Showing posts with label komunikasi pd anak. Show all posts
Showing posts with label komunikasi pd anak. Show all posts

Wednesday, 26 August 2009

Bersama Anak,Bukan Di Dekat Anak

Banyak orang tua yang belum begitu memahami perbedaan antara ‘bersama’ anak dan ‘di dekat’ anak.Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda.Hal ini terutama terjadi pada orang tua yang bekerja sehingga waktu bersama anak menjadi sedikit.

Berikut tips dan trik dari Ihsan Baihaqi (pendiri sekolah orang tua PSPA):

1 .Sesibuk apapun,sediakan waktu ‘bersama’ anak.Setengah jam sehari sepertinya tak berat dan tak berlebihan,bukan?Syukur-syukur bisa lebih dari itu.

Bersama anak berbeda artinya dengan berada di dekat anak.Ada banyak orang tua yang hadir 24 jam di dekat anak tetapi tak 5 menit pun bersama anak.Bersama anak berarti berbicara DENGAN anak,bukan berbicara KEPADA anak.Kita berusaha mendengarkan perasaan anak-anak.

2.Jangan pernah MENEBUS DOSA bekerja kita dengan menawarkan banyak hal (permainan,kue,hadiah) pada anak secara berlebihan,lebih dari yang dibutuhkan anak-anak,atau bahkan tak dibutuhkannya sama sekali.Banyak orang tua melakukannya dengan alasan sebagai kompensasi karena telah meninggalkan anak-anak begitu lama.Padahal hal tersebut tidak produktif untuk masa depan mereka.Mereka dapat menjadi pribadi yang instant karena segala keinginannya dipenuhi.

3. Sebelum tidur,tatap matanya,cium keningnya,doakan dia dengan penuh kekhusyukan.Jika memungkinkan,biarkan ia mendengar apa yang kita doakan.

4.Mulailah setiap pagi dengan penuh kemesraan pada anak.Buatlah saat-saat kebersamaan dengannya penuh dengan tawa dan canda,dalam kondisi kita selelah apapun.

5 Bekerja sama dengan suami,install nila-nilai positif pada anak melalui cerita.Penanaman nilai-nilai ini adalah bekal jangka panjang untuk anak-anak.

Monday, 24 August 2009

Bila Si Kecil Banyak Bertanya

Pet! Listrik tiba-tiba padam, malam itu. Dengan sigap, abi segera menyalakan lampu minyak. Si kecil Asma’ (3) mengamati lampu minyak itu dengan penuh rasa ingin tahu. Tak lama kemudian, muncullah beberapa pertanyaan dari bibir mungilnya.

“Itu apa Bi?” “Itu lampu minyak, Sayang.” “Kok pakai lampu minyak kenapa Bi?” “Karena listrik mati.” “Listriknya kok mati kenapa toh Bi?” “Ya…mungkin karena tadi ada hujan deras.” “Kok tadi ada hujan deras kenapa Bi?” “Tadi di langit kan ada awan hitam, awan itu sekumpulan air, kalau turun jadi hujan.” Bla…bla…bla….Demikianlah pertanyaan si kecil bagai tak ada habisnya. Abinya pun dengan sabar menjawab pertanyaan putri sulungnya.

Rasa Ingin Tahu, Jangan Dimatikan

Anak-anak berusia 2-5 tahun memang seringkali mengajukan banyak pertanyaan kepada orangtua atau pengasuhnya. Pertanyaan mereka biasanya tidak jauh dari apa yang mereka temui, amati atau rasakan. Yang mendorong mereka mengajukan pertanyaan adalah besarnya rasa ingin tahu mereka terhadap segala sesuatu.

Sebenarnya, kita semua memiliki bekal rasa ingin tahu ini semenjak lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan, dan bicara. Selanjutnya, rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak mereka. Sayangnya, orangtua banyak melakukan intervensi negatif sehingga naluri penting ini terkubur dalam-dalam.

Seringkali orangtua tak mau menjawab pertanyaan anak-anaknya yang menurut mereka terdengar konyol, lugu, dan seperti dibuat-buat. Seakan tak ada gunanya kalaupun orangtua mau repot-repot menjawabnya. Hal ini menjadikan anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahunya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya tak pernah dijawab, anak pun jadi malas untuk bertanya lagi, dan jadi tak peduli pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tindakan orangtua yang mematikan rasa ingin tahu anak itu sungguh tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan otak anak.

