep kue, kini kudapan buatan Anda dijamin bakal lebih istimewa rasanya bila ditambah susu.

2. Jadi Bos Bagi Diri Sendiri

Bila kerja di kantoran, Anda tentu harus tunduk pada aturan atasan. Namun, ketika Anda putuskan bekerja sendiri dari rumah, tentu saja Anda sendiri yang memutuskan kapan mulai bekerja dan kapan beristirahat. Anda tak perlu takut lagi dipelototi si bos, bukan?

“Sejak bekerja dari rumah sebagai editor, saya bebas menentukan sendiri waktu kerja saya. Yang penting, urusan deadline terpenuhi. Bahkan, ketika bekerja, saya pun bisa memakai kaos santai atau kadang pakai daster, tak ada yang protes, bukan?” tutur Evi, yang berhenti kerja sebagai wartawan dan memutuskan bekerja di rumah sebagai editor.

3. Bisa Bebas Tekuni Hobi

Ketika bekerja di kantor, waktu pun terasa “berlari” hingga rasanya tak punya waktu untuk menjalankan hobi. Nah, saat memutuskan di rumah saja, mengapa Anda tak mencoba menekuni kembali hobi lama yang selama ini terlupakan? “Saat kerja kantoran, saya tak sempat lagi memelihara tanaman. Kini, ketika tidak lagi bekerja, saya pun bisa punya banyak waktu luang untuk berkebun. Wah… rasanya senang sekali, hidup saya juga terasa lebih bersemangat,” ujar Ira, mantan sekretaris.

4. Bisa Puas Bersama Anak

Hai.....hai.......inilah yang paling menarik!! Puas bersama anak, bersama berlian kita. Kita bisa menikmati moment-moment indah kapan dia mulai meraih tangan anda, kapan mulai tengkurep, kapan mulai tertawa, kapan mulai mengenali wajah.....dan.....heiiii yang pertama dia kenali adalah wajah cantik penuh cinta......mamanya!

Kapan dia mulai merangkak, berdiri, berjalan, dll. Wow!! jangan sampai rugi! Masa-masa itu tidak akan pernah terulang!!!

“Saat lulus kuliah lalu menikah, saya memang sepakat tak mau kerja kantoran karena ingin mengurus sendiri anak-anak kami. Menurut saya, masa anak-anak itu adalah masa-masa emas, saat yang tepat untuk menanamkan fondasi kuat bagi seorang anak. Maka, saya putuskan tak mau bekerja kantoran agar bisa melihat dan mengawasi setiap momen perkembangan yang dilalui anak-anak saya,” urai Desi, yang memutuskan membuka usaha penjahitan di rumahnya.

5. Bisa Lebih Merawat Diri

Coba hitung, ketika Anda masih kerja kantoran, berapa kali dalam sebulan masih punya waktu untuk pergi ke salon atau spa? Atau sempatkah Anda ikut kelas senam? Nah, ketika tak lagi terikat waktu, inilah saatnya bagi Anda untuk lebih merawat diri. Anda bisa ikut kelas senam mulai dari aerobik body language, pilates maupun yoga.

Di sini selain berolahraga, Anda juga bisa punya teman baru. Atau seminggu sekali pergi ke salon, jalani berbagai perawatan mulai dari creambath, manicure, pedicure, dsbnya. Dijamin, penampilan Anda bakal lebih fresh, lebih cantik dan tentu saja suami pun jadi lebih cinta! Buat suami anda akan merasa sangat rugi kalau sampai terpikir melirik perempuan lain di manapun! Karena ada anda, yang mempunyai segalanya yang terbaik.

6. Bisa banyak belajar

Ingat kan, jadi IBU harus pinter segalanya. Nah....mesti banyak belajar ya! Anak pasti bangga juga mempunyai Ibu yang pandai. Anak juga akan lebih percaya diri jika ibunya pandai. Ya, bahkan anak akan dengan bangga mengatakan kepada gurunya, temannya, bahwa dia mengetahui sesuatu dari ibunya yang pintar.

Eit....suamipun pasti bangga jika istrinya luas pengetahuannya. Bahkan tahu tentang masalah pekerjaan kantor suaminya meski istrinya tidak lagi "ngantor". Dan.....jangan salah, perempuan manapun pasti akan mikir 1000000 X jika ingin merebut perhatian suami anda dari istri "hebat" seperti anda!!! Ha ha ha.......mereka pasti minder!! Boleh dong PD!!

7. Bisa lebih dekat dengan keluarga; terutama orangtua dan mertua

Nah, kapan lagi dekat dengan mereka? Apalagi jika tinggal dalam satu kota. Bahagiakan mereka dengan perhatian anda selagi anda punya kesempatan. Shoping kecil-kecilan dengan Ibu atau Ibu Mertua, masak bersama, makan bersama di luar, dll. Jika kita gali lagi, masih sangat banyak hikmah yang bisa kita ambil dengan keputusan keluar dari pekerjaan kantor.

So, bagi yang memang merasa lebih baik di rumah, nikmati aja. Enjoy aja........!!!But, bagi yang merasa lebih baik "ngantor" nikmati juga lah yaw!! Be profesional, jadilah wanita karir yang pintar, jangan malas belajar, tingkatkan kemampuan diri!! Raihlah peningkatan benar-benar dengan kemampuan anda, dan bukan hanya karena waktu apalagi karena KKN! Sorry aja!! He he he anda kan hebat! Buat apa KKN??

