Showing posts with label Info parenting. Show all posts
Showing posts with label Info parenting. Show all posts

Monday, 7 September 2009

Mengapa Anak Berbohong?

Anak berbohong? Wah, mungkin bagian dari masa pertumbuhannya? Masa sih?? Akan tetapi kita tetap harus waspada. Kejujuran merupakan harta tak ternilai, dan harus mulai ditanamkan sejak kanak-kanak.
Namun dalam keseharian, kita kadang mendapati kebohongan yang dilakukan buah hati kita. Terutama setelah mereka mempunyai teman, mempunyai komunitas, yang sangat mungkin nilai kejujuran bagi teman-temannya tidak mereka dapatkan di rumah masing-masing sehingga berbohong bukanlah barang haram.

Padahal, berbohong bagi anak-anak (terutama kepada orangtua) sangat berbahaya. Orangtua akan sulit mengarahkan anak jika anak biasa berbohong kepada orangtua.

Kemampuan tingkat tinggi

Pendapat sebagian orang, sikap berbohong pada seorang anak bisa disebut sebagai kemampuan tingkat tinggi. Bayangkan anak berimajinasi, yang terkadang membuat kita terheran-heran atas imajinasinya itu bukan? Terdapat 2 kemampuan kognitif yang melibatkan otak kanan (imajinasi) dan otak kiri (logika).

Saat berbohong, seorang anak dapat menggunakan atau menggabungkan kedua-duanya. Jika yang keluar adalah berbohong tingkat tinggi, berarti dia sedang menggunakan otak kanannya. Namun, bagi saya, anak berbohong adalah kemubadziran kemampuan. Seharusnya kemampuan ini bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang jauh lebih bermanfaat.

Jika kita membiasakan dan mencontohkan agar anak tidak berbohong, maka berbohong akan membuat anak tidak nyaman.Bagian dari pertumbuhan.Pendapat orang, kebohongan anak juga berkorelasi dengan tingkat pertumbuhannya. Namun menurut saya, berbohong berkolerasi dengan makin luasnya pengaruh yang sampai kepada anak. Anak tidak lagi hanya mendapat pengaruh dari keluarga tetapi juga dari lingkungan sekitar yang makin luas.

Hati-hati, sekali anak berbohong kita harus tahu dan segera meluruskan bahwa berbohong (terutama pada orangtua) sangat berbahaya. Jika tidak segera diluruskan, semakin anak berbohong, semakin pandai dia melakukannya dengan tidak terlalu merasa bersalah. Jangan sampai anak anda merasa nyaman saat berbohong (kepada orangtua)Orang tua mesti ekstra hati-hati.

Ajak anak bicara dari hati ke hati, sediakan waktu lebih banyak untuk menjalin komunikasi dengan anak. Tanamkan pula bahwa Anda sangat mempercayainya, dan sebaiknya kepercayaan ini dapat dipegang oleh anak. Memberi pengertian kepada anak tentang berbohong, yang baik adalah dengan mengajak mereka melihat sesuatu masalah dari sisi orang lain. Katakan kepada mereka bahwa tindakan bohong tidak dapat diterima apalagi jika dilakukan untuk menyembunyikan suatu kesalahan.

Perlukah menghukum?

Menghukum boleh-boleh saja, tetapi tentu saja harus disesuaikan dengan usia anak. Misalnya pada anak usia sekolah, jika tingkat kebohongannya jelas, hukumlah dia , misalnya dengan tidak boleh menonton televisi. Tetapi ingat, jangan sampai hukuman tersebut justru semakin menekan anak sehingga membuatnya “terpaksa” berbohong demi menutupi kekurangannya.

Misalnya saja saat ia tidak mengerjakan pe-er karena terlalu lelah bermain bola, hindari memarahinya. Lebih baik Anda dan anak mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut. Bagaimanapun Anda juga mesti menghargai kejujuran anak. Memang tiada manusia yang sempurna, dan ini perlu juga diketahui oleh seorang anak. Namun, selalu ada jalan untuk menyelesaikan masalah, dan akan semakin mudah bila itu dilakukan secara bersama-sama, bahu membahu.

“Untuk urusan berbohong, pada prinsipnya, baik untuk anak pra-sekolah, anak usia sekolah atau bahkan remaja sekalipun, penanganannya sama, yakni mengajaknya diskusi. Karena mereka sesungguhnya sedang belajar menapaki hidup. Jangan dimusuhi, melainkan harus terus dibimbing, dirangkul. Jika salah langkah, maka akan muncul apa yang disebut anak nakal, karena orang tua salah menempatkan mereka,” papar Dr. Seto Mulyadi.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengajak si kecil memahami arti kejujuran. Coba ingat-ingat kembali, tanpa sengaja kita sebagai orang tua seringkali menanamkan pelajaran yang salah. Misalnya saja saat Anda sedang malas menerima telepon, dan meminta si kecil mengangkatnya dan mengatakan “Mama sedang tidak di rumah.” Kelihatannya sepele memang, namun saat itulah pelajaran berbohong sedang dimulai.

Tips menghadapi anak berbohong :

* Tempatkan anak di posisi yang terhormat.
* Jadilah pendengar yang baik, untuk mengetahui apa yang terjadi pada anak Anda
* Terapkan metode ”Win win solution”, pemecahan masalah melalui cara yang baik bagi semua
* Kalau Anda tahu bahwa anak sedang berbohong, coba peluklah dia. “Mama tidak marah, tetapi sangaaat sedih kalau anaknya berbohong. Karena Allah juga tidak suka dengan anak yang membohongi mamanya.”
* Jadikan bohong sebagai pembelajaran anak. Anak boleh salah, tetapi jadikan kesalahannya itu sebagai pelajaran berharga.(mama-ibuindonesia.blogspot.com)

Mengapa Anak Mudah Takut?

Anak Anda mudah ketakutan? Sebenarnya hal itu wajar. Tapi, bila Anda tak membantu mengatasi ketakutannya, ia bisa mengalami fobia. Pada dasarnya, ketakutan pada batita merupakan suatu keadaan alamiah yang membantu individu melindungi dirinya dari suatu bahaya sekaligus memberi pengalaman baru.

Pada sejumlah batita, rasa takutnya masih sebatas pada hal-hal spesifik seperti takut pada anjing, gelap, atau bertemu orang asing.Ironisnya, sebagian besar ketakutan yang terjadi pada anak justru muncul karena ditularkan oleh orangtuanya ataupun orang dewasa yang berada di sekelilingnya.
Contohnya, karena kuatir pada suatu atau kondisi tertentu, tanpa sadar orangtua akan melarang anak dengan cara menakut-nakutinya. Misalnya, "Awas ada anjing gila, nanti kamu digigit!" Akibatnya, anak merasa terancam alias tidak aman setiap kali melihat anjing. Padahal, umumnya anjing hanya akan marah dan mengigit jika diganggu.
Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya. Untungnya, rasa takut ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Namun peran dan dukungan orang tua.masih tetap penting.Yang jadi masalah adalah bila rasa takut terendapkan dan tidak teratasi sehingga berpengaruh pada aktivitas sehari-hari anak.
Parahnya, ketakutan tersebut dapat mengarah menjadi ketakutan yang bersifat patologis ataupun fobia alias ketakutan berlebih karena pernah mengalami kejadian tertentu.Adapun ketakutan yang sering terjadi pada batita antara lain, takut berpisah. Anak akan merasa cemas bila ia harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang selama 3 tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang dekat dengan anak.
Kelekatan anak dengan sosok ibu tersebut biasanya akan berkurang di tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya. Namun, akan menjadi lain bila si ibu terlewat melindungi atau overprotektif sehingga ia tak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain.Perlakuan semacam ini justru akan membuat kelekatan ibu dan anak akan terus bertahan dan akhirnya menimbulkan kelekatan patologis sampai si anak besar.
Akibatnya, anak tak mau sekolah, gampang nangis, dan sulit dibujuk saat ditinggal ibunya.Bahkan jika ibu beranjak ke dapur atau ke kamar mandi pun, si anak akan terus mengikuti.Bila sudah demikian, jelaskan pada si kecil, mengapa ibunya harus pergi atau bekerja. Jika ibu tidak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu anak lewat telepon. Sebab, ia akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Bahkan ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang.
Ketakutan lain yang dialami anak, antara lain takut masuk bersekolah. Sebab, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak mudah beradaptasi. Begitu pun orangtua, banyak yang tak rela melepas anaknya "sekolah" karena khawatir anaknya terjatuh saat bermain atau ia mungkin saja didorong temannya.Oleh sebab itu, Anda dapat mengantar anak ke sekolah, tapi tidak menungguinya. Sebagai gantinya, Anda dapat menitipkan anak kepada gurunya. Dan yakinkan diri Anda bahwa anak dapat melupakan rasa takutnya seiiring dengan kegembiraannya bermain bersama teman-temannya.
Ketakutan lainnya, yaitu anak takut dengan orang asing. Di usia awal, anak memang mau digendong dan dekat dengan siapa saja. Namun di usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mengerti atau mengenali orang. Ia mulai sadar, mana orangtuanya dan mana orang lain yang jarang dilihatnya.
Untuk itu biarkanlah ia bereksplorasi dengan bebas. Hindari nasihat yang menakut-nakuti, seperti jangan dekat-dekat sama orang yang belum kamu kenal. Nanti diculik, lho. Nasihat ini bukannya tidak boleh, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara menakut-nakutinya.Tidak hanya orang lain yang ditakuti, tapi anak juga biasanya takut pergi ke dokter. Hal ini terjadi, mungkin karena ia pernah mengalami hal tak mengenakkan seperti ia pernah disuntik. Untuk mengatasi ketakutan ini, Anda dapat mengizinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya. Benda-benda ini penting agar ia merasa aman dan nyaman.
Cara lainnya, Anda dapat membantunya dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter-dokteran. Biarkan anak menjalani peran dokter dengan boneka sebagai pasiennya. Diharapkan dengan cara ini, lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
Hal lain yang menjadi momok bagi anak, yaitu takut hantu. Ketakutan terhadap hantu ini merupakan ketakutan yang diajarkan lewat ancaman Anda atau orang dewasa lainnya. Selain itu ia mungkin mendapatkannya melalui interaksinya menonton film horor di televisi. Oleh karena itu, jauhkan anak dari tontonan tentang hantu. Anda ataupun orang dewasa lainnya jangan pernah menakut-nakuti anak hanya demi kepentingan sesaat. Cara lainnya Anda dapat menganti karakter hantu dengan peri yang baik hati. Belikan buku-buku cerita atau tontonan anak mengenai karakter hantu atau penyihir yang baik hati.
Masih banyak ketakutan yang sering dialami anak seperti takut gelap, berenang, serangga, anjing dan sebaginya. Namun pada intinya, apapun jenis ketakutannya yakinkanlah ia, bahwa tidak akan ada satu makhluk pun yang akan menyakitinya bila ia tidak lebih dahulu menyakiti makhluk tersebut. Berpesanlah kepadanya untuk senantiasa berbuat baik, karena anak baik tidak akan pernah mendapatkan gangguan. (Majalah Inspire Kids)

