Thursday 20 May 2010

10 Cara Agar Anak Suka Membaca

1.Buatlah daftar buku-buku yang dapat Anda baca bersama dengan anak, dan lihatlah seberapa banyak mereka membaca. Apakah itu dua halaman ataupun 200 halaman, catatlah kemajuannya.

2.Pastikan bahwa anak-anak dapat menjangkau buku-buku yang ada di rumah dengan mudah. Jika buku cerita "Dr Seuss" lebih dekat daripada Digital Video Recorder (DVR), maka anak-anak akan lebih mungkin menggapainya daripada nonton video.

3.Jadilah contoh dengan membaca sendiri. Anak-anak pasti akan segera mengikuti.

4.Bukan hanya buku yang dapat dibaca. Seperti halnya Anda suka membaca majalah, ajarkan hal yang sama pada anak-anak untuk membaca apa pun yang mereka suka seperti komik, bahkan buku petunjuk game pun bisa membuat mereka suka membaca.

5.Radio bukan satu-satunya yang dapat anda dengarkan. Mintalah pada anak-anak untuk membaca keras-keras, sehingga Anda bisa mendengarkan. Jadi Anda dapat mengetahui kemajuan yang mereka capai dan mengetahui kesulitan yang mungkin mereka hadapi.

6.Untuk acara-acara khusus, berikan hadiah buku untuk anak anda dengan bungkus yang menarik.

7.Anak-anak belajar membaca pada kecepatan yang berbeda. Berikan mereka waktu untuk membaca, dan tidak perlu memberi target per halaman.

8.Tinggalkan buku disamping tempat tidur anak-anak. Jika anda menganjurkan mereka agar membaca beberapa menit setiap malam sebelum tidur, maka mereka akan menjadi rajin membaca buku tanpa kenal waktu. Akhirnya Anda juga akan diminta membacakan buku dengan suara keras pada mereka. Setelah semuanya itu, apa yang lebih baik selain cerita sebelum tidur?

9.Saat liburan sekolah, tetap anjurkan anak-anak untuk membaca secara teratur. Hal ini akan membuat mereka lebih pandai saat kembali ke sekolah. Daripada melihat anak-anak bertengkar, lebih baik bersantai sambil membaca.

10.Semua anak-anak senang berpetualangan. Buatlah petualangan kecil saat pergi ke perpustakaan atau ke toko buku. Hal ini akan sangat menyenangkan mereka sehingga membuat mereka terus ingin pergi ke sana.(rileks.com)

Wednesday 19 May 2010

Marah Pada Anak, Perlukah?

Setiap kali pulang kerja, kita pasti membayangkan rumah dalam keadaan rapi dan bersih, anak-anak sudah mandi dan tak berulah macam-macam sehingga kita bisa sejenak melepaskan kepenatan. Tapi bila yang terjadi ternyata sebaliknya, apa yang sebaiknya kita lakukan? Tetap bermuka manis dan menganggap seolah tak terjadi apa-apa. Atau mengekspresikan kemarahan kita di depan anak-anak?

Kejadian di atas beberapa kali kualami. Saat sedang lelah dan butuh tidur siang sejenak, tiba-tiba si kecil merengek minta ditemani bermain. Atau tiba-tiba saja dia mengeluh lapar dan haus padahal baru beberapa menit yang lalu mbak pengasuh menyuapinya dan memberinya segelas susu.Belum lagi kalau aku pulang terlambat, dia akan protes dengan 'memporakporandakan' mainannya di berbagai sudut rumah atau menurunkan semua koleksi bukuku hingga bertebaran kemana-mana.

Saat hatiku sedang mood, semua kerewelannya bisa kuatasi dengan baik. Kucoba menjelaskan semuanya dengan kepala dingin dan berusaha sekeras mungkin untuk tidak terpancing dengan ulahnya walau kemarahan sudah memuncak di ubun-ubun. Tapi kalau lagi bad mood, tak sadar mulutku mengeluarkan kata-kata yang bisa jadi menyakiti hatinya dan akhirnya hanya akan menimbulkan penyesalan yang mendalam saat ia terisak-isak di pojok kamar.

Sebenarnya perlukah menunjukkan ekspresi marah pada anak? Perlu, ekspresi marah yang wajar dan dapat diterima oleh anak sangatlah sulit dilakukan, jangan membentak, mencela atau melakukan pemukulan, akan tetapi tunjukkanlah rasa marah itu untuk memberikan kesan yang dapat ditangkap oleh anak bahwa Anda bersungguh-sungguh terhadap kesalahan yang dilakukannya tersebut.

Kekerasan pada anak berupa pemukulan dan penyiksaan justru mengekang pengembangan kepribadian, dampak-dampak maladaptif dikemudian hari diperkirakan akan terbentuk dengan di awali dengan kekerasaan sejak dini. Kontrol emosi orang tua sangat dibutuhkan agar rasa marah tidak meletup menjadi buah kekerasaan.