Jangan mau hanya jadi "hiasan", jangan pernah "curhat" ke teman kerja laki-laki, atau menerima curhatan mereka. Karena akan berbahaya bagi keluarga anda maupun keluarga laki-laki tersebut. Jangan mengkambinghitamkan anak agar bisa bolos kerja, jangan suka beralasan. Pakailah penghasilan anda untuk hal-hal yang bermanfaat. Tunjukkan anda memang pantas menjadi wanita karir yang dihormati!

Source : mama-ibuindonesia.blogspot.com

Monday 14 September 2009

Stress Ibu Tumah Tangga

Banyak orang yang meremehkan profesi ibu rumah tangga, termasuk dalam urusan stres. Dianggapnya, ibu rumah tangga yang sehari-hari lebih banyak di rumah tidak mungkin mengalami stres. Pendapat ini tentu saja tidak benar.

Justru mengelola rumah tangga sepenuhnya membutuhkan kemampuan dan daya tahan yang luar biasa kuat. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan dituntut bangun paling pagi dan tidur paling akhir untuk memastikan semua berjalan semestinya.

Banyak perempuan yang stres karena ketidaksiapannya menghadapi kehidupan rumah tangga seperti itu sendirian. Kenyataannya, permasalahan rumah tangga sangat kompleks. Tanpa kesiapan mental dan kematangan jiwa untuk menghadapinya, perempuan yang dihadapkan pada tugas-tugas kerumahtanggaan pastilah sangat rentan terhadap stres.

Untuk mengelola stres sebagai ibu rumah tangga, beberapa hal berikut bisa dilakukan:

* Bersikap realistis terhadap harapan dan kenyataan. Jangan memaksakan diri untuk mencapai sesuatu yang ideal, seperti rumah selalu rapi dan bersih tanpa cela. Kekurangan di sana-sini merupakan hal wajar dan amat manusiawi.

* Proses adaptasi dengan suami, anak, dan lingkungan harus terus-menerus dilakukan karena perubahan pasti terjadi setiap hari.

* Selesaikan masalah yang dihadapi. Jangan pernah menunda atau membiarkannya bertumpuk dan berharap segalanya akan berlalu dengan berjalannya waktu.

* Di sela-sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga, lakukan kegiatan-kegiatan positif seperti olahraga atau melakukan hobi yang bermanfaat. Usahakan bersikap relaks dan berpikir positif setiap waktu.

source : kompas.com


Tuesday 8 September 2009

Ibu,hati-hati dengan amarahmu

Cerita ini saya olah dari curhat sahabat saya beberapa hari lalu dalam sebuah forum. Jujur, saya merinding mendengarnya. Benar-benar mengingatkan kembali arti seorang ibu. Ibu, sosok yang disebut tiga kali oleh Rasulullah untuk dihormati sebelum ayah. Maka doa ibu pun begitu dahsyat. Begitu pula amarahnya, sehingga kita pun sangat familier dengan legenda Malin Kundang. Semoga bermanfaat buat para orangtua, wa bil khusus para ibu, dan calon ibu (seperti saya :)

=====

Sore itu aku baru pulang dari bekerja. Badan dan pikiran yang lelah karena persoalan menumpuk di tempat kerja, membuat kondisi emosiku agak labil. Sampai di rumah aku berharap tak mendapati hal yang membuat emosiku makin naik. Memiliki tiga anak yang sangat aktif sering kali membuat emosiku naik turun.Keinginanku untuk mendapat ketenangan sejenak di rumah tak terkabul.

Sore itu sesampai di rumah, ketiga anakku belum mandi dan rumah berantakan. Meski memiliki khadimat, tapi khadimatku masih terlalu muda, sehingga banyak pekerjaan yang tak tertangani dengan baik olehnya. Sulungku yang berusia 6 tahun asyik dengan game. Putri keduaku dan si bungsu asyik bermain, berlari ke sana kemari. Emosiku mulai kembali naik.

”Ummi, Haris dari tadi disuruh mandi nggak mau...” lapor khadimatku.Haris masih asyik bermain game.
“Haris, mandi…” kataku berusaha lembut.
”Nggak mau ah!”
”Haris, mandi sama Mbak sekarang...” suaraku mulai keras.Haris tak bergeming.Rasa lelah, pikiran yang masih penuh, ditambah khadimat yang tak becus dan si Sulung yang tak mau menuruti perintahku, makin menambah emosi di dada.
”Haris, mandi sekarang juga!” kali ini aku benar-benar tak bisa mengontrol ucapanku. Kurasa suaraku begitu keras.Haris tampak kaget. Tapi hanya sejenak.

Kemudian dari mulut mungilnya kudengar kata... ”Entar, Bego...”Hooh, rasanya emosiku sudah tak di dada lagi, tapi sudah naik hingga ubun-ubun. Dari mana dia mendapat perkataan itu? Bagaimana mungkin Haris-ku bisa berkata seperti itu pada ibunya...?

Kupegang kedua bahunya, masih dengan amarah di dada. ”Bicara apa kamu? Dari mana dapat omongan itu? Dengar ya, UMMI NGGAK IKHLAS kamu bicara seperti itu. Ummi nggak ikhlas! Sekarang juga kamu minta maaf!”Rasanya lisanku sudah tak terkontrol. Kulihat Haris tampak diam dan takut.”Ayo, minta maaf sama Ummi!””Ma-af, Mi...” dengan terbata Haris berucap.”Ya sudah, Ummi maafkan. Sekarang kamu mandi sama Mbak!” kataku. Ucapan ”Ummi maafkan” sepertinya hanya sekadar saja keluar dari mulutku. Amarah dan kecewa anakku mengucapkan kalimat ”Entar, Bego...” masih menggumpal di dadaku.