Menghindarkan Anak Dari Sifat Penakut

Sudah masyhur kita dengar, kisah keberanian anak-anak yang hidup di zaman Nabi. Begitu banyak kisah anak-anak di bawah umur yang memaksa kepada Rasulullah agar diizinkan ikut berperang bersama prajurit Muslim melawan kaum kafir. Walaupun Rasul melarang anak-anak ikut berperang, mereka memaksa, berlomba-lomba dan berebut agar diizinkan. Ketika Rasul melihat tekad mereka yang begitu kuat dan bulat, terpaksa diberikannya izin, dan ternyata anak-anak itupun berperang tak kalah beraninya dengan para orang tuanya.
Tercatat nama Usamah bin Zaid yang ikut berperang semenjak kecil, dan karena keahliannya maka diangkatlah ia oleh Rasulullah menjadi panglima perang pada usia enam belas tahun. Ada pulua Rafi dan Samurah, dua orang anak yang berebut untuk bisa ikut berperang. Begitu pula si budak kecil, Umair, yang karena keberanian dan keinginannnya yang kuat ia pun dibebaskan oleh majikannya dan bahkan mendapat hadiah pedang yang ia dambakan. Masih ada pula si kecil Salamah, yang sangat ahli memanah, terkenal dapat berlari teramat cepat, dan tentu saja gagah berani.

Bagaimana bisa anak-anak belasan tahun yang setara dengan anak-anak SLTP di zaman sekarang ini sudah begitu ahli dalam berperang? Begitu besar keberanian mereka menantang marabahaya dan maut? Generasi yang kuat Difirmankan Allah Swt dalam al-Qur'an untuk tidak meninggalkan generasi di belakang kita sebagai generasi yang lemah. Karena mereka yang lemah pasti akan ditindas oleh yang kuat.

Kenyataan membuktikan, banyak pejuang Muslim yang menemui syahid dalam pertempuran-pertempuran yang tak seimbang sekadar untuk mempertahankan diri. Penyebab pokoknya adalah karena ummat Islam dalam posisi lemah. Lemah fisik, lemah strategi, lemah koordinasi, lemah dana, lemah fasilitas, lemah segalanya.

Sehingga walau jumlah kita banyak, niat kita ikhlas dan semangat membara, kekalahan juga yang didapat. Keberanian, seringkali hanya dikonotasikan dengan peperangan, sehingga oleh sementara orang hanya dilekatkan kepada pundak laki-laki saja. Sementara jika seorang Muslimah cengeng, penakut dan lemah, dianggap sebagai kewajaran karena fisiknya.

Pengertian ini diluruskan oleh seorang ahli tafsir, Dr Nashruddin Baidan dalam Tafsir bi al-Ra'yi. Menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama harus digembleng menjadi generasi yang kuat. Tentara sekuat apapun jika tanpa dukungan kekuatan motivasi kaum wanita, bisa tak berarti apa-apa. Untuk bisa menjadi motivator yang baik tentu saja kaum Muslimah pun perlu memiliki keberanian dan kekuatan mental yang kokoh.

Menurut Nashiruddin, yang diminta Allah mempertahankan negara bukan hanya laki-laki, tetapi semuanya, termasuk wanita dan anak-anak. Cara masing-masing untuk mempertahankan negara bisa berbeda-beda, sesuai kemampuannya. Namun dalam kondisi terjepit, semua jiwa wajib keluar rumah menghadang musuh dalam mempertahankan agamanya, tak peduli laki-laki maupun wanita.

Untuk tujuan pembentukan generasi penerus yang gagah berani itulah ajaran Islam memberikan tuntunan syariat yang perlu diberikan kepada anak-anak. Beberapa di antaranya adalah berikut ini.

1. Olahraga dan permainan fisik

Selain untuk membangun kekuatan, olahraga fisik juga bermanfaat menumbuhkan keberanian dan keahlian. Kuat saja tetapi tak mempunyai keberanian dan keahlian akan sia-sia. Demikian juga yang berani tetapi tak ahli dan lemah, atau yang ahli tetapi lemah dan penakut. Jadi ketiga fungsi saling melengkapi, dan semuanya harus ditumbuhkan dalam diri anak semenjak dini.

Untuk itu Islam menganjurkan beberapa cabang olahraga utama, seperti disampaikan Rasulullah saw dalam hadits-haditsnya, "Segala sesuatu yang tidak menyebut asma Allah maka ia adalah senda gurau belaka, kecuali empat perkara: Berjalannya seseorang di antara dua tujuan (untuk memanah), latihannya untuk menunggang kuda, bermain dengan keluarganya, dan belajar renangnya."

"Ketahuilah, bahwa kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah."Dan juga hadits berikut, "Tidak ada perlombaan (pertaruhan) selain di tapak kaki unta, tapak kaki kuda, dan pemanah."Selain itu Rasulullah pun menganjurkan untuk bermain lembing, seperti pernah beliau izinkan Aisyah melihat orang bermain lembing di masjid. Berenang, memanah, menunggang kuda dan unta, serta bermain lembing, adalah contoh-contoh di zaman Rasulullah. Kepada anak-anak kita perlu ditambahkan latihan menembak, membuat bom, mengendarai mobil, dan bahkan pesawat.

Intinya, semua jenis olahraga itu membangun kekuatan anak, menumbuhkan keberanian dan keahliannya.

2. Penyembelihan hewan Qurban

Hari raya Qurban identik dengan penyembelihan kambing dan sapi. Acara ritual ini cukup baik pula dijadikan ajang menumbuhkan keberanian anak. Di kesempatan ini, orang tua perlu mengajak anak-anaknya, terutama yang laki-laki untuk turut membantu proses penyembelihan, atau setidaknya menonton. Dengan melihat proses penjagalan, melihat muncrat dan mengalirnya darah hewan qurban, ini akan menumbuhkan keberanian dalam jiwa anak, sehingga mereka tak terlalu takut melihat darah.