Sebagian kecil orangtua memang ada yang sangat mendukung perkembangan intelektual anaknya. Mereka bukan hanya menjawab pertanyaan anak, tetapi juga berusaha melakukan sesuatu untuk semakin menumbuhkan rasa ingin tahu sang anak. Mereka mendorong anak untuk bertanya dan terus bertanya, hingga anak sendiri yang kehabisan pertanyaan. Untuk itu, para orangtua ini menyediakan waktu sebanyak mungkin, karena mereka tahu, sepatah kata jawaban bisa menjadi sangat berarti bagi perkembangan sel saraf otak anak.

Perlu Kesabaran

Orangtua yang tidak sabaran, mungkin cuma diam atau menjawab ‘tidak tahu’ saat ditanya sang anak. Kadang, pertanyaan anak malah dijawab dengan bentakan, “Sudah diam! Jangan tanya-tanya terus. Ibu capek.”
Memang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anak itu diperlukan kesabaran, di samping perhatian dan kepandaian dalam menjawab. Seorang ibu yang sudah disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu macam pertanyaan anaknya. Demikian juga dengan sang ayah yang sudah bekerja seharian mencari nafkah. Rasa lelah itu bisa menghilangkan mood untuk sekadar menjawab sang anak.
Bukankah jika kita menyatakan siap punya anak, secara otomatis kita juga harus siap ‘direpoti’?

Adalah salah besar jika hanya karena alasan sibuk atau capek, lalu orangtua mematikan rasa ingin tahu sang anak. Sebisa mungkin, walau sedang sibuk bekerja, kita tetap berusaha memberi perhatian pada anak. Sambil memasak, seorang ibu bisa menjawab pertanyaan anak. Sambil membersihkan rumah pun bisa terus mengobrol dengan mereka.
Sekali lagi, dalam hal ini memang dibutuhkan kesabaran tinggi. Dalam menjawab pun kita harus menunjukkan perhatian, yang bisa ditampakkan lewat mimik muka dan cara menjawab dengan nada bersungguh-sungguh.

Jawablah dengan Benar

Orangtua tak perlu memberikan jawaban panjang atau berbelit-belit, sehingga malah sulit dimengerti anak. Cukuplah menjawab pertanyaan anak dengan jawaban pendek dengan bahasa yang disesuaikan dengan pemahaman anak. Jangan pernah menjawab pertanyaan anak dengan sembarangan. Jika menjawab, jawablah dengan benar. Jika orang tua tidak tahu jawaban yang benar, tak usah mencoba berbohong. Lebih baik katakan tidak tahu, dan cobalah menerangkan di lain waktu bila jawabannya sudah didapat. Sebagaimana contoh kasus di awal tulisan ini, Abu Asma’ berusaha menjawab pertanyaan putrinya dengan jawaban-jawaban pendek yang mudah dipahami.

Beruntunglah anak bila orangtuanya selalu berusaha menjawab pertanyaannya dengan benar. Selain bisa memuaskan hatinya, jawaban itu juga akan menambah pengetahuan dan wawasannya. Sayangnya, tak sedikit orangtua yang suka memberikan jawaban tidak benar pada anak. Misalnya saat Hasan (5) bertanya pada ibunya tentang gempa yang menyebabkan genting-genting di rumahnya melorot ke bawah. “Kok terjadi gempa kenapa Bu?” “Karena ada raksasa besar yang mengamuk di dalam laut, jadi bumi bergoncang.” Mungkin jawaban tersebut bisa diterima oleh daya imajinasinya, akan tetapi jawaban itu tidak menambah perbendaharaan pengetahuannya. Jawaban semacam ini sangat tidak bermanfaat, dan harus dijauhi oleh para orangtua. Seharusnya pertanyaan Hasan bisa dijawab, “Gempa itu penyebabnya bisa bermacam-macam. Salah satunya karena ada gunung meletus di daratan atau lautan, jadi bumi bergoncang.” Jika Hasan masih penasaran dengan sebab-sebab gempa lainnya, ibu bisa mencarikan referensi, misalnya buku atau majalah yang membahas tentang gempa, untuk dibacakan atau dibaca sendiri oleh Hasan.