***

Keesokan harinya, amarahku sudah terkikis. Sore hari aku mengecek pelajaran Haris. aku ingat esok hari Haris ada tugas mengulang mengulang hafalan.”Ah, surat-surat yang mesti diulang hampir semua sudah Haris hafal. Insya Allah, Haris bisa,” kataku yakin.Setelah itu aku membantu Haris untuk mengulang hafalan.

”Ayo, baca bismillah dulu, Ris...””Bis...” suara Haris terputus.”Lho kok, bis... bis-millah...””Bis...” lagi-lagi suara Haris terputus.”Haris... jangan bercanda. Ayat Al Quran jangan dipermainkan. Ayo ulang lagi, bismillah...””Bis...”

”Haris!” emosiku mulai naik.”Tapi, Mi... Haris nggak bisa...””Masak bismillah saja tidak bisa, bis-mi-Allah...”Haris mencoba mengulang, tapi lagi-lagi terhenti di kata ”bis”. Aku benar-benar tak habis pikir. ”Haris! Ummi serius ini. Kamu jangan bercanda, mempermainkan ayat Al Quran! Coba, A-L-L-A-H...”

”A.... A... Ummi haris nggak bisa...””A-L-L-A-H.... ulang lagi... A-L-L-A-H… BISMILLAH…”“A…. A…”Aku mulai panik. Kuamati wajah Haris. Dia tak terlihat bercanda atau mempermainkanku.“Istighfar dulu, Ris, As-tag-fi-ru-llah…””Astagfiru...” lagi-lagi suara Haris terputus.Aku semakin panik.

Ada apa dengan anakku? Padahal dia sudah hafal setengah juz 30. bagaimana mungkin menyebut ”bismillah”, ”astagfirullah,” bahkan ”Allah” saja tak bisa...?Aku berusaha menenangkan diri. ”Yuk, bareng Ummi... kita istighfar...””Astagfirullah...” Namun lagi-lagi, Haris tak dapat menyelesaikan kalimat tersebut. Aku benar-benar tak habis pikir. Beberapa kali kuminta Haris mengulang kata Allah, Allah, Allah... tak juga bisa.

Tiba-tiba runtunan kejadian kemarin berkelebat di otakku. ”Astagfirullah....” kuucap berulang kali.... Kalimat ”ummi tidak ikhlas” terngiang-ngiang. Inikah yang menyebabkan Haris tak dapat menyebut kata Allah? Tapi bagaimana mungkin? Haris masih kecil, baru 6 tahun...Namun, tak ada yang tak mungkin bagiAllah untuk menunjukkan kuasa-Nya. Langsung kupeluk Haris, air mata berbulir jatuh. ”Maafkan Ummi, ya, Ris... maafkan, Ummi. Ummi juga memaafkan semua kekhilafan Haris. Ummi maafkan kesalahan Haris...” Kupeluk Haris makin erat. Haris tampak tak mengerti. Air mataku menderas. ”Maafkan Ummi... dan Ummi maafkan Haris...”

Setelah beberapa saat menenangkan diri, aku minta Haris untuk sama-sama membaca istighfar kembali. Dan... subhanallah... tanpa kesulitan Haris mengucap dengan lancar. Dan kemudian kalimat bismillah, dan kemudian surat-surat Al Quran yang hendak ia ulang, semua lancar dibaca.

Subhanallah, Allahu Akbar... betapa kecil kurasa diriku saat itu. Teringat aku kisah Al Qomah pada masa Rasulullah, yang mulutnya terkunci tak dapat mengucap ”Laailahailallah” saat sakaratul maut, karena sang Ibu tak ikhlas padanya. Aku bersimpuh.... Ampuni aku, ya Allah!(Rahmadiyanti Rusdi)

Monday 7 September 2009

Mengapa Anak Berbohong?

Anak berbohong? Wah, mungkin bagian dari masa pertumbuhannya? Masa sih?? Akan tetapi kita tetap harus waspada. Kejujuran merupakan harta tak ternilai, dan harus mulai ditanamkan sejak kanak-kanak.
Namun dalam keseharian, kita kadang mendapati kebohongan yang dilakukan buah hati kita. Terutama setelah mereka mempunyai teman, mempunyai komunitas, yang sangat mungkin nilai kejujuran bagi teman-temannya tidak mereka dapatkan di rumah masing-masing sehingga berbohong bukanlah barang haram.

Padahal, berbohong bagi anak-anak (terutama kepada orangtua) sangat berbahaya. Orangtua akan sulit mengarahkan anak jika anak biasa berbohong kepada orangtua.

Kemampuan tingkat tinggi

Pendapat sebagian orang, sikap berbohong pada seorang anak bisa disebut sebagai kemampuan tingkat tinggi. Bayangkan anak berimajinasi, yang terkadang membuat kita terheran-heran atas imajinasinya itu bukan? Terdapat 2 kemampuan kognitif yang melibatkan otak kanan (imajinasi) dan otak kiri (logika).

Saat berbohong, seorang anak dapat menggunakan atau menggabungkan kedua-duanya. Jika yang keluar adalah berbohong tingkat tinggi, berarti dia sedang menggunakan otak kanannya. Namun, bagi saya, anak berbohong adalah kemubadziran kemampuan. Seharusnya kemampuan ini bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang jauh lebih bermanfaat.