3. Khitan di usia kanak-kanak

Sunnah khitan dilakukan di masa kanak-kanak, bagi anak laki-laki. Boleh dilakukan ketika anak masih bayi, atau dalam usia antara 5 hingga 10 tahun. Pilihan yang terakhir ini dapat dimanfaatkan bagi orang tua untuk menumbuhkan keberanian anak. Itu sebabnya, sebelum saat khitan tiba, orang tua harus mempersiapkan mental anak dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak menjadikan momen khitan ini justru sebagai pengalaman yang menyakitkan dan menakutkan bagi mereka. Karena jika hal ini terjadi, trauma ini bisa membuat anak menjadi penakut hingga dewasa.

4. Penanaman kisah-kisah kepahlawanan
Film dan buku-buku cerita yang mengisahkan tentang keberanian para tokoh pahlawan baik yang fiksi maupun nyata, baik untuk mengembangkan keberanian anak, asalkan adegan dalam kisah-kisah tersebut tidak melampaui batas. Akan lebih baik jika orang tua memilihkan kisah-kisah kepahlawanan para syuhada di zaman Rasulullah saw yang sudah banyak dibukukan.

Selain mengembangkan keberanian anak, juga mengandung nilai-nilai keutamaan yang sangat baik, sehingga anak semakin memahami mengapa, kapan, dan untuk apa mereka harus melatih keberanian. Pilihan untuk mengajak anak berdialog langsung dengan para pejuang yang sudah berpengalaman di medan peperangan adalah alternatif terbaik jika mungkin untuk dilakukan.

5. Aktivitas penuh tantangan
Ayah, adalah orang yang paling tepat mendidik anak laki-lakinya untuk terus mencari aktivitas yang penuh tantangan. Mendaki gunung, memanjat tebing, berkemah, berburu, hingga berlayar, bisa direncanakan. Untuk anak perempuan juga dikembangkan kegiatan serupa dengan tingkat kesulitannya lebih rendah, setidaknya hingga setingkat kemampuan mereka.(Suara Hidayatullah)





Agar Anak Tak Berguru Pada TV

”Bu, kalau mau bahagia, ibu dan ayah ke On Clinic aja...” begitu saran Nadine (6 tahun) kepada ibunya, Sarah.
Sarah tersentak dan dengan hati-hati bertanya balik, ”Memang On Clinic itu tempat apa?” (Sarah belakangan menjelaskan ke saya bahwa ia mengajukan pertanyaan ini dengan dada berdebar-debar tak karuan).
Nadine menjawab dengan santainya, ”Tempat berobat supaya bahagia... Ayah dan ibu bisa minta obat biar bahagia terus!”

Sarah bercerita kepada saya, celoteh Nadine tentang On Clinic itulah yang menyadarkan- nya bahwa anaknya itu sudah terlalu jauh menjadi ”anak TV”. Nadine memang gemar menonton TV. Aktivitasnya sepulang sekolah kebanyakan diisi dengan menonton TV.
On Clinic yang diperbincangkan Nadine adalah klinik yang diiklankan sebagai tempat untuk ”kebahagiaan suami-istri” –ini adalah klinik untuk pria yang memiliki masalah seksual. Wajarlah Nadine si ”anak TV” mengenal tempat ini, karena iklannya cukup gencar muncul di TV pada sembarang jam pada berbagai stasiun.


***


“Kubunuh kau, Papa!”
Kata-kata “sadis” itu diucapkan seorang anak batita kepada ayahnya. Wajah si anak merah padam. Ia berkata demikian sambil memegang kerah baju ayahnya.
Ucapan dan perilaku “ala adegan TV” itu muncul karena si anak kesal akibat ulah usil ayahnya saat ia bermain balok susun. Ayah dan ibu sang anak tentu amat kaget dengan ucapan dan perilaku si upik.


Anak kecil itu adalah Grace Christina. Saat ia duduk di bangku SMP, ia menuangkan pengalamannya itu dalam esai berjudul sangat impresif, “Kubunuh Kau, Papa” yang memenangkan Penghargaan UNICEF untuk Penulis Muda Indonesia 2006 untuk kategori SLTP.


Grace berkisah bahwa ia menjadi anak yang dibebaskan menonton TV saat masih kecil. Acara yang paling disukainya adalah film laga yang penuh kekerasan. Setiap kali menonton orang marah-marah, saling memaki dengan kata-kata kotor, saling pukul dan baku tembak, Grace kecil selalu berteriak-teriak memberi dukungan tanpa tahu mana tokoh baik dan mana yang jahat.

***


Kisah Nadine atau Grace kecil adalah kisah yang sering terdengar tentang anak-anak yang banyak menonton TV. Bagi banyak anak, TV bisa dikatakan sebagai ”media sehari-hari”, karena benda ini selalu dalam keadaan ”on” pada banyak rumah. Di antara berbagai media, TV sering dikatakan sebagai media yang paling dekat dengan anak.
Tingkat konsumsi TV oleh anak menunjukkan angka yang tinggi. Beberapa survei mengenai pola menonton TV pada anak menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah jam menonton TV pada anak menunjukkan peningkatan.


Pada 1997 menurut data Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, rata-rata anak usia SD menonton TV antara 22-26 jam per minggu atau 3 – 4 jam per hari. Pada 2006, menurut data Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), rata-rata anak usia SD menonton TV 30—35 jam per minggu atau 4—5 jam per hari pada hari biasa dan 7—8 jam pada hari Minggu.


Jika waktu menonton TV ini dibandingkan dengan waktu bersekolah, maka waktu menonton TV mencapai jumlah lebih dari 1.500 jam dalam setahun, sementara jam belajar (di sekolah dasar negeri) selama 1 tahun hanya sekitar 750 jam.
Ini angka-angka yang memprihatinkan. Padahal para ahli membolehkan anak menonton TV maksimal hanya dua jam per hari.


Apa persoalan dengan anak yang banyak menonton TV? Kepustakaan komunikasi mencatat, anak yang lebih lama menonton TV memiliki risiko yang jauh lebih besar untuk terkena dampak negatif TV daripada anak yang sedikit menonton TV.
Sudah sangat sering dibicarakan muatan TV yang negatif, yang tidak sehat bagi anak. Contohnya, kekerasan, seks, mistik, bahasa kasar, konsumtivisme, dan macam-macam lagi.


Sejumlah langkah dapat dan telah dilakukan untuk mengurangi dampak negatif TV, baik melalui perbaikan dan penegakan regulasi maupun berbagai upaya yang dilakukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Salah satu langkah yang diyakini sangat penting adalah apa yang dapat dilakukan di rumah. Orangtua dapat memodifikasi atau bahkan mencegah efek-efek yang berhubungan dengan TV melalui beragam aktivitas yang dikenal dengan mediasi (mediation).


Istilah mediasi merujuk pada ”interaksi dengan anak-anak mengenai televisi” (interactions with children about television). Meskipun ada sejumlah individu yang dapat memberikan mediasi, seperti saudara kandung, teman atau orang dewasa lainnya, istilah ini umumnya dipakai bagi interaksi orangtua—anak. Jadi, fokusnya adalah pada mediasi orangtua (parental mediation).


***


Menurut Amy Nathanson (1999), ahli media anak, terdapat tiga bentuk mediasi, yakni mediasi aktif, mediasi restriktif, dan coviewing.
Mediasi aktif terbagi lagi atas tiga bentuk. Pertama, mediasi aktif positif. Artinya, selama mendampingi anak-anak menonton TV, orangtua memberikan komentar-komentar positif jika ada hal positif yang tampak di layar.


Kedua, mediasi aktif negatif. Sebaliknya dengan yang pertama, di sini orangtua memberitahukan hal-hal negatif yang disajikan di layar. Contohnya, saat menyaksikan orang melakukan tindakan pengrusakan dalam sebuah berita, orangtua berkomentar bahwa itu adalah tindakan salah. Atau, saat melihat iklan yang berlebihan menonjolkan produk, orangtua dapat memberitahu anaknya bahwa yang ditampilkan tersebut tidak benar.


Yang ketiga, mediasi netral. Ini merupakan jenis mediasi aktif yang melibatkan penyediaan informasi tambahan atau instruksi bagi anak mengenai isi TV. Misalnya, sementara menyaksikan program pendidikan, orangtua mungkin melanjutkan apa yang telah disampaikan oleh TV. Di sini orangtua tidak memberikan arahan positif atau negatif, tetapi memberi tambahan informasi pada anak.


Mediasi jenis kedua adalah ‘mediasi restriktif’ (restrictive mediation). Sesuai namanya, di sini orangtua membatasi akses anak terhadap TV. Orangtua dapat menentukan peraturan mengenai jenis program yang boleh ditonton anak, seberapa banyak mereka boleh menonton, dan kapan mereka boleh menontonnya.