Kemampuan Otak Balita

Mungkin kita mengira, anak-anak balita itu selain lugu juga tak tahu apa-apa tentang alam semesta kehidupannya. Tapi adalah kesalahan besar jika kita menganggap mereka bodoh, karena mereka mempunyai daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari yang kita pikirkan. Dari sekian banyak pertanyaannya yang dia ajukan dalam sehari, pasti ada yang masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya. Ya, balita memang memiliki kemampuan menangkap pengetahuan dengan hebat, karena otak mereka belum dipengaruhi untuk memikirkan hal-hal lain.

Sebuah pertanyaan saja, bagi anak ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran di sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka jawabannya akan sangat berarti untuk mengasah ketajaman otaknya.

Yang perlu dikhawatirkan justru kalau anak terlalu pendiam, dan tidak ingin tahu banyak tentang segala sesuatu. Ia tidak pernah bertanya, dan tidak tertarik dengan adanya benda baru. Anak seperti ini harus ‘dipancing’ untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Orangtua bisa memulai dengan mengajukan pertanyaan, “Azmi, mengapa kalau siang tampak terang dan malam tampak gelap?” Atau, “Kamu dan ayam sama-sama punya kaki. Mengapa kamu bisa menendang bola, ayam tidak?” Dengan pertanyaan menarik diharapkan anak akan terangsang, kemudian menanyakan segala sesuatu. Makin sering orangtua memancing dengan berbagai pertanyaan menarik, tentu anak akan meniru tindakan orangtua.

Untuk mengembangkan kemampuan anak bertanya, bimbinglah anak untuk mempraktikkan kunci utama pertanyaan, yaitu 5W+1H. Yang dimaksud 5W+1H adalah what (apa), when (kapan), where (di mana), who (siapa), why (mengapa) dan how (bagaimana)
Selain itu orang tua juga bisa menyediakan buku bacaan atau majalah islami untuk anak-anak. Melihat gambar-gambarnya yang menarik dan berwarna-warni, bisanya anak-anak akan tertarik untuk mempertanyakan apa yang ia lihat.

Jika anak tetap belum banyak bertanya seperti yang kita harapkan, maka orangtua yang harus aktif menyakan segala sesuatu tentang gambar-gambar atau kisah di buku tersebut. Yang mesti disadari, proses ini membutuhkan waktu dan memerlukan kesabaran. Semoga kita memiliki putra-putri yang shalih dan pintar.(Sumber: Mendidik dengan Cinta)

Tuesday, 18 August 2009

Katakan "Ayah/Ibu Sayang Kamu" Setiap Hari

Salah satu cara termudah untuk membuka saluran komunikasi adalah menyatakan hal-hal yang jelas.Hampir semua orang tua menyayangi anak-anak mereka,namun sangat jarang mereka mengatakan hal itu kepada anak-anaknya.

Anak-anak tidak perlu dicereweti atau dipuji berlebihan karena hal-hal sederhana yang harusnya dilakukan setiap hari atau disebut genius karena menaruh gelas kotor di tempat cuci piring.Mereka tidak perlu dijadikan pusat beredarnya jagad raya dan terlalu dimanja karena lebih mudah bagi Anda untuk mengikuti mau mereka daripada menghentikan mereka.
Tetapi mereka tetap butuh dorongan.Mereka butuh pelukan dan cium setiap hari.Mereka perlu merasa bahwa dirinya sosok penting bagi Anda.

Setiap hari,anak-anak butuh mendengar hal-hal berikut:
· Ayah/ibu sayang kamu
· Tolong
· Terima kasih
· Terima kasih karena kamu jadi anak ayah/ibu
· Ayah/ibu bangga padamu
· Ayah/ibu percaya padamu
· Ayah/ibu yakin padamu

Anda juga bisa menyelipkan catatan kecil ke dalam kotak makan atau tasnya.Pengakuan kecil dapat sangat membantu aktivitasnya sehari-hari.

Teknik Dasar Berbicara Kepada Anak

Ketika kami membantu keluarga dalam acara Nanny 911,orang tua selalu heran karena anak-anak mereka yang lepas kendali langsung terdiam ketika kami tiba,padahal mereka sebelumnya baru saja terlibat dalam pertandingan menjerit.Mengapa mereka mendengarkan kami tetapi tidak pada orang tuanya?