Jika kita membiasakan dan mencontohkan agar anak tidak berbohong, maka berbohong akan membuat anak tidak nyaman.Bagian dari pertumbuhan.Pendapat orang, kebohongan anak juga berkorelasi dengan tingkat pertumbuhannya. Namun menurut saya, berbohong berkolerasi dengan makin luasnya pengaruh yang sampai kepada anak. Anak tidak lagi hanya mendapat pengaruh dari keluarga tetapi juga dari lingkungan sekitar yang makin luas.

Hati-hati, sekali anak berbohong kita harus tahu dan segera meluruskan bahwa berbohong (terutama pada orangtua) sangat berbahaya. Jika tidak segera diluruskan, semakin anak berbohong, semakin pandai dia melakukannya dengan tidak terlalu merasa bersalah. Jangan sampai anak anda merasa nyaman saat berbohong (kepada orangtua)Orang tua mesti ekstra hati-hati.

Ajak anak bicara dari hati ke hati, sediakan waktu lebih banyak untuk menjalin komunikasi dengan anak. Tanamkan pula bahwa Anda sangat mempercayainya, dan sebaiknya kepercayaan ini dapat dipegang oleh anak. Memberi pengertian kepada anak tentang berbohong, yang baik adalah dengan mengajak mereka melihat sesuatu masalah dari sisi orang lain. Katakan kepada mereka bahwa tindakan bohong tidak dapat diterima apalagi jika dilakukan untuk menyembunyikan suatu kesalahan.

Perlukah menghukum?

Menghukum boleh-boleh saja, tetapi tentu saja harus disesuaikan dengan usia anak. Misalnya pada anak usia sekolah, jika tingkat kebohongannya jelas, hukumlah dia , misalnya dengan tidak boleh menonton televisi. Tetapi ingat, jangan sampai hukuman tersebut justru semakin menekan anak sehingga membuatnya “terpaksa” berbohong demi menutupi kekurangannya.

Misalnya saja saat ia tidak mengerjakan pe-er karena terlalu lelah bermain bola, hindari memarahinya. Lebih baik Anda dan anak mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut. Bagaimanapun Anda juga mesti menghargai kejujuran anak. Memang tiada manusia yang sempurna, dan ini perlu juga diketahui oleh seorang anak. Namun, selalu ada jalan untuk menyelesaikan masalah, dan akan semakin mudah bila itu dilakukan secara bersama-sama, bahu membahu.

“Untuk urusan berbohong, pada prinsipnya, baik untuk anak pra-sekolah, anak usia sekolah atau bahkan remaja sekalipun, penanganannya sama, yakni mengajaknya diskusi. Karena mereka sesungguhnya sedang belajar menapaki hidup. Jangan dimusuhi, melainkan harus terus dibimbing, dirangkul. Jika salah langkah, maka akan muncul apa yang disebut anak nakal, karena orang tua salah menempatkan mereka,” papar Dr. Seto Mulyadi.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengajak si kecil memahami arti kejujuran. Coba ingat-ingat kembali, tanpa sengaja kita sebagai orang tua seringkali menanamkan pelajaran yang salah. Misalnya saja saat Anda sedang malas menerima telepon, dan meminta si kecil mengangkatnya dan mengatakan “Mama sedang tidak di rumah.” Kelihatannya sepele memang, namun saat itulah pelajaran berbohong sedang dimulai.

Tips menghadapi anak berbohong :

* Tempatkan anak di posisi yang terhormat.
* Jadilah pendengar yang baik, untuk mengetahui apa yang terjadi pada anak Anda
* Terapkan metode ”Win win solution”, pemecahan masalah melalui cara yang baik bagi semua
* Kalau Anda tahu bahwa anak sedang berbohong, coba peluklah dia. “Mama tidak marah, tetapi sangaaat sedih kalau anaknya berbohong. Karena Allah juga tidak suka dengan anak yang membohongi mamanya.”
* Jadikan bohong sebagai pembelajaran anak. Anak boleh salah, tetapi jadikan kesalahannya itu sebagai pelajaran berharga.(mama-ibuindonesia.blogspot.com)

Mengapa Anak Mudah Takut?

Anak Anda mudah ketakutan? Sebenarnya hal itu wajar. Tapi, bila Anda tak membantu mengatasi ketakutannya, ia bisa mengalami fobia. Pada dasarnya, ketakutan pada batita merupakan suatu keadaan alamiah yang membantu individu melindungi dirinya dari suatu bahaya sekaligus memberi pengalaman baru.