Mediasi bentuk ketiga adalah apa yang dikenal sebagai coviewing atau ‘pendampingan’. Pada bentuk ini, orangtua sama-sama menonton TV bersama anak. Berbeda dengan yang pertama, orangtua tidak memberi arahan apa pun pada anak. Menurut hasil studi, bentuk mediasi ini paling banyak dilakukan oleh orangtua, karena memang mudah dilakukan.


Amat disayangkan, berdasarkan studi Erica Austin (1993), tidak semua orangtua menjalankan mediasi. Beberapa faktor yang menghambat orangtua untuk melakukan mediasi di antaranya waktu orangtua yang tersedia (terutama jika kedua orangtua bekerja) dan kemudahan akses anak terhadap TV (faktanya, makin banyak anak yang memiliki perangkat TV dan komputer di kamarnya).


Merangkum beberapa studi, Nathanson ada beberapa hal yang patut dicatat dalam hal mediasi orangtua.


Pertama, yang lebih sering melakukan mediasi adalah ibu. Apakah ini berarti para ayah kurang peduli dengan efek negatif TV? Entahlah...


Kedua, ibu berpendidikan umumnya menerapkan restrictive mediation. Kesadaran akan efek TV memang berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua.


Ketiga, orangtua yang menyukai TV cenderung menggunakan mediasi aktif positif, sementara yang tidak menyukai TV cenderung melakukan mediasi aktif negatif.


Keempat, orangtua yang berpendidikan lebih rendah cenderung menerapkan coviewing. Ini mengingatkan tentang banyaknya cerita dari anak-anak yang sering saya dengar tentang bagaimana mereka menonton TV bersama-sama sekeluarga. Yang ditonton ya sinetron, film laga, infotainment, reality show, dan macam-macam lagi. Beberapa dari anak-anak itu bahkan mengatakan, “Aku nemenin ibu.” Jadi tidak jelas, siapa mendampingi siapa dalam hal menonton TV ini!
***
Mediasi orangtua secara umum memberi efek positif bagi anak. Dengan mediasi, anak antara lain akan lebih mudah memahami plot program TV, kurang mudah percaya bahwa yang hadir di layar adalah realita, dan cenderung tidak mudah terpengaruh oleh kekerasan di TV. Dengan demikian mediasi orangtua laksana “vaksin” yang diberikan orangtua kepada anak untuk menangkal efek TV yang buruk.


Apalagi, bentuk mediasi yang dilakukan orangtua dengan penuh kasih sayang tentu akan mengeratkan hubungan emosional antara orangtua dan anak.
Mediasi orangtua dapat membantu anak untuk menjadikan ayah-ibunya sebagai satu-satunya orangtua tempat ia berpegang pada nilai-nilai kehidupan, bukannya membuat ia berguru pada “orangtua” lain yang ada di rumahnya –yakni orangtua elektronik bernama televisi. (Nina Mutmainnah,aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak)

-------------

Monday, 31 August 2009

Usia Berapa Sebaiknya Anak Masuk SD?

Pertanyaan ini pasti sering menghinggapi orangtua yang memiliki balita. Pada usia berapa sebenarnya anak bisa masuk SD ? Yang diharapkan anak sudah mantap secara fisik dan psikologis sehingga cukup cepat menangkap pelajaran.
Bolehkah Anak masuk SD pada usia di bawah 6 tahun ?


Sebenarnya bisa saja anak yang belum berusia 6 tahun bersekolah di sekolah dasar. Sebab yang lebih penting sebenarnya kesiapan umur mental si anak, yakni kemampuan mental dan intelektual, bukan umur kalendernya. "Contoh, anak umur 4 tahun tapi umur mentalnya 6 tahun, berarti mereka sudah siap masuk SD," papar Prof Dr. S.C . Utami Munandar, guru besar psikologi anak Universitas Indonesia. Cuma, untuk mengetahui apakah umur mental anak siap, orangtua mesti mengeceknya dengan melakukan tes umur mental ke psikolog. Dari sini, nanti bisa diketahui IQ anak, dengan rumus: (umur mental/umur kalender) x 100 = IQ. Bila skor IQ anak di atas 130, jauh di atas anak normal (skor IQ 85-115), bisa saja ia dipandang gifted dan dipertimbangkan masuk SD lebih awal, setelah mempertimbangkan aspek-aspek lainnya.


Tapi ada resiko lain yang mungkin dialami anak jika masuk sekolah terlalu kecil. Misalnya karena anak masih kecil tidak sanggup menghadapi tekanan pelajaran dan guru yang menyebabkan anak stress dan malas sekolah. Bisa juga minder dalam pergaulan karena dianggap masih anak kecil.

Apa keuntungan anak masuk SD usia 7 tahun ?


Banyak rumor kalau pemerintah akan memberlakukan peraturan masuk SD minimal berusia 7 tahun. Berikut ini ada kutipan dari http://pusat.jakarta.go.id :


Pada dasarnya calon murid SDN harus berusia tujuh tahun. Tetapi bila pendaftar yang berusia tujuh tahun semua sudah bisa tertampung maka urutan berikutnya adalah mereka yang berumur enam tahun.


"Dan bila usia tujuh tahun dan enam tahun sudah tertampung masih juga ada bangku kosong maka bisa menerima calon murid berumur di bawah enam tahun, tetapi harus dilampirkan surat keterangan dari psikolog pendidikan," kata Sylviana Murni, Kepala Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI, kemarin.


Surat keterangan dari psikolog pendidikan harus menyatakan bahwa calon murid secara mental sudah siap belajar di SD. "Memang kadang ada usia di bawah lima tahun sudah bisa membaca, tapi kalau ternyata rekomendasi dari psikolog pendidikan belum siap sekolah di SD, ya jangan dipaksakan," sambungnya.

Baca dan Tulis


Pada dasarnya pihak Dikdas tidak pernah mensyaratkan calon murid SDN harus bisa membaca dan menulis. Alasannya, karena saat belajar di TK belum sampai diajarkan seputar membaca dan menulis.


"Sekolah TK itu masih sebatas pengenalan huruf dan angka dan belum sampai diajarkan membaca," tegas Sylviana. "Yang jelas bila mau masuk SDN harus berusia tujuh tahun, dan bila masih ada bangku kosong baru mereka yang berusia enam tahun."


Secara psikologis, anak 7 tahun memang lebih siap, apalagi untuk anak laki-laki. Seorang psikolog Australia bernama Steve biddulph dalam bukunya yang berjudul Raising Boys mengungkapkan kalau menurut hasil penelitian anak laki-laki usia 6-7 tahun masih ingin menggerakan motorik kasarnya saja, sedangkan motorik halusnya ketinggalan jauh dari anak wanita.


Kesimpulannya, orang tidak tidak perlu terburu-buru memasukan anaknya ke SD, tunggu sampai kesiapan fisik dan mentalnya memadai. Kalau perlu banyak mencari informasi dari media atau psikolog mengenai kesiapan seorang anak.


Source:childparentingskills.info

Saturday, 29 August 2009

Agar Si Kecil Tak 'Bossy'

parentingAgar si kecil tidak sok jadi raja sampai besar,mulailah mengurangi perilaku bossy-nya sekarang juga.Berikut beberapa saran pakar dari parents guide:

1. Jangan bossy
Kalau tak ingin si kecil ngebos,kita juga jangan ngebos.Mulailah memberantas sikap ini dari diri kita.

2. Beri perhatian
Kadang,tingkah ngebos terkait dengan kebutuhan anak terhadap waktu orangtua.Singkatnya,ia cari perhatian.Maka,beri perhatian secukupnya.

3. Beri tanggung jawab
Jangan karena tingkahnya bak raja kecil,kita tak mau menyuruhnya melakukan apapun.Beri tugas sederhana yang kira-kira bisa dia kerjakan.Misal,ambil minum sendiri atau mengambilkan sepatu ayah.

4. Beri penghargaan
Tiap kali si kecil bersedia menolong orang atau melakukan pekerjaan tertentu,misalnya mengambilkan kue untuk kakaknya,pujilah dengan tulus.Ia akan tahu bahwa bekerja atau melayani orang lain itu menyenangkan.

5. Jangan tanggapi kekasarannya
Jangan tersinggung bila si kecil mulai memerintah ini-itu tanpa sopan santun.Tegaskan dan jelaskan bahwa ia harus mengatakan 'tolong','maaf',atau 'terima kasih' dengan sopan kalau ingin minta sesuatu.

6. Biarkan membuat keputusan
Memberi kesempatan si kecil membuat keputusan sederhana,misalnya mau makan apa atau mau pakai baju apa,bisa mengurangi hasratnya untuk 'menguasai segalanya'.