Ibu yang terlalu lelah dan merasa tertekan cenderung emosional, kemudian seringkali meluapkan kemarahan kepada anak, meskipun anak belum tentu bersalah. Jika Anda termasuk salah satu ibu yang demikian, ikuti saja beberapa langkah berikut untuk mengatasinya.

1. Pahami terlebih dahulu. Apakah gejala awal yang Anda alami saat mulai merasa emosi? Kapan kemarahan Anda meledak? Begitu Anda mulai merasa emosi, segera hentikan apa pun yang sedang Anda lakukan, kemudian pergilah ke tempat di mana Anda bisa menyendiri dan menenangkan diri. Ingatkan diri sendiri, bahwa Anda sedang berusaha melawan kemarahan yang Anda rasakan dan bukan melawan anak.

2. Temukan kata yang menenangkan. Saat ada waktu, pikirkan kata atau kalimat apa yang kira-kira dapat
menenangkan Anda, kapan pun Anda merasa sedang emosi. Misalnya : "Sabar, namanya juga anak-anak"

3. Apa yang Anda, anak dan orang lain pikirkan menqenai apa yang Anda lakukan? Saat Anda sedang merasa tenang, bayangkan apa yang Anda, anak dan orang lain pikirkan mengenai apa yang Anda lakukan terhadap anak, jika Anda sedang marah kepadanya. Apa akibat dari apa yang Anda lakukan, hanya karena emosi?

4. Anggap sebagai permainan. Anggap saja kemampuan mengontrol emosi sebagai permainan. Jika emosi Anda meledak, berarti Anda kalah, sedangkan Anda seharusnya bisa memenangkan permainan tersebut. Apa yang bisa Anda peroleh dengan memenangkan permainan tersebut? Penghargaan dan kasih sayang dari anak, orang-orang yang Anda sayangi dan juga diri Anda sendiri

5. Tertawakan saja. Mungkin anak memang sedang menguji kesabaran Anda. Jika biasanya emosi Anda dengan cepat meledak saat anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang Anda inginkan, bagaimana jika Anda mencoba untuk mentertawakannya saja? Setelah itu, katakan kepada diri sendiri, "Masa begitu saja marah?"

6. Minta bantuan kepada anak. Berikan kepercayaan kepada anak untuk membantu Anda. Untuk itu, Anda perlu meminta bantuan kepada anak. Jangan hanya bisa mempersalahkan anak, karena Anak pasti akan lebih mudah diajak bekerja sama, jika Anda memintanya baik-baik. Misalnya : "Mama tidak bisa mengantar kamu ke sekolah, kalau kamu tidak mau memakai baju.Kalau kamu tidak bersekolah, mama yang sedih"

7. Pandangi cermin. Kapan saja Anda merasa marah, pandang bayangan wajah Anda dalam cermin. Apakah Anda menyukai apa yang Anda lihat? Jika tidak, apa yang bisa Anda lakukan untuk mengubahnya?

 8. Segarkan diri. Mencuci muka atau mandi dengan air dingin pasti bisa membuat Anda merasa lebih segar dan nyaman.

 9. Tarik papas dalam-dalam. Hirup udara segar dengan menggunakan hidung, sedalam mungkin. Alirkan udara segar tersebut ke perut, kemudian hembuskan keluar melalui mulut. Lakukan beberapa kali, hingga Anda merasa lebih tenang.

10. Bagaimana dengan curhat? Usahakan sebisa mungkin untuk tidak meluapkan emosi kepada anak. Lebih baik Anda segera menyambar gagang telepon, untuk menceritakan tentang apa yang Anda rasakan kepada sahabat dekat sesama ibu. Minta kepada sahabat Anda untuk mengatakan sesuatu yang dapat membuat Anda merasa lebih tenang dan gembira. Dan jangan lupa melakukan hal yang sama untuknya.




