Friday 31 July 2009

Gaya Komunikasi Menyimpang (GKM)

Dalam sebuah seminar parenting yang diselenggarakan kharisma di Berlin pada tanggal 9 Juni 2007 , seorang psikolog ternama ibu Elly Risman, Psi., menyampaikan sebuah makalah yang sangat bermanfaat bagi setiap orang tua dan yang akan menjadi orang tua. Silahkan simak penuturan beliau dalam makalahnya tsb.

Ada 12 gaya komuniksi yang populer dilakukan orang tua. Walau disebut populer tapi belum tentu gaya komunikasi tersebut benar. Istilahnya yaitu GKM alias gaya komunikasi menyimpang. Contoh kasus, seorang ibu yang melarang anaknya bermain di ruang tamu karena baru membeli guci yang harganya “selangit”.

“Coba ya, Kakak sama Adik jangan main di situ. Tahu enggak, guci mama itu baru. Harganya mahal banget. Nanti kalau kesenggol kan bisa pecah. Sana, mainnnya di tempat lain.”

Namun, namanya anak-anak, maklum saja kalau mereka tetap bermain di situ. Sampai tiba-tiba si Kakak terdengar menangis keras. Si ibu pun berlari tergopoh-gopoh. Ia menghela napas lega kala gucinya masih aman-aman saja di tempatnya. Namun, ia terperanjat saat kaki anaknya terluka karena terjatuh. Lalu mulailah sang ibu mengeluarkan 12 GKM tadi, yaitu:

“Tuh, kan tadi Mama bilang juga apa. Enggak denger, sih!” (Menyalahkan)
“Sudah, diam, jangan nangis!” (Memerintah)
“Katanya jagoan, tapi kok nangis?” (Mengeritik)
“Benar, kan. Ini akibat kamu eggak mendengarkan mama. Lain kali kalo Mama bilang, nurut ya.” (Menasehati)
“Nakal, sih, enggak bisa diam.” (Melabel/mencap)
“Coba sini Mama lihat lukanya. Ah, kayak begini aja masak sakit.” (Meremehkan).
“Adik aja waktu lukanya menganga enggak sampai menangis begitu.” (Membandingkan)
“Ya, sudah, besok pasti sembuh.” (Membohongi)
“Sudahlah, jangan dirasa-rasai. Nonton TV atau baca buku sajalah sana.” (Menghibur)
“Awas ya, kalau lain kali Mama bilang ngga nurut.” (Mengancam)
“Coba pikir, kenapa sampai terjatuh? Kan kamu enggak dengerin Mama? Kamu dorong-dorongan sama Adik?” (Menganalisa)
“Lain kali main dorong-dorongan lagi saja. Kan enak…!” (Menyindir)

DAMPAK GKM

Padahal jika 12 GKM tadi terus-menerus dilakukan, tak sedikit dampak yang diakibatkan. Diantaranya kepercayaan diri anak bisa hilang, anak merasa tidak punya harga diri, perasaan anak selalu tertekan, emosinya tak tersalurkan, serta komunikasi antara anak dan orang tua sesungguhnya takpernah berjalan. Jelas saja akhirnya anak akhirnya frustasi terhadap orang tua. Bahkan beberapa kasus salah komunikasi seperti itu, bisa berakibat fatal karena anak memutuskan menghabisi dirinya sendiri, seperti yang kini banyak terjadi.

12 GKM tak hanya berampak pada sisi kejiwaan anak, tapi juga akan mempengaruhi perkembangan otaknya. Menurutnya, komunikasi-komunikasi menyimpang tadi ang berlangsung terus- akan mengganggu sirkuit otak anak.
Pasalnya, anak yang selalu dalam keadaan terancam tidak akan pernah bisa berpikir panjang apalagi belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan otak bagian korteks yang merupakan pusat logika. Berarti di korteks inilah pusat kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa, kemampuan memecahkan masalah hingga kemampuan mengambil keputusan.

Namun, korteks hanya bisa “dijalankan” kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila tidak, atau saat anak dalam keadaan tertekan karena kerap dimarahi, tidak disayang, merasa tidak dibutuhkan, maka segala stimulus yang masuk hanya sampai di batang otak saja. Kalau sudah begitu, cara berpiki anak tak berbeda dengan cara berpikir binatang yang hanya menggunakan instink.

Ya, seperti dikatakan tadi, anak jadi tidak bisa berpikir panjang. Tak heran kalau ada anak yang tidak dibelikan duren oleh orang tuanya lantas bunuh diri karena dia tidak bisa berpikir panjang.
Oleh arena itu, dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua harus memperhatikan pula cara sirkuit otak bekerja. apa pun kondisi orang tua, apakah sedang capek, letih, lesu, sakit, tetaplah berusaha menjaga komunikasi yang tidak menyimpang dengan anak.

Dengan contoh kasus tadi, saat orang tua tahu anaknya terjatuh padahal sudah dilarang bermain di tempat itu, yang pertama mesti dilakukan adalah kendalikan diri jangan langsung bereaksi. Ini juga berlaku pada semua kasus.

Jika orang tua bisa mengendalikan diri berarti dia juga bisa mengendalikan emosinya sehingga otaknya memiliki waktu untuk berpikir, apakah perkataan yang dikeluarkan akan menyakitkan anak atau tidak. Dengan emosi yang terkendali sangat mungkin orang tua akan berkata, “Jatuh ya sayang. Sini Mama obatin. Lain kali enggak usah main dorong-dorongan lagi ya!”
Source : al-habib

No comments:

Post a Comment