Thursday, 27 August 2009

12 Cara Meredakan Amukan Anak

Siapa yang tahan menghadapi anak balita mengamuk?Apalagi jika kita sedang terburu-buru atau berada di tempat umum.Buat si kecil,mengamuk amat menyedot energy,menegangkan syaraf,dan mengguncang emosi.Kadang juga membuat tenggorokannya sakit lantaran menjerit-jerit dan,ini yang tidak diharapkan,beresiko cedera fisik karena meronta-ronta atau berguling-guling.

Ibarat letusan gunung berapi,kita semua pasti mengharapkan ledakan kemarahan anak mereda.Lebih cepat,lebih baik.Parents guide akan memaparkan 12 cara meredakan amukan balita yang sudah pernah dibuktikan efektivitasnya:

1. Tenangkan diri,tenangkan anak
Ketenangan adalah modal awal kita sekaligus modal utama.Bahkan si kecil pun sebenarnya membutuhkan ketenangan kita.Jadi,JANGAN IKUT MARAH!Segera tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan.Lakukan sekitar 3-4 kali.Setelah itu,peluk si kecil dengan lembut (tapi tegas) agar ia tidak mencederai dirinya atau orang lain.Jauhkan ia dari penyebab kemarahannya.

2. Bantu menghilangkan penyebabnya
Anak balita mengamuk karena frustasi.Jika ia frustasi karena tidak bisa memakai kaos kaki dengan rapi,ambil kaos kakinya dan tunjukkan cara termudah melakukannya.Tawarkan,apa mau coba lagi?
Jika penyebabnya adalah keinginan yang tak kesampaian,misalnya ingin main sepeda ke jalan raya tapi dilarang karena berbahaya,maka tunjukkanlah empati,ketegasan,dan sekaligus alternative pemecahan.”Ibu tahu kamu ingin naik sepeda ke jalan raya,tapi itu tidak boleh karena berbahaya.Banyak kendaraan.Lain kali kita pergi ke jalan besar yang sepi,dan kamu boleh main sepeda sepuasnya.”

3. Melucu,melawak.
Anak balita umumnya mudah tergelitik rasa humornya.Keluarkan koleksi lelucon kita.Ucapkanlah kata-kata atau kalimat konyol – asal tidak jorok atau kasar.Bertingkahlah seperti seekor monyet,gajah,atau kodok.Kalau bisa mengarang lagu konyol dengan cepat,boleh juga.Seperti apa lagu konyol?Ya misalnya seperti ini:Telor-telor,ulat-ulat,kepompong,kupu-kupu,kasihan deh kamuuu……

4. Ceritakan waktu ayah/ibu kecil
Anak balita senang mendengar cerita tentang orang tuanya.Makin lucu atau seru ceritanya,makin baik.Misalnya,”Tahu nggak,waktu kecil ibu pernah marah-marah dan menangis.Tahu-tahu,ibu batuk-batuk.Uhuk,uhuk!Coba tebak kenapa?Ternyata…….ibu menelan seekor nyamuk!”

5. Main plesetan
Kepekaan bahasa anak balita biasanya tinggi.Plesetan akan menggugahnya.Coba plesetkan lagu-lagu yang sudah dikenal si kecil,Naik-Naik Ke Puncak Gunung,misalnya:Naik-naik ke puncak hidung,tinggi,tinggi sekali……(sambil menggerakkan jari tangan dan pipi kita ke atas hidung anak).Tentu saja yang lainnya bisa juga kita plesetkan.”Coba tebak,apa bedanya kucing sama kucring?Mau tahu?Kucing kakinya empat,kalau kucring kakinya emprat.”

6. Adakan lomba
Anak balita senang berkompetisi dengan orang dewasa untuk menunjukkan ‘kendali’nya.Coba adakan lomba diam paling lama,lomba tertawa paling lama,lomba senyum paling lama,lomba tidak berkedip paling lama,lomba aduu cepat cuci muka (biar segar!),lomba menghembuskan nafas paling panjang,dan banyak lagi.Kalau anak mengamuksambil melempar-lempar barang,kita bahkan bisa mengadakan lomba mengumpulkan barang.

7. Buat suara-suara aneh
Seperti dalang atau pemain sandiwara boneka,mendongenglah dengan memakai suara yang aneh-aneh,”Hauuummm……(suara singa,sambil menggaruk udara dengan dua tangan).Aku ini singa me-na-kut-kaaaan…….hauuummm!”(melompat,seperti mau menerkam).

8. Gerak dan sajak (atau lagu)
Masih ingat sajak yang berjudul “Dua Ekor Kelinci Berebut Sepotong Roti?”Coba peragakan dengan gerakan:
Dua ekor kelinci berebut sepotong roti/Minta tolong kepada kera/Roti itu dibelah menjadi dua/Ditimbang-timbang,berat yang mana?/Berat yang kiri,digigit.Berat yang kanan,digigit/Lama-lama rotinya habis/Dua ekor kelinci tinggal menangis,huhuhuhu….

9. Ingatkan hal-hal menyenangkan
Ini saran klasik dari Julie Andrews dalam film The Sound Of Music,tepatnya dalam lagu ‘My Favourite Things’.Penggalan syairnya seperti ini:When the dog bites,when the bee stings,when I’m feeling sad,I simply remember my favourite things,and then I don’t feel so bad!
Lalu Andrews mengingat-ingat tetesan hujan di atas bunga mawar,kumis anak kucing,bingkisan kado yang diikat pita,dan banyak lagi.Si kecil senang apa – kucingnya?Temannya yang lucu?Saat jalan-jalan dengan ayahnya?

10.Bocorkan ‘rahasia’
Anak balita itu curious.Apalagi kalau itu urusan (apalagi rahasia) orang dewasa.”Eh,eh,Ayah punya rahasia penting.Jangan bilang siapa-siapa,ya?Mau tahu?Begini…….Ayah dulu penakut sama kucing,lho!Kalau ketemu kucing,ayah ngumpet.Sekarang juga masih agak-agak geli dikit,sih…..Tapi,psst,jangan bilang siapa-siapa,ya?

11.Katakan hal-hal positif
Si kecil masih mengamuk?Cobalah duduk sedekat mungkin di hadapannya.Pegang bahunya atau genggam kedua tangannya.Kita bisa bicara seperti ini:”Sayang,tiap kamu marah-marah seperti ini,kamu tuh mengeluarkan tenaga besaaar sekali.Jadi,sebenarnya kamu itu tenaganya kuat,lho.Nah,bayangkan kalau tenaga itu disimpan,dan dipakai untuk melawan kuman penyakit yang mau masuk ke badanmu sekarang – kamu tahu,kan,di luar sini banyak kumanyang tidak kelihatan?Pasti kamu tidak gampang sakit.Gimana menurutmu,lebih baik tenaga disimpan atau dibuang-buang?”

12.Main gelitik-gelitikan
Kalau semua cara di atas masih gagal juga,cobalah ‘jurus pamungkas’ ini.Cari ‘titik geli’ si kecil.Pinggang?Telapak kaki?Telinga?Atau leher?Masak sih,dia tidak tertawa juga?

Wednesday, 26 August 2009

Bersama Anak,Bukan Di Dekat Anak

Banyak orang tua yang belum begitu memahami perbedaan antara ‘bersama’ anak dan ‘di dekat’ anak.Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda.Hal ini terutama terjadi pada orang tua yang bekerja sehingga waktu bersama anak menjadi sedikit.

Berikut tips dan trik dari Ihsan Baihaqi (pendiri sekolah orang tua PSPA):

1 .Sesibuk apapun,sediakan waktu ‘bersama’ anak.Setengah jam sehari sepertinya tak berat dan tak berlebihan,bukan?Syukur-syukur bisa lebih dari itu.

Bersama anak berbeda artinya dengan berada di dekat anak.Ada banyak orang tua yang hadir 24 jam di dekat anak tetapi tak 5 menit pun bersama anak.Bersama anak berarti berbicara DENGAN anak,bukan berbicara KEPADA anak.Kita berusaha mendengarkan perasaan anak-anak.

2.Jangan pernah MENEBUS DOSA bekerja kita dengan menawarkan banyak hal (permainan,kue,hadiah) pada anak secara berlebihan,lebih dari yang dibutuhkan anak-anak,atau bahkan tak dibutuhkannya sama sekali.Banyak orang tua melakukannya dengan alasan sebagai kompensasi karena telah meninggalkan anak-anak begitu lama.Padahal hal tersebut tidak produktif untuk masa depan mereka.Mereka dapat menjadi pribadi yang instant karena segala keinginannya dipenuhi.

3. Sebelum tidur,tatap matanya,cium keningnya,doakan dia dengan penuh kekhusyukan.Jika memungkinkan,biarkan ia mendengar apa yang kita doakan.