Monday 10 May 2010

Karena Buku, Anak Menjadi Kreatif


Minimnya etos wirausaha pada generasi muda, direspon Savitry Indrawardhany [34] dengan cara mengelola Taman Bacaan Anak Keluarga Pelangi. Menempati rumah kontrakan di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan sejak tahun 2002, Iin memupuk etos wirausaha anak asuhannya dengan cara ‘melek media’ yang dipahaminya selama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi IISIP, Jakarta, 1998.
“Anak-anak ditekankan pada pola pikir untuk membantu orangtua, karena mereka dari golongan ekonomi lemah. Mereka kami modali untuk menumbuhkan life skill yang mandiri sekaligus penuh percaya diri,” akunya menjelaskan cara menanam benih wiraswasta pada anak asuhnya. Bahkan, Asep, salah seorang angkatan pertama Keluarga Pelangi, kini telah mampu mandiri. “Sekarang dia sudah punya sebuah sepeda motor cicilan yang digunakan untuk membantu usaha keluarganya. Bayangkan, tadinya dia anak dari seorang mustahik [yang berhak mendapat zakat] tapi kini sudah mampu memberi kepada orang lain seperti seorang muzakki [orang wajib zakat],” papar ibu dua anak ini sumringah.
Taman Bacaan Anak, telah dimaknai Iin sebagai pintu awal untuk menghidupkan ‘tangan kreatif’ setiap anak asuhnya. Dan ia mengerjakan itu dengan cukup senang meski tetap mengandung risiko. “Tantangan terberatnya adalah anak asuh yang mulai meluntur semangatnya. Mereka sudah termakan zaman dan tak mampu menjaga dirinya sendiri. Tapi saya merasa bersyukur, karena dengan adanya anak-anak Keluarga Pelangi, anak-anak saya mendapat teman bermain dan belajar,” katanya.
Untuk menjaga kelangsungan Keluarga Pelangi, operator UNICEF selama menjadi mahasiswa ini, melebarkan jejaring dengan para relawan yang diorganisir oleh 1001buku. Iin berharap akan membuat Muharram Award sebagai ajang kreativitas anak muslim. “Dengan Muharram Award, saya membayangkan anak-anak akan terpacu untuk terus kreatif menggapai cita-citanya,” harapnya.
Dengan modal koleksi buku, film, dan permainan cerdas, Iin bisa memupuk kreativitas anak-anak di sekitar rumah kontrakannya. Dan ia melakukannya, di tengah harga media pembelajaran yang terus merangkak naik. Tapi dia yakin itu akan berhasil. Anda bisa juga mencontohnya, lho.(alifmagz.com)

Beri komentar

Sekolahnya Manusia, Bukan Sekolah Robot





Belajar = Bermain dan Bermain = Belajar

Sekolah bagi Edi tak ubahnya  penjara. Ketika masih di TK, Edi tak pernah mau berangkat sekolah.  Baginya, sekolah hanya menghalangi keasyikannya bermain.  Akibatnya, Edi tak bisa membaca dan menulis serta selalau ‘fobia’ pada hal-hal yang berbau sekolah.  Orangtua Edi dibuat resah oleh tingkah laku sang anak yang dianggap nyeleneh dari kebiasaan umum anak-anak seusianya.  Apakah hal ini merupakan indikator bahwa Edi adalah anak yang malas?  Ataukah justru jenis pembelajaran di sekolah yang menghalangi tumbuh kembangnya kecerdasan Edi?

Pertanyaan mulai terjawab ketika Edi memasuki tingkat sekolah dasar.  Pada masa-masa awal bersekolah, Edi masih bermalas-malasan dan tidak semangat dalam mengikuti  pelajaran.  Untungnya guru-guru di SD tersebut mampu mengenali potensi kecerdasan Edi, yaitu kinestetis (gerak) dan spasial visual (ruang).

Metode pembelajaran klasikal-ortodoks yang mewajibkan anak didik duduk manis dan diam di sebuah ruang berukuran 5 x 15 m selama enam jam atau bahkan lebih tentulah sangat membosankan bagi seorang Edi yang sangat menyukai gerak dan ruang luas.  Setelah menyadari jenis kecerdasan yang dimiliki Edi, para guru memberikan aktivitas  yang membuat Edi senang dan tertarik mengikutinya seperti aktivitas learning by sport dan learning by painting.

Saat belajar bahasa Indonesia, Edi tidak lagi duduk di kelas dan mendengarkan guru ‘berceramah’.  Edi bersama teman-teman dan guru bahasa Indonesianya keluar dari kelas dan berkeliling sekolah, mulai dari lapangan, tempat parkir, bahkan sesekali ke luar sekolah. Saat berkeliling itulah, guru mempersilakan Edi dan teman-temannya untuk secara bergantian menceritakan apa saja yang menurutnya menarik untuk diceritakan.  Guru juga bercerita dan menjelaskan berbagai benda yang ditemui di jalan. Setelah itu barulah para siswa kembali ke kelas untuk menceritakan perjalanan yang baru saja dilakukan. 

Alhasil, Edi mulai enjoy dengan sekolah karena kegiatan belajar dikemas sedemikian rupa sehingga Edi merasakan bahwa belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar.  Kini, sekolah adalah tempat bermain paling mengasyikkan bagi Edi dan murid-murid lain yang memiliki tipe kecerdasan yang sama dengan Edi.  Bahkan, saking asyiknya dengan sekolah, pada saat sakit pun Edi masih ingin masuk sekolah untuk belajar.  Luar biasa!

---

Kisah dari Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (penulis: Munif Chatib), adalah sebuah contoh tentang keberhasilan dari pembelajaran sistem multiple intelligences.

Seandainya sekolah-sekolah di Indonesia sudah menerapkan Multiple Intelligences
(dudung.net)