Pada sejumlah batita, rasa takutnya masih sebatas pada hal-hal spesifik seperti takut pada anjing, gelap, atau bertemu orang asing.Ironisnya, sebagian besar ketakutan yang terjadi pada anak justru muncul karena ditularkan oleh orangtuanya ataupun orang dewasa yang berada di sekelilingnya.
Contohnya, karena kuatir pada suatu atau kondisi tertentu, tanpa sadar orangtua akan melarang anak dengan cara menakut-nakutinya. Misalnya, "Awas ada anjing gila, nanti kamu digigit!" Akibatnya, anak merasa terancam alias tidak aman setiap kali melihat anjing. Padahal, umumnya anjing hanya akan marah dan mengigit jika diganggu.
Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya. Untungnya, rasa takut ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Namun peran dan dukungan orang tua.masih tetap penting.Yang jadi masalah adalah bila rasa takut terendapkan dan tidak teratasi sehingga berpengaruh pada aktivitas sehari-hari anak.
Parahnya, ketakutan tersebut dapat mengarah menjadi ketakutan yang bersifat patologis ataupun fobia alias ketakutan berlebih karena pernah mengalami kejadian tertentu.Adapun ketakutan yang sering terjadi pada batita antara lain, takut berpisah. Anak akan merasa cemas bila ia harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang selama 3 tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang dekat dengan anak.
Kelekatan anak dengan sosok ibu tersebut biasanya akan berkurang di tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya. Namun, akan menjadi lain bila si ibu terlewat melindungi atau overprotektif sehingga ia tak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain.Perlakuan semacam ini justru akan membuat kelekatan ibu dan anak akan terus bertahan dan akhirnya menimbulkan kelekatan patologis sampai si anak besar.
Akibatnya, anak tak mau sekolah, gampang nangis, dan sulit dibujuk saat ditinggal ibunya.Bahkan jika ibu beranjak ke dapur atau ke kamar mandi pun, si anak akan terus mengikuti.Bila sudah demikian, jelaskan pada si kecil, mengapa ibunya harus pergi atau bekerja. Jika ibu tidak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu anak lewat telepon. Sebab, ia akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Bahkan ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang.
Ketakutan lain yang dialami anak, antara lain takut masuk bersekolah. Sebab, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak mudah beradaptasi. Begitu pun orangtua, banyak yang tak rela melepas anaknya "sekolah" karena khawatir anaknya terjatuh saat bermain atau ia mungkin saja didorong temannya.Oleh sebab itu, Anda dapat mengantar anak ke sekolah, tapi tidak menungguinya. Sebagai gantinya, Anda dapat menitipkan anak kepada gurunya. Dan yakinkan diri Anda bahwa anak dapat melupakan rasa takutnya seiiring dengan kegembiraannya bermain bersama teman-temannya.
Ketakutan lainnya, yaitu anak takut dengan orang asing. Di usia awal, anak memang mau digendong dan dekat dengan siapa saja. Namun di usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mengerti atau mengenali orang. Ia mulai sadar, mana orangtuanya dan mana orang lain yang jarang dilihatnya.
Untuk itu biarkanlah ia bereksplorasi dengan bebas. Hindari nasihat yang menakut-nakuti, seperti jangan dekat-dekat sama orang yang belum kamu kenal. Nanti diculik, lho. Nasihat ini bukannya tidak boleh, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara menakut-nakutinya.Tidak hanya orang lain yang ditakuti, tapi anak juga biasanya takut pergi ke dokter. Hal ini terjadi, mungkin karena ia pernah mengalami hal tak mengenakkan seperti ia pernah disuntik. Untuk mengatasi ketakutan ini, Anda dapat mengizinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya. Benda-benda ini penting agar ia merasa aman dan nyaman.
Cara lainnya, Anda dapat membantunya dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter-dokteran. Biarkan anak menjalani peran dokter dengan boneka sebagai pasiennya. Diharapkan dengan cara ini, lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
Hal lain yang menjadi momok bagi anak, yaitu takut hantu. Ketakutan terhadap hantu ini merupakan ketakutan yang diajarkan lewat ancaman Anda atau orang dewasa lainnya. Selain itu ia mungkin mendapatkannya melalui interaksinya menonton film horor di televisi. Oleh karena itu, jauhkan anak dari tontonan tentang hantu. Anda ataupun orang dewasa lainnya jangan pernah menakut-nakuti anak hanya demi kepentingan sesaat. Cara lainnya Anda dapat menganti karakter hantu dengan peri yang baik hati. Belikan buku-buku cerita atau tontonan anak mengenai karakter hantu atau penyihir yang baik hati.
Masih banyak ketakutan yang sering dialami anak seperti takut gelap, berenang, serangga, anjing dan sebaginya. Namun pada intinya, apapun jenis ketakutannya yakinkanlah ia, bahwa tidak akan ada satu makhluk pun yang akan menyakitinya bila ia tidak lebih dahulu menyakiti makhluk tersebut. Berpesanlah kepadanya untuk senantiasa berbuat baik, karena anak baik tidak akan pernah mendapatkan gangguan. (Majalah Inspire Kids)

Menghindarkan Anak Dari Sifat Penakut

Sudah masyhur kita dengar, kisah keberanian anak-anak yang hidup di zaman Nabi. Begitu banyak kisah anak-anak di bawah umur yang memaksa kepada Rasulullah agar diizinkan ikut berperang bersama prajurit Muslim melawan kaum kafir. Walaupun Rasul melarang anak-anak ikut berperang, mereka memaksa, berlomba-lomba dan berebut agar diizinkan. Ketika Rasul melihat tekad mereka yang begitu kuat dan bulat, terpaksa diberikannya izin, dan ternyata anak-anak itupun berperang tak kalah beraninya dengan para orang tuanya.
Tercatat nama Usamah bin Zaid yang ikut berperang semenjak kecil, dan karena keahliannya maka diangkatlah ia oleh Rasulullah menjadi panglima perang pada usia enam belas tahun. Ada pulua Rafi dan Samurah, dua orang anak yang berebut untuk bisa ikut berperang. Begitu pula si budak kecil, Umair, yang karena keberanian dan keinginannnya yang kuat ia pun dibebaskan oleh majikannya dan bahkan mendapat hadiah pedang yang ia dambakan. Masih ada pula si kecil Salamah, yang sangat ahli memanah, terkenal dapat berlari teramat cepat, dan tentu saja gagah berani.