4.Mulailah setiap pagi dengan penuh kemesraan pada anak.Buatlah saat-saat kebersamaan dengannya penuh dengan tawa dan canda,dalam kondisi kita selelah apapun.

5 Bekerja sama dengan suami,install nila-nilai positif pada anak melalui cerita.Penanaman nilai-nilai ini adalah bekal jangka panjang untuk anak-anak.

Monday, 24 August 2009

Bila Si Kecil Banyak Bertanya

Pet! Listrik tiba-tiba padam, malam itu. Dengan sigap, abi segera menyalakan lampu minyak. Si kecil Asma’ (3) mengamati lampu minyak itu dengan penuh rasa ingin tahu. Tak lama kemudian, muncullah beberapa pertanyaan dari bibir mungilnya.

“Itu apa Bi?” “Itu lampu minyak, Sayang.” “Kok pakai lampu minyak kenapa Bi?” “Karena listrik mati.” “Listriknya kok mati kenapa toh Bi?” “Ya…mungkin karena tadi ada hujan deras.” “Kok tadi ada hujan deras kenapa Bi?” “Tadi di langit kan ada awan hitam, awan itu sekumpulan air, kalau turun jadi hujan.” Bla…bla…bla….Demikianlah pertanyaan si kecil bagai tak ada habisnya. Abinya pun dengan sabar menjawab pertanyaan putri sulungnya.

Rasa Ingin Tahu, Jangan Dimatikan

Anak-anak berusia 2-5 tahun memang seringkali mengajukan banyak pertanyaan kepada orangtua atau pengasuhnya. Pertanyaan mereka biasanya tidak jauh dari apa yang mereka temui, amati atau rasakan. Yang mendorong mereka mengajukan pertanyaan adalah besarnya rasa ingin tahu mereka terhadap segala sesuatu.

Sebenarnya, kita semua memiliki bekal rasa ingin tahu ini semenjak lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan, dan bicara. Selanjutnya, rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak mereka. Sayangnya, orangtua banyak melakukan intervensi negatif sehingga naluri penting ini terkubur dalam-dalam.

Seringkali orangtua tak mau menjawab pertanyaan anak-anaknya yang menurut mereka terdengar konyol, lugu, dan seperti dibuat-buat. Seakan tak ada gunanya kalaupun orangtua mau repot-repot menjawabnya. Hal ini menjadikan anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahunya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya tak pernah dijawab, anak pun jadi malas untuk bertanya lagi, dan jadi tak peduli pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tindakan orangtua yang mematikan rasa ingin tahu anak itu sungguh tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan otak anak.

Sebagian kecil orangtua memang ada yang sangat mendukung perkembangan intelektual anaknya. Mereka bukan hanya menjawab pertanyaan anak, tetapi juga berusaha melakukan sesuatu untuk semakin menumbuhkan rasa ingin tahu sang anak. Mereka mendorong anak untuk bertanya dan terus bertanya, hingga anak sendiri yang kehabisan pertanyaan. Untuk itu, para orangtua ini menyediakan waktu sebanyak mungkin, karena mereka tahu, sepatah kata jawaban bisa menjadi sangat berarti bagi perkembangan sel saraf otak anak.

Perlu Kesabaran

Orangtua yang tidak sabaran, mungkin cuma diam atau menjawab ‘tidak tahu’ saat ditanya sang anak. Kadang, pertanyaan anak malah dijawab dengan bentakan, “Sudah diam! Jangan tanya-tanya terus. Ibu capek.”
Memang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anak itu diperlukan kesabaran, di samping perhatian dan kepandaian dalam menjawab. Seorang ibu yang sudah disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu macam pertanyaan anaknya. Demikian juga dengan sang ayah yang sudah bekerja seharian mencari nafkah. Rasa lelah itu bisa menghilangkan mood untuk sekadar menjawab sang anak.
Bukankah jika kita menyatakan siap punya anak, secara otomatis kita juga harus siap ‘direpoti’?

Adalah salah besar jika hanya karena alasan sibuk atau capek, lalu orangtua mematikan rasa ingin tahu sang anak. Sebisa mungkin, walau sedang sibuk bekerja, kita tetap berusaha memberi perhatian pada anak. Sambil memasak, seorang ibu bisa menjawab pertanyaan anak. Sambil membersihkan rumah pun bisa terus mengobrol dengan mereka.
Sekali lagi, dalam hal ini memang dibutuhkan kesabaran tinggi. Dalam menjawab pun kita harus menunjukkan perhatian, yang bisa ditampakkan lewat mimik muka dan cara menjawab dengan nada bersungguh-sungguh.

Jawablah dengan Benar

Orangtua tak perlu memberikan jawaban panjang atau berbelit-belit, sehingga malah sulit dimengerti anak. Cukuplah menjawab pertanyaan anak dengan jawaban pendek dengan bahasa yang disesuaikan dengan pemahaman anak. Jangan pernah menjawab pertanyaan anak dengan sembarangan. Jika menjawab, jawablah dengan benar. Jika orang tua tidak tahu jawaban yang benar, tak usah mencoba berbohong. Lebih baik katakan tidak tahu, dan cobalah menerangkan di lain waktu bila jawabannya sudah didapat. Sebagaimana contoh kasus di awal tulisan ini, Abu Asma’ berusaha menjawab pertanyaan putrinya dengan jawaban-jawaban pendek yang mudah dipahami.

Beruntunglah anak bila orangtuanya selalu berusaha menjawab pertanyaannya dengan benar. Selain bisa memuaskan hatinya, jawaban itu juga akan menambah pengetahuan dan wawasannya. Sayangnya, tak sedikit orangtua yang suka memberikan jawaban tidak benar pada anak. Misalnya saat Hasan (5) bertanya pada ibunya tentang gempa yang menyebabkan genting-genting di rumahnya melorot ke bawah. “Kok terjadi gempa kenapa Bu?” “Karena ada raksasa besar yang mengamuk di dalam laut, jadi bumi bergoncang.” Mungkin jawaban tersebut bisa diterima oleh daya imajinasinya, akan tetapi jawaban itu tidak menambah perbendaharaan pengetahuannya. Jawaban semacam ini sangat tidak bermanfaat, dan harus dijauhi oleh para orangtua. Seharusnya pertanyaan Hasan bisa dijawab, “Gempa itu penyebabnya bisa bermacam-macam. Salah satunya karena ada gunung meletus di daratan atau lautan, jadi bumi bergoncang.” Jika Hasan masih penasaran dengan sebab-sebab gempa lainnya, ibu bisa mencarikan referensi, misalnya buku atau majalah yang membahas tentang gempa, untuk dibacakan atau dibaca sendiri oleh Hasan.

Kemampuan Otak Balita

Mungkin kita mengira, anak-anak balita itu selain lugu juga tak tahu apa-apa tentang alam semesta kehidupannya. Tapi adalah kesalahan besar jika kita menganggap mereka bodoh, karena mereka mempunyai daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari yang kita pikirkan. Dari sekian banyak pertanyaannya yang dia ajukan dalam sehari, pasti ada yang masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya. Ya, balita memang memiliki kemampuan menangkap pengetahuan dengan hebat, karena otak mereka belum dipengaruhi untuk memikirkan hal-hal lain.

Sebuah pertanyaan saja, bagi anak ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran di sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka jawabannya akan sangat berarti untuk mengasah ketajaman otaknya.

Yang perlu dikhawatirkan justru kalau anak terlalu pendiam, dan tidak ingin tahu banyak tentang segala sesuatu. Ia tidak pernah bertanya, dan tidak tertarik dengan adanya benda baru. Anak seperti ini harus ‘dipancing’ untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Orangtua bisa memulai dengan mengajukan pertanyaan, “Azmi, mengapa kalau siang tampak terang dan malam tampak gelap?” Atau, “Kamu dan ayam sama-sama punya kaki. Mengapa kamu bisa menendang bola, ayam tidak?” Dengan pertanyaan menarik diharapkan anak akan terangsang, kemudian menanyakan segala sesuatu. Makin sering orangtua memancing dengan berbagai pertanyaan menarik, tentu anak akan meniru tindakan orangtua.

Untuk mengembangkan kemampuan anak bertanya, bimbinglah anak untuk mempraktikkan kunci utama pertanyaan, yaitu 5W+1H. Yang dimaksud 5W+1H adalah what (apa), when (kapan), where (di mana), who (siapa), why (mengapa) dan how (bagaimana)
Selain itu orang tua juga bisa menyediakan buku bacaan atau majalah islami untuk anak-anak. Melihat gambar-gambarnya yang menarik dan berwarna-warni, bisanya anak-anak akan tertarik untuk mempertanyakan apa yang ia lihat.