Karena kami mengambil langkah-langkah sederhana untuk membuat anak merasa aman.Dan ketika anak merasa aman,mereka bisa berbicara dengan bebas dan jujur.
Ikuti langkah-langkah yang dijabarkan oleh Nanny Deb dan Stella berikut ini dan gunakan saat menghadapi anak-anak yang sedang kesal:

1. Turunkan tubuh Anda setinggi anak.
Duduk atau berlutut;pilih yang nyaman untuk Anda.

2. Tatap matanya.
Ini penting sekali.Jika perlu palingkan kepala anak dengan tangan Anda –dengan lembut-supaya dia menatap langsung kepada Anda.

3. Jika si anak sangat marah,usap punggung atau perutnya.
Usapan pengakuan.Anda tidak perlu memeluk atau menarik anak ke dekat Anda ketika Anda sedang berbicara kecuali si anak benar-benar histeris dan perlu ditenangkan.(Kalau itu terjadi,biarkan si anak tenang sebelum memulai percakapan apapun.Suruh mereka menarik nafas dan bantu mereka melakukan itu-ini biasanya sangat membantu).

4. Ubah nada suara Anda.
Berkatalah dengan suara yang tegas tetapi lembut.Suara serius adalah suara yang tidak tinggi.Pernah,Nanny Deb berjalan masuk ke sebuah rumah dan seorang bocah berusia tujuh tahun sedang memukuli ibunya yang terduduk diam di atas sofa.Tanpa buang waktu,Nanny Deb memegang tangan si anak dan berkata,”Kamu hentikan ini sekarang juga.Jangan pernah lakukan itu pada ibumu lagi.”Kemudian dia langsung mendapat time out tanpa melirik ke belakang.Nanny Deb tidak berteriak ataupun menjerit.Nada suaranya sudah cukup berkata : kekerasan tidak akan ditoleransi.

5. Beri kata-kata kepada anak untuk membantu mengalirnya percakapan.
Lihat contoh berikut:
Untuk anak-anak yang masih kecil,katakana,”Coba ikuti ibu” dan kemudian dorong anak untuk mencoba.Untuk anak-anak yang lebih besar,Anda bisa memulai percakapan dengan mengatakan sesuatu yang jelas,seperti :
“Kamu kelihatannya kesal.”
“Coba kasih tahu ibu/ayah apa yang membuatmu kesal.”
“Apa yang membuat kamu kesal?”
“Kamu marah karena apa?”

6. Ulangi apa yang dikatakan oleh si anak
Ini menunjukkan kepada mereka kalau Anda benar-benar mendengarkan.Hal ini juga memberi Anda waktu untuk mengatur ulang pikiran Anda.

7. Jangan menyela
Biarkan anak mengatakan apa yang ada di benaknya.Katakan kalau Anda mengerti.Kemudian,ketika giliran Anda tiba,mereka akan berhenti bicara (karena mereka bilang begitu) dan mendengarkan Anda.Kalau mereka menyela ketika Anda sedang bicara,katakan ,”Ayah/ibu mengerti,tetapi biarkan ayah/ibu selesai dulu,kemudian baru kamu bisa bicara.”

8.Tetap tenang.
Betapapun bergejolaknya hati Anda!

Friday, 31 July 2009

STOP! Komunikasi Dengan Kekerasan

Anak menangkap pesan kekerasan melalui komunikasi yang dibangun lingkungannya setiap hari. Perlahan tapi pasti, komunikasi dengan kekerasan akan merusak fitrah anak yang penuh dengan kelembutan. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit diatur, pembangkang, dan keras hati.

"Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" Ibu Dewi memelototi Firman (5 tahun) yang tidak mau membuka mulutnya untuk memakan sayur sop. "Ayo makan sop ini, kalau tidak Mama pukul!" Namun, Firman tak juga menurut. Ia malah lari ke kamar dan membanting pintu.

Perekat keluarga

Menurut Ery Soekresno, Psi, Pengelola Sekolah Kebon Maen, Cilangkap-Cimanggis-Depok, komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam keluarga. Menurutnya, komunikasi berfungsi sebagai perekat keluarga. Ery mencontohkan, berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1996, faktor penyebab tingginya angka perceraian di Amerika ternyata bukan disebabkan kehadiran orang ketiga. Karena di mata masyarakat Amerika umumnya, perzinahan sudah dianggap halal. Namun, penyebab yang tertinggi adalah faktor terhambatnya komunikasi suami istri. Komunikasi yang tidak lancar antara suami istri akan berdampak pula terhadap kelancaran komunikasi pada anak.