Bagaimana bisa anak-anak belasan tahun yang setara dengan anak-anak SLTP di zaman sekarang ini sudah begitu ahli dalam berperang? Begitu besar keberanian mereka menantang marabahaya dan maut? Generasi yang kuat Difirmankan Allah Swt dalam al-Qur'an untuk tidak meninggalkan generasi di belakang kita sebagai generasi yang lemah. Karena mereka yang lemah pasti akan ditindas oleh yang kuat.

Kenyataan membuktikan, banyak pejuang Muslim yang menemui syahid dalam pertempuran-pertempuran yang tak seimbang sekadar untuk mempertahankan diri. Penyebab pokoknya adalah karena ummat Islam dalam posisi lemah. Lemah fisik, lemah strategi, lemah koordinasi, lemah dana, lemah fasilitas, lemah segalanya.

Sehingga walau jumlah kita banyak, niat kita ikhlas dan semangat membara, kekalahan juga yang didapat. Keberanian, seringkali hanya dikonotasikan dengan peperangan, sehingga oleh sementara orang hanya dilekatkan kepada pundak laki-laki saja. Sementara jika seorang Muslimah cengeng, penakut dan lemah, dianggap sebagai kewajaran karena fisiknya.

Pengertian ini diluruskan oleh seorang ahli tafsir, Dr Nashruddin Baidan dalam Tafsir bi al-Ra'yi. Menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama harus digembleng menjadi generasi yang kuat. Tentara sekuat apapun jika tanpa dukungan kekuatan motivasi kaum wanita, bisa tak berarti apa-apa. Untuk bisa menjadi motivator yang baik tentu saja kaum Muslimah pun perlu memiliki keberanian dan kekuatan mental yang kokoh.

Menurut Nashiruddin, yang diminta Allah mempertahankan negara bukan hanya laki-laki, tetapi semuanya, termasuk wanita dan anak-anak. Cara masing-masing untuk mempertahankan negara bisa berbeda-beda, sesuai kemampuannya. Namun dalam kondisi terjepit, semua jiwa wajib keluar rumah menghadang musuh dalam mempertahankan agamanya, tak peduli laki-laki maupun wanita.

Untuk tujuan pembentukan generasi penerus yang gagah berani itulah ajaran Islam memberikan tuntunan syariat yang perlu diberikan kepada anak-anak. Beberapa di antaranya adalah berikut ini.

1. Olahraga dan permainan fisik

Selain untuk membangun kekuatan, olahraga fisik juga bermanfaat menumbuhkan keberanian dan keahlian. Kuat saja tetapi tak mempunyai keberanian dan keahlian akan sia-sia. Demikian juga yang berani tetapi tak ahli dan lemah, atau yang ahli tetapi lemah dan penakut. Jadi ketiga fungsi saling melengkapi, dan semuanya harus ditumbuhkan dalam diri anak semenjak dini.

Untuk itu Islam menganjurkan beberapa cabang olahraga utama, seperti disampaikan Rasulullah saw dalam hadits-haditsnya, "Segala sesuatu yang tidak menyebut asma Allah maka ia adalah senda gurau belaka, kecuali empat perkara: Berjalannya seseorang di antara dua tujuan (untuk memanah), latihannya untuk menunggang kuda, bermain dengan keluarganya, dan belajar renangnya."

"Ketahuilah, bahwa kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah."Dan juga hadits berikut, "Tidak ada perlombaan (pertaruhan) selain di tapak kaki unta, tapak kaki kuda, dan pemanah."Selain itu Rasulullah pun menganjurkan untuk bermain lembing, seperti pernah beliau izinkan Aisyah melihat orang bermain lembing di masjid. Berenang, memanah, menunggang kuda dan unta, serta bermain lembing, adalah contoh-contoh di zaman Rasulullah. Kepada anak-anak kita perlu ditambahkan latihan menembak, membuat bom, mengendarai mobil, dan bahkan pesawat.

Intinya, semua jenis olahraga itu membangun kekuatan anak, menumbuhkan keberanian dan keahliannya.

2. Penyembelihan hewan Qurban

Hari raya Qurban identik dengan penyembelihan kambing dan sapi. Acara ritual ini cukup baik pula dijadikan ajang menumbuhkan keberanian anak. Di kesempatan ini, orang tua perlu mengajak anak-anaknya, terutama yang laki-laki untuk turut membantu proses penyembelihan, atau setidaknya menonton. Dengan melihat proses penjagalan, melihat muncrat dan mengalirnya darah hewan qurban, ini akan menumbuhkan keberanian dalam jiwa anak, sehingga mereka tak terlalu takut melihat darah.

3. Khitan di usia kanak-kanak

Sunnah khitan dilakukan di masa kanak-kanak, bagi anak laki-laki. Boleh dilakukan ketika anak masih bayi, atau dalam usia antara 5 hingga 10 tahun. Pilihan yang terakhir ini dapat dimanfaatkan bagi orang tua untuk menumbuhkan keberanian anak. Itu sebabnya, sebelum saat khitan tiba, orang tua harus mempersiapkan mental anak dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak menjadikan momen khitan ini justru sebagai pengalaman yang menyakitkan dan menakutkan bagi mereka. Karena jika hal ini terjadi, trauma ini bisa membuat anak menjadi penakut hingga dewasa.