Jika anak tetap belum banyak bertanya seperti yang kita harapkan, maka orangtua yang harus aktif menyakan segala sesuatu tentang gambar-gambar atau kisah di buku tersebut. Yang mesti disadari, proses ini membutuhkan waktu dan memerlukan kesabaran. Semoga kita memiliki putra-putri yang shalih dan pintar.(Sumber: Mendidik dengan Cinta)

Tuesday, 18 August 2009

Katakan "Ayah/Ibu Sayang Kamu" Setiap Hari

Salah satu cara termudah untuk membuka saluran komunikasi adalah menyatakan hal-hal yang jelas.Hampir semua orang tua menyayangi anak-anak mereka,namun sangat jarang mereka mengatakan hal itu kepada anak-anaknya.

Anak-anak tidak perlu dicereweti atau dipuji berlebihan karena hal-hal sederhana yang harusnya dilakukan setiap hari atau disebut genius karena menaruh gelas kotor di tempat cuci piring.Mereka tidak perlu dijadikan pusat beredarnya jagad raya dan terlalu dimanja karena lebih mudah bagi Anda untuk mengikuti mau mereka daripada menghentikan mereka.
Tetapi mereka tetap butuh dorongan.Mereka butuh pelukan dan cium setiap hari.Mereka perlu merasa bahwa dirinya sosok penting bagi Anda.

Setiap hari,anak-anak butuh mendengar hal-hal berikut:
· Ayah/ibu sayang kamu
· Tolong
· Terima kasih
· Terima kasih karena kamu jadi anak ayah/ibu
· Ayah/ibu bangga padamu
· Ayah/ibu percaya padamu
· Ayah/ibu yakin padamu

Anda juga bisa menyelipkan catatan kecil ke dalam kotak makan atau tasnya.Pengakuan kecil dapat sangat membantu aktivitasnya sehari-hari.

Teknik Dasar Berbicara Kepada Anak

Ketika kami membantu keluarga dalam acara Nanny 911,orang tua selalu heran karena anak-anak mereka yang lepas kendali langsung terdiam ketika kami tiba,padahal mereka sebelumnya baru saja terlibat dalam pertandingan menjerit.Mengapa mereka mendengarkan kami tetapi tidak pada orang tuanya?

Karena kami mengambil langkah-langkah sederhana untuk membuat anak merasa aman.Dan ketika anak merasa aman,mereka bisa berbicara dengan bebas dan jujur.
Ikuti langkah-langkah yang dijabarkan oleh Nanny Deb dan Stella berikut ini dan gunakan saat menghadapi anak-anak yang sedang kesal:

1. Turunkan tubuh Anda setinggi anak.
Duduk atau berlutut;pilih yang nyaman untuk Anda.

2. Tatap matanya.
Ini penting sekali.Jika perlu palingkan kepala anak dengan tangan Anda –dengan lembut-supaya dia menatap langsung kepada Anda.

3. Jika si anak sangat marah,usap punggung atau perutnya.
Usapan pengakuan.Anda tidak perlu memeluk atau menarik anak ke dekat Anda ketika Anda sedang berbicara kecuali si anak benar-benar histeris dan perlu ditenangkan.(Kalau itu terjadi,biarkan si anak tenang sebelum memulai percakapan apapun.Suruh mereka menarik nafas dan bantu mereka melakukan itu-ini biasanya sangat membantu).

4. Ubah nada suara Anda.
Berkatalah dengan suara yang tegas tetapi lembut.Suara serius adalah suara yang tidak tinggi.Pernah,Nanny Deb berjalan masuk ke sebuah rumah dan seorang bocah berusia tujuh tahun sedang memukuli ibunya yang terduduk diam di atas sofa.Tanpa buang waktu,Nanny Deb memegang tangan si anak dan berkata,”Kamu hentikan ini sekarang juga.Jangan pernah lakukan itu pada ibumu lagi.”Kemudian dia langsung mendapat time out tanpa melirik ke belakang.Nanny Deb tidak berteriak ataupun menjerit.Nada suaranya sudah cukup berkata : kekerasan tidak akan ditoleransi.

5. Beri kata-kata kepada anak untuk membantu mengalirnya percakapan.
Lihat contoh berikut:
Untuk anak-anak yang masih kecil,katakana,”Coba ikuti ibu” dan kemudian dorong anak untuk mencoba.Untuk anak-anak yang lebih besar,Anda bisa memulai percakapan dengan mengatakan sesuatu yang jelas,seperti :
“Kamu kelihatannya kesal.”
“Coba kasih tahu ibu/ayah apa yang membuatmu kesal.”
“Apa yang membuat kamu kesal?”
“Kamu marah karena apa?”

6. Ulangi apa yang dikatakan oleh si anak
Ini menunjukkan kepada mereka kalau Anda benar-benar mendengarkan.Hal ini juga memberi Anda waktu untuk mengatur ulang pikiran Anda.

7. Jangan menyela
Biarkan anak mengatakan apa yang ada di benaknya.Katakan kalau Anda mengerti.Kemudian,ketika giliran Anda tiba,mereka akan berhenti bicara (karena mereka bilang begitu) dan mendengarkan Anda.Kalau mereka menyela ketika Anda sedang bicara,katakan ,”Ayah/ibu mengerti,tetapi biarkan ayah/ibu selesai dulu,kemudian baru kamu bisa bicara.”

8.Tetap tenang.
Betapapun bergejolaknya hati Anda!

Friday, 31 July 2009

Pengaruh Pornografi Pada Otak Anak

“Aduh, Mbak !!! Teman anak saya yang besar (kelas 6 SD, perempuan-pen) bawa video porno di HPnya.” cerita seorang teman suatu hari.Saya terkejut sekaligus miris. Pornografi sudah jadi konsumsi anak SD ! Bahkan kelas 1 SD !“Jadi bagaimana, Mbak?” tanya saya.“Yah mau bagaimana lagi? Sudah telanjur” Jawab teman saya pasrah. Gubrak!!! Masya Allah!

Pornografi pada anak usia sekolah dasar sebenarnya bukanlah berita baru. Sebelumnya di tahun 2008 Yayasan Kita dan Buah Hati sudah melakukan survey pada 1.625 siswa kelas 4-6 sekolah dasar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Pada survey ini terungkap bahwa 66 % dari mereka telah menyaksikan materi pornografi lewat berbagai media. Sebanyak 24 % di antaranya lewat komik, 18 % melalui games, 16 % lewat situs porno, 14 % melalui film, dan sisanya melalui VCD dan DVD, telepon seluler, majalah dan koran.

Mereka umumnya menyaksikan materi pornografi itu karena iseng (27%), terbawa teman (10%), takut dibilang kuper (4%). Ternyata anak-anak itu melihat materi pornografi di rumah atau kamar pribadi (36%), rumah teman (12%), warung internet (18%), rental (3%).Hasil survey ini sanggup membuat saya merinding.

Sebenarnya seberapa besar pengaruh pornografi terhadap otak anak?

Hari Jum’at lalu (10/04) di TVRI dalam acara Untukmu Ibu Indonesia, Dr Adre Mayza Sp.S(K) dan Ibu Elly Risman menjelaskan bahwa akibat dari pornografi pada otak anak adalah:

1. Bagian depan otak yang mengatur gerak dan perilaku akan menyusut. Bisa berpengaruh pada berkurangnya rasa tanggung jawab.

2. Neuron transmitter, yakni bagian otak yang mengontrol pada kesenangan, bekerja berlebihan. Pada saat dewasa mereka akan berperilaku hanya berdasarkan kesenangan saja, sehingga tidak dapat mengontrol dirinya.

3. Ketidakmampuan mengontrol batasan perilaku, akibatnya kecendrungan untuk mudah depresi lebih besar.

4. Saat dewasa anak-anak yang biasa menyaksikan pornografi hanya memandang wanita sebagai objek seksual saja.

5. Ada kemungkinan melakukan kekerasan seksual dan phedophilia.

Singkatnya Bu Elly Risman mengatakan bahwa jika narkoba menyebabkan 3 syaraf otak rusak, maka pornografi menyebabkan 5 syaraf otak yang rusak!

Source : sheilabanun

STOP! Komunikasi Dengan Kekerasan

Anak menangkap pesan kekerasan melalui komunikasi yang dibangun lingkungannya setiap hari. Perlahan tapi pasti, komunikasi dengan kekerasan akan merusak fitrah anak yang penuh dengan kelembutan. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit diatur, pembangkang, dan keras hati.

"Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" Ibu Dewi memelototi Firman (5 tahun) yang tidak mau membuka mulutnya untuk memakan sayur sop. "Ayo makan sop ini, kalau tidak Mama pukul!" Namun, Firman tak juga menurut. Ia malah lari ke kamar dan membanting pintu.