Komunikasi antara orang tua dan anak adalah sebuah proses pengiriman pesan dimana pesan yang diterima sama dengan pesan yang dikirim. Komunikasi dengan kekerasan, menurut Ery adalah, penyampaian pesan yang dilakukan secara negatif. Termasuk dalam komunikasi secara negatif adalah saat orangtua menggunakan bahasa yang tidak indah. "Bahasa yang jelek tidak menyenangkan anak, akibatnya anak tidak mau mendengarkan orangtua," tutur psikolog yang aktif menyerukan kampanye komunikasi tanpa kekerasan ini.

Komunikasi dengan kekerasan tidak melulu berarti disampaikan dengan bahasa-bahasa yang tidak baik, seperti penggunaan kata yang berasal dari ‘kebun binatang’ atau kata hinaan lainnya. Penggunaan kata seperti yang diungkapkan Ibu Dewi, "Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" juga bermasalah. Coba ditimbang secara jujur, betulkah ungkapan itu? Selain menggunakan kata ‘samasekali’, ditambah pula kata ‘tidakpernah’. Artinya: tidak pernah sama sekali! Padahal, sang anak toh hanya kadang-kadang saja berbuat seperti itu. Bahasa bernuansa ‘kekerasan’ ini juga diperkuat dengan bahasa non verbalnya, yaitu nada bicara yang tinggi, mata melotot, dengan tangan yang sudah terangkat untuk memukul.

Verbal dan non verbal

Ada dua bentuk komunikasi, yaitu verbal (bahasa) dan non-verbal (bahasa tubuh). Artinya, saat orangtua berbicara kepada anak, bukan hanya kata-katanya saja yang ditangkap oleh anak. Menurut Ery, di bawah usia satu tahun, mungkin mereka hanya menangkap 10% kata yang diucapkan ibu. Sisanya lebih kepada bahasa non-verbal.

Ery mencontohkan, saat bayi berbicara dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Misalnya bah, bah, bah. Kebetulan ibu ini membahasakan bapaknya itu abah. Ibu memberikan respon sambil menunjuk pada suaminya atau menunjukkan fotonya, "Oh Abah ya, Abah. Ya, itu Abah."Artinya, anak itu memahami sebuah kata itu kan dari bahasa non verbal karena setiap kali dia ngomong bah, bah, bah kok yang ditunjuk orang itu. Akhirnya kata itu memiliki arti bagi dirinya. Meskipun saat itu anak belum mengerti betul tentang siapa sebenarnya Abah.
Menurut Ery, orangtua perlu terus menyadari bahwa bahasa non-verbal yang dipakainya sangat penting bagi anak. Meski bahasa yang digunakan orangtua positif, namun bila komunikasi non-verbalnya negatif, maka pesan yang diterima anak adalah seperti yang ia lihat. Misalnya, seorang ibu mengatakan pada anaknya, "Ibu tuh sebenarnya sayang sama kamu,” tapi intonasinya yang tinggi atau dilakukan sambil mencubit anak. Tak salah bila anak akan berpikir, "Oh sayang itu artinya sama dengan mencubit ya."

Akhirnya, saat bertemu dengan sepupu, adik atau temannya atau dia dengan adiknya dia menyampaikan sayangnya dengan mencubit. "Padahal seharusnya menyampaikan rasa sayang harus diiringi dengan pelukan dan suara yang lembut agar anak mampu menangkap pesan yang disampaikan dengan benar," jelas istri dari Irwan Rinaldi ini.

Dampak komunikasi dengan kekerasan

Dampak dari komunikasi dengan kekerasan terhadap anak-anak adalah hilangnya fitrah kelembutan. Berdasarkan pengalamannya, anak yang terbiasa dengan kekerasan, sejak kecil sudah terlihat. Karena terbiasa dengan kekerasan, ia pun akan membutuhkannya setiap kali akan melakukan sesuatu. Hal itu terjadi karena fitrah kelembutannya sudah melemah.