4. Penanaman kisah-kisah kepahlawanan
Film dan buku-buku cerita yang mengisahkan tentang keberanian para tokoh pahlawan baik yang fiksi maupun nyata, baik untuk mengembangkan keberanian anak, asalkan adegan dalam kisah-kisah tersebut tidak melampaui batas. Akan lebih baik jika orang tua memilihkan kisah-kisah kepahlawanan para syuhada di zaman Rasulullah saw yang sudah banyak dibukukan.

Selain mengembangkan keberanian anak, juga mengandung nilai-nilai keutamaan yang sangat baik, sehingga anak semakin memahami mengapa, kapan, dan untuk apa mereka harus melatih keberanian. Pilihan untuk mengajak anak berdialog langsung dengan para pejuang yang sudah berpengalaman di medan peperangan adalah alternatif terbaik jika mungkin untuk dilakukan.

5. Aktivitas penuh tantangan
Ayah, adalah orang yang paling tepat mendidik anak laki-lakinya untuk terus mencari aktivitas yang penuh tantangan. Mendaki gunung, memanjat tebing, berkemah, berburu, hingga berlayar, bisa direncanakan. Untuk anak perempuan juga dikembangkan kegiatan serupa dengan tingkat kesulitannya lebih rendah, setidaknya hingga setingkat kemampuan mereka.(Suara Hidayatullah)





Agar Anak Tak Berguru Pada TV

”Bu, kalau mau bahagia, ibu dan ayah ke On Clinic aja...” begitu saran Nadine (6 tahun) kepada ibunya, Sarah.
Sarah tersentak dan dengan hati-hati bertanya balik, ”Memang On Clinic itu tempat apa?” (Sarah belakangan menjelaskan ke saya bahwa ia mengajukan pertanyaan ini dengan dada berdebar-debar tak karuan).
Nadine menjawab dengan santainya, ”Tempat berobat supaya bahagia... Ayah dan ibu bisa minta obat biar bahagia terus!”

Sarah bercerita kepada saya, celoteh Nadine tentang On Clinic itulah yang menyadarkan- nya bahwa anaknya itu sudah terlalu jauh menjadi ”anak TV”. Nadine memang gemar menonton TV. Aktivitasnya sepulang sekolah kebanyakan diisi dengan menonton TV.
On Clinic yang diperbincangkan Nadine adalah klinik yang diiklankan sebagai tempat untuk ”kebahagiaan suami-istri” –ini adalah klinik untuk pria yang memiliki masalah seksual. Wajarlah Nadine si ”anak TV” mengenal tempat ini, karena iklannya cukup gencar muncul di TV pada sembarang jam pada berbagai stasiun.


***


“Kubunuh kau, Papa!”
Kata-kata “sadis” itu diucapkan seorang anak batita kepada ayahnya. Wajah si anak merah padam. Ia berkata demikian sambil memegang kerah baju ayahnya.
Ucapan dan perilaku “ala adegan TV” itu muncul karena si anak kesal akibat ulah usil ayahnya saat ia bermain balok susun. Ayah dan ibu sang anak tentu amat kaget dengan ucapan dan perilaku si upik.


Anak kecil itu adalah Grace Christina. Saat ia duduk di bangku SMP, ia menuangkan pengalamannya itu dalam esai berjudul sangat impresif, “Kubunuh Kau, Papa” yang memenangkan Penghargaan UNICEF untuk Penulis Muda Indonesia 2006 untuk kategori SLTP.


Grace berkisah bahwa ia menjadi anak yang dibebaskan menonton TV saat masih kecil. Acara yang paling disukainya adalah film laga yang penuh kekerasan. Setiap kali menonton orang marah-marah, saling memaki dengan kata-kata kotor, saling pukul dan baku tembak, Grace kecil selalu berteriak-teriak memberi dukungan tanpa tahu mana tokoh baik dan mana yang jahat.

***


Kisah Nadine atau Grace kecil adalah kisah yang sering terdengar tentang anak-anak yang banyak menonton TV. Bagi banyak anak, TV bisa dikatakan sebagai ”media sehari-hari”, karena benda ini selalu dalam keadaan ”on” pada banyak rumah. Di antara berbagai media, TV sering dikatakan sebagai media yang paling dekat dengan anak.
Tingkat konsumsi TV oleh anak menunjukkan angka yang tinggi. Beberapa survei mengenai pola menonton TV pada anak menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah jam menonton TV pada anak menunjukkan peningkatan.


Pada 1997 menurut data Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, rata-rata anak usia SD menonton TV antara 22-26 jam per minggu atau 3 – 4 jam per hari. Pada 2006, menurut data Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), rata-rata anak usia SD menonton TV 30—35 jam per minggu atau 4—5 jam per hari pada hari biasa dan 7—8 jam pada hari Minggu.


Jika waktu menonton TV ini dibandingkan dengan waktu bersekolah, maka waktu menonton TV mencapai jumlah lebih dari 1.500 jam dalam setahun, sementara jam belajar (di sekolah dasar negeri) selama 1 tahun hanya sekitar 750 jam.
Ini angka-angka yang memprihatinkan. Padahal para ahli membolehkan anak menonton TV maksimal hanya dua jam per hari.


Apa persoalan dengan anak yang banyak menonton TV? Kepustakaan komunikasi mencatat, anak yang lebih lama menonton TV memiliki risiko yang jauh lebih besar untuk terkena dampak negatif TV daripada anak yang sedikit menonton TV.
Sudah sangat sering dibicarakan muatan TV yang negatif, yang tidak sehat bagi anak. Contohnya, kekerasan, seks, mistik, bahasa kasar, konsumtivisme, dan macam-macam lagi.