Komunikasi dengan kekerasan juga akan membuat anak tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Ery mencontohkan adegan yang terjadi pada sebuah keluarga saat mereka menanti datangnya waktu maghrib untuk berbuka puasa. Di hari pertama, ibu menyediakan menu lengkap, ada kue, es kelapa, gorengan, disamping menu utama hari itu.
Di hari kedua, sang ibu tidak menyediakan gorengan dalam deretan menu berbuka. Namun, ia menggantikannya dengan makanan kesukaan anak-anak yang lain, yaitu puding karamel. Anaknya yang berusia 5 tahun berkomentar, "Mi, kok hari ini nggak ada gorengan?" Sang Ibu, yang kebetulan masih sibuk dengan urusan dapur langsung bereaksi dengan melakukan interpretasi dan evaluasi. " Kamu ini kok nggak bersyukur banget sih?" Anak yang semula hanya sekedar berkomentar tentu menjadi takut untuk menyampaikan komentar pada kesepatan lain. Apalagi bila hal seperti itu terjadi berulang kali.
Lebih berbahaya lagi, menurut Ery, bila anak menjadi terbiasa melakukan pekerjaan secara sembunyi-sembunyi. Bila orangtua tidak segera mengubah cara berkomunikasinya, maka dampak itu akan terpelihara sampai anak tumbuh dewasa.
Dampak lainnya adalah menjadi terbiasa berpikir negatif. Artinya, ketika ada orang bermaksud baik terhadap anak, dia tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya, anak akan berpikir, "Apa sih maksudnya kamu berbuat baik sama aku?" Menurut Ery, hal itu terjadi karena orangtua terbiasa berpikir negatif terhadap dirinya yang terwujud dengan komunikasi yang negatif. Akhirnya, yang terbangun dalam benak anak adalah apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar.
Misalnya, saat seorang anak sedang duduk-duduk di dalam rumah sementara ibunya sedang menyapu lantai. Sang Ibu mengatakan "Aduh Kakak, tidur-tiduran aja, enggak mau membantu ibu nyapu," Sebaliknya, saat sang anak sedang menyapu lantai, Ibu berkomentar, "Wah tumben nih anak ibu nyapu." Komentar seperti itu akan membuat anak menjadi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan karena menjadi serba salah.
Komunikasi yang baik saat ibu sedang menyapu sementara anaknya sedang tidur-tiduran adalah "Ibu seneng deh kalau kakak mau membantu Ibu nyapu. Kalau kakak membantu Ibu pekerjaan rumah ibu cepat selesai. Habis itu kita bisa bermain dan cerita-cerita". Pesan akan sampai tanpa perlu menyakiti perasaan anak. Anak pun menjadi lebih mudah diajak bekerjasama. Saat anak sedang menyapu, seharusnya Ibu menyampaikan penghargaannya dengan pesan yang positif, tanpa perlu menyindir anak.

Menurut Ery, faktor pembentuk utama dan pertama adalah keluarga. Bila rumah sudah berfungsi sebagai tempat yang memberikan kesejukan untuk anak-anak, maka ke mana pun anak pergi, rumah tetap menjadi referensi utama bagi anak. Kesejukan itulah yang perlu dibangun oleh orangtua melalui komunikasi tanpa kekerasan. Saat anak memiliki masalah, mereka tahu kemana harus berbicara. Saat yang paling berpengaruh bagi anak adalah sebelum anak mencapai usia balighnya karena pada masa itu anak masih mudah untuk berubah. Namun, perubahan yang paling utama dan pertama harus berawal dari para orangtua. Wallahu’alam
Source : beranda

Gaya Komunikasi Menyimpang (GKM)

Dalam sebuah seminar parenting yang diselenggarakan kharisma di Berlin pada tanggal 9 Juni 2007 , seorang psikolog ternama ibu Elly Risman, Psi., menyampaikan sebuah makalah yang sangat bermanfaat bagi setiap orang tua dan yang akan menjadi orang tua. Silahkan simak penuturan beliau dalam makalahnya tsb.

Ada 12 gaya komuniksi yang populer dilakukan orang tua. Walau disebut populer tapi belum tentu gaya komunikasi tersebut benar. Istilahnya yaitu GKM alias gaya komunikasi menyimpang. Contoh kasus, seorang ibu yang melarang anaknya bermain di ruang tamu karena baru membeli guci yang harganya “selangit”.

“Coba ya, Kakak sama Adik jangan main di situ. Tahu enggak, guci mama itu baru. Harganya mahal banget. Nanti kalau kesenggol kan bisa pecah. Sana, mainnnya di tempat lain.”

Namun, namanya anak-anak, maklum saja kalau mereka tetap bermain di situ. Sampai tiba-tiba si Kakak terdengar menangis keras. Si ibu pun berlari tergopoh-gopoh. Ia menghela napas lega kala gucinya masih aman-aman saja di tempatnya. Namun, ia terperanjat saat kaki anaknya terluka karena terjatuh. Lalu mulailah sang ibu mengeluarkan 12 GKM tadi, yaitu:

“Tuh, kan tadi Mama bilang juga apa. Enggak denger, sih!” (Menyalahkan)
“Sudah, diam, jangan nangis!” (Memerintah)
“Katanya jagoan, tapi kok nangis?” (Mengeritik)
“Benar, kan. Ini akibat kamu eggak mendengarkan mama. Lain kali kalo Mama bilang, nurut ya.” (Menasehati)
“Nakal, sih, enggak bisa diam.” (Melabel/mencap)
“Coba sini Mama lihat lukanya. Ah, kayak begini aja masak sakit.” (Meremehkan).
“Adik aja waktu lukanya menganga enggak sampai menangis begitu.” (Membandingkan)
“Ya, sudah, besok pasti sembuh.” (Membohongi)
“Sudahlah, jangan dirasa-rasai. Nonton TV atau baca buku sajalah sana.” (Menghibur)
“Awas ya, kalau lain kali Mama bilang ngga nurut.” (Mengancam)
“Coba pikir, kenapa sampai terjatuh? Kan kamu enggak dengerin Mama? Kamu dorong-dorongan sama Adik?” (Menganalisa)
“Lain kali main dorong-dorongan lagi saja. Kan enak…!” (Menyindir)

DAMPAK GKM

Padahal jika 12 GKM tadi terus-menerus dilakukan, tak sedikit dampak yang diakibatkan. Diantaranya kepercayaan diri anak bisa hilang, anak merasa tidak punya harga diri, perasaan anak selalu tertekan, emosinya tak tersalurkan, serta komunikasi antara anak dan orang tua sesungguhnya takpernah berjalan. Jelas saja akhirnya anak akhirnya frustasi terhadap orang tua. Bahkan beberapa kasus salah komunikasi seperti itu, bisa berakibat fatal karena anak memutuskan menghabisi dirinya sendiri, seperti yang kini banyak terjadi.

12 GKM tak hanya berampak pada sisi kejiwaan anak, tapi juga akan mempengaruhi perkembangan otaknya. Menurutnya, komunikasi-komunikasi menyimpang tadi ang berlangsung terus- akan mengganggu sirkuit otak anak.
Pasalnya, anak yang selalu dalam keadaan terancam tidak akan pernah bisa berpikir panjang apalagi belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan otak bagian korteks yang merupakan pusat logika. Berarti di korteks inilah pusat kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa, kemampuan memecahkan masalah hingga kemampuan mengambil keputusan.

Namun, korteks hanya bisa “dijalankan” kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila tidak, atau saat anak dalam keadaan tertekan karena kerap dimarahi, tidak disayang, merasa tidak dibutuhkan, maka segala stimulus yang masuk hanya sampai di batang otak saja. Kalau sudah begitu, cara berpiki anak tak berbeda dengan cara berpikir binatang yang hanya menggunakan instink.

Ya, seperti dikatakan tadi, anak jadi tidak bisa berpikir panjang. Tak heran kalau ada anak yang tidak dibelikan duren oleh orang tuanya lantas bunuh diri karena dia tidak bisa berpikir panjang.
Oleh arena itu, dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua harus memperhatikan pula cara sirkuit otak bekerja. apa pun kondisi orang tua, apakah sedang capek, letih, lesu, sakit, tetaplah berusaha menjaga komunikasi yang tidak menyimpang dengan anak.

Dengan contoh kasus tadi, saat orang tua tahu anaknya terjatuh padahal sudah dilarang bermain di tempat itu, yang pertama mesti dilakukan adalah kendalikan diri jangan langsung bereaksi. Ini juga berlaku pada semua kasus.

Jika orang tua bisa mengendalikan diri berarti dia juga bisa mengendalikan emosinya sehingga otaknya memiliki waktu untuk berpikir, apakah perkataan yang dikeluarkan akan menyakitkan anak atau tidak. Dengan emosi yang terkendali sangat mungkin orang tua akan berkata, “Jatuh ya sayang. Sini Mama obatin. Lain kali enggak usah main dorong-dorongan lagi ya!”
Source : al-habib