Sejumlah langkah dapat dan telah dilakukan untuk mengurangi dampak negatif TV, baik melalui perbaikan dan penegakan regulasi maupun berbagai upaya yang dilakukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Salah satu langkah yang diyakini sangat penting adalah apa yang dapat dilakukan di rumah. Orangtua dapat memodifikasi atau bahkan mencegah efek-efek yang berhubungan dengan TV melalui beragam aktivitas yang dikenal dengan mediasi (mediation).


Istilah mediasi merujuk pada ”interaksi dengan anak-anak mengenai televisi” (interactions with children about television). Meskipun ada sejumlah individu yang dapat memberikan mediasi, seperti saudara kandung, teman atau orang dewasa lainnya, istilah ini umumnya dipakai bagi interaksi orangtua—anak. Jadi, fokusnya adalah pada mediasi orangtua (parental mediation).


***


Menurut Amy Nathanson (1999), ahli media anak, terdapat tiga bentuk mediasi, yakni mediasi aktif, mediasi restriktif, dan coviewing.
Mediasi aktif terbagi lagi atas tiga bentuk. Pertama, mediasi aktif positif. Artinya, selama mendampingi anak-anak menonton TV, orangtua memberikan komentar-komentar positif jika ada hal positif yang tampak di layar.


Kedua, mediasi aktif negatif. Sebaliknya dengan yang pertama, di sini orangtua memberitahukan hal-hal negatif yang disajikan di layar. Contohnya, saat menyaksikan orang melakukan tindakan pengrusakan dalam sebuah berita, orangtua berkomentar bahwa itu adalah tindakan salah. Atau, saat melihat iklan yang berlebihan menonjolkan produk, orangtua dapat memberitahu anaknya bahwa yang ditampilkan tersebut tidak benar.


Yang ketiga, mediasi netral. Ini merupakan jenis mediasi aktif yang melibatkan penyediaan informasi tambahan atau instruksi bagi anak mengenai isi TV. Misalnya, sementara menyaksikan program pendidikan, orangtua mungkin melanjutkan apa yang telah disampaikan oleh TV. Di sini orangtua tidak memberikan arahan positif atau negatif, tetapi memberi tambahan informasi pada anak.


Mediasi jenis kedua adalah ‘mediasi restriktif’ (restrictive mediation). Sesuai namanya, di sini orangtua membatasi akses anak terhadap TV. Orangtua dapat menentukan peraturan mengenai jenis program yang boleh ditonton anak, seberapa banyak mereka boleh menonton, dan kapan mereka boleh menontonnya.


Mediasi bentuk ketiga adalah apa yang dikenal sebagai coviewing atau ‘pendampingan’. Pada bentuk ini, orangtua sama-sama menonton TV bersama anak. Berbeda dengan yang pertama, orangtua tidak memberi arahan apa pun pada anak. Menurut hasil studi, bentuk mediasi ini paling banyak dilakukan oleh orangtua, karena memang mudah dilakukan.


Amat disayangkan, berdasarkan studi Erica Austin (1993), tidak semua orangtua menjalankan mediasi. Beberapa faktor yang menghambat orangtua untuk melakukan mediasi di antaranya waktu orangtua yang tersedia (terutama jika kedua orangtua bekerja) dan kemudahan akses anak terhadap TV (faktanya, makin banyak anak yang memiliki perangkat TV dan komputer di kamarnya).


Merangkum beberapa studi, Nathanson ada beberapa hal yang patut dicatat dalam hal mediasi orangtua.


Pertama, yang lebih sering melakukan mediasi adalah ibu. Apakah ini berarti para ayah kurang peduli dengan efek negatif TV? Entahlah...


Kedua, ibu berpendidikan umumnya menerapkan restrictive mediation. Kesadaran akan efek TV memang berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua.


Ketiga, orangtua yang menyukai TV cenderung menggunakan mediasi aktif positif, sementara yang tidak menyukai TV cenderung melakukan mediasi aktif negatif.


Keempat, orangtua yang berpendidikan lebih rendah cenderung menerapkan coviewing. Ini mengingatkan tentang banyaknya cerita dari anak-anak yang sering saya dengar tentang bagaimana mereka menonton TV bersama-sama sekeluarga. Yang ditonton ya sinetron, film laga, infotainment, reality show, dan macam-macam lagi. Beberapa dari anak-anak itu bahkan mengatakan, “Aku nemenin ibu.” Jadi tidak jelas, siapa mendampingi siapa dalam hal menonton TV ini!
***
Mediasi orangtua secara umum memberi efek positif bagi anak. Dengan mediasi, anak antara lain akan lebih mudah memahami plot program TV, kurang mudah percaya bahwa yang hadir di layar adalah realita, dan cenderung tidak mudah terpengaruh oleh kekerasan di TV. Dengan demikian mediasi orangtua laksana “vaksin” yang diberikan orangtua kepada anak untuk menangkal efek TV yang buruk.


Apalagi, bentuk mediasi yang dilakukan orangtua dengan penuh kasih sayang tentu akan mengeratkan hubungan emosional antara orangtua dan anak.
Mediasi orangtua dapat membantu anak untuk menjadikan ayah-ibunya sebagai satu-satunya orangtua tempat ia berpegang pada nilai-nilai kehidupan, bukannya membuat ia berguru pada “orangtua” lain yang ada di rumahnya –yakni orangtua elektronik bernama televisi. (Nina Mutmainnah,aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak)

-------------