Perekat keluarga

Menurut Ery Soekresno, Psi, Pengelola Sekolah Kebon Maen, Cilangkap-Cimanggis-Depok, komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam keluarga. Menurutnya, komunikasi berfungsi sebagai perekat keluarga. Ery mencontohkan, berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1996, faktor penyebab tingginya angka perceraian di Amerika ternyata bukan disebabkan kehadiran orang ketiga. Karena di mata masyarakat Amerika umumnya, perzinahan sudah dianggap halal. Namun, penyebab yang tertinggi adalah faktor terhambatnya komunikasi suami istri. Komunikasi yang tidak lancar antara suami istri akan berdampak pula terhadap kelancaran komunikasi pada anak.


Komunikasi antara orang tua dan anak adalah sebuah proses pengiriman pesan dimana pesan yang diterima sama dengan pesan yang dikirim. Komunikasi dengan kekerasan, menurut Ery adalah, penyampaian pesan yang dilakukan secara negatif. Termasuk dalam komunikasi secara negatif adalah saat orangtua menggunakan bahasa yang tidak indah. "Bahasa yang jelek tidak menyenangkan anak, akibatnya anak tidak mau mendengarkan orangtua," tutur psikolog yang aktif menyerukan kampanye komunikasi tanpa kekerasan ini.

Komunikasi dengan kekerasan tidak melulu berarti disampaikan dengan bahasa-bahasa yang tidak baik, seperti penggunaan kata yang berasal dari ‘kebun binatang’ atau kata hinaan lainnya. Penggunaan kata seperti yang diungkapkan Ibu Dewi, "Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" juga bermasalah. Coba ditimbang secara jujur, betulkah ungkapan itu? Selain menggunakan kata ‘samasekali’, ditambah pula kata ‘tidakpernah’. Artinya: tidak pernah sama sekali! Padahal, sang anak toh hanya kadang-kadang saja berbuat seperti itu. Bahasa bernuansa ‘kekerasan’ ini juga diperkuat dengan bahasa non verbalnya, yaitu nada bicara yang tinggi, mata melotot, dengan tangan yang sudah terangkat untuk memukul.

Verbal dan non verbal

Ada dua bentuk komunikasi, yaitu verbal (bahasa) dan non-verbal (bahasa tubuh). Artinya, saat orangtua berbicara kepada anak, bukan hanya kata-katanya saja yang ditangkap oleh anak. Menurut Ery, di bawah usia satu tahun, mungkin mereka hanya menangkap 10% kata yang diucapkan ibu. Sisanya lebih kepada bahasa non-verbal.

Ery mencontohkan, saat bayi berbicara dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Misalnya bah, bah, bah. Kebetulan ibu ini membahasakan bapaknya itu abah. Ibu memberikan respon sambil menunjuk pada suaminya atau menunjukkan fotonya, "Oh Abah ya, Abah. Ya, itu Abah."Artinya, anak itu memahami sebuah kata itu kan dari bahasa non verbal karena setiap kali dia ngomong bah, bah, bah kok yang ditunjuk orang itu. Akhirnya kata itu memiliki arti bagi dirinya. Meskipun saat itu anak belum mengerti betul tentang siapa sebenarnya Abah.
Menurut Ery, orangtua perlu terus menyadari bahwa bahasa non-verbal yang dipakainya sangat penting bagi anak. Meski bahasa yang digunakan orangtua positif, namun bila komunikasi non-verbalnya negatif, maka pesan yang diterima anak adalah seperti yang ia lihat. Misalnya, seorang ibu mengatakan pada anaknya, "Ibu tuh sebenarnya sayang sama kamu,” tapi intonasinya yang tinggi atau dilakukan sambil mencubit anak. Tak salah bila anak akan berpikir, "Oh sayang itu artinya sama dengan mencubit ya."

Akhirnya, saat bertemu dengan sepupu, adik atau temannya atau dia dengan adiknya dia menyampaikan sayangnya dengan mencubit. "Padahal seharusnya menyampaikan rasa sayang harus diiringi dengan pelukan dan suara yang lembut agar anak mampu menangkap pesan yang disampaikan dengan benar," jelas istri dari Irwan Rinaldi ini.

Dampak komunikasi dengan kekerasan

Dampak dari komunikasi dengan kekerasan terhadap anak-anak adalah hilangnya fitrah kelembutan. Berdasarkan pengalamannya, anak yang terbiasa dengan kekerasan, sejak kecil sudah terlihat. Karena terbiasa dengan kekerasan, ia pun akan membutuhkannya setiap kali akan melakukan sesuatu. Hal itu terjadi karena fitrah kelembutannya sudah melemah.

Komunikasi dengan kekerasan juga akan membuat anak tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Ery mencontohkan adegan yang terjadi pada sebuah keluarga saat mereka menanti datangnya waktu maghrib untuk berbuka puasa. Di hari pertama, ibu menyediakan menu lengkap, ada kue, es kelapa, gorengan, disamping menu utama hari itu.
Di hari kedua, sang ibu tidak menyediakan gorengan dalam deretan menu berbuka. Namun, ia menggantikannya dengan makanan kesukaan anak-anak yang lain, yaitu puding karamel. Anaknya yang berusia 5 tahun berkomentar, "Mi, kok hari ini nggak ada gorengan?" Sang Ibu, yang kebetulan masih sibuk dengan urusan dapur langsung bereaksi dengan melakukan interpretasi dan evaluasi. " Kamu ini kok nggak bersyukur banget sih?" Anak yang semula hanya sekedar berkomentar tentu menjadi takut untuk menyampaikan komentar pada kesepatan lain. Apalagi bila hal seperti itu terjadi berulang kali.
Lebih berbahaya lagi, menurut Ery, bila anak menjadi terbiasa melakukan pekerjaan secara sembunyi-sembunyi. Bila orangtua tidak segera mengubah cara berkomunikasinya, maka dampak itu akan terpelihara sampai anak tumbuh dewasa.
Dampak lainnya adalah menjadi terbiasa berpikir negatif. Artinya, ketika ada orang bermaksud baik terhadap anak, dia tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya, anak akan berpikir, "Apa sih maksudnya kamu berbuat baik sama aku?" Menurut Ery, hal itu terjadi karena orangtua terbiasa berpikir negatif terhadap dirinya yang terwujud dengan komunikasi yang negatif. Akhirnya, yang terbangun dalam benak anak adalah apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar.
Misalnya, saat seorang anak sedang duduk-duduk di dalam rumah sementara ibunya sedang menyapu lantai. Sang Ibu mengatakan "Aduh Kakak, tidur-tiduran aja, enggak mau membantu ibu nyapu," Sebaliknya, saat sang anak sedang menyapu lantai, Ibu berkomentar, "Wah tumben nih anak ibu nyapu." Komentar seperti itu akan membuat anak menjadi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan karena menjadi serba salah.
Komunikasi yang baik saat ibu sedang menyapu sementara anaknya sedang tidur-tiduran adalah "Ibu seneng deh kalau kakak mau membantu Ibu nyapu. Kalau kakak membantu Ibu pekerjaan rumah ibu cepat selesai. Habis itu kita bisa bermain dan cerita-cerita". Pesan akan sampai tanpa perlu menyakiti perasaan anak. Anak pun menjadi lebih mudah diajak bekerjasama. Saat anak sedang menyapu, seharusnya Ibu menyampaikan penghargaannya dengan pesan yang positif, tanpa perlu menyindir anak.

Menurut Ery, faktor pembentuk utama dan pertama adalah keluarga. Bila rumah sudah berfungsi sebagai tempat yang memberikan kesejukan untuk anak-anak, maka ke mana pun anak pergi, rumah tetap menjadi referensi utama bagi anak. Kesejukan itulah yang perlu dibangun oleh orangtua melalui komunikasi tanpa kekerasan. Saat anak memiliki masalah, mereka tahu kemana harus berbicara. Saat yang paling berpengaruh bagi anak adalah sebelum anak mencapai usia balighnya karena pada masa itu anak masih mudah untuk berubah. Namun, perubahan yang paling utama dan pertama harus berawal dari para orangtua. Wallahu’alam
Source : beranda

Gaya Komunikasi Menyimpang (GKM)

Dalam sebuah seminar parenting yang diselenggarakan kharisma di Berlin pada tanggal 9 Juni 2007 , seorang psikolog ternama ibu Elly Risman, Psi., menyampaikan sebuah makalah yang sangat bermanfaat bagi setiap orang tua dan yang akan menjadi orang tua. Silahkan simak penuturan beliau dalam makalahnya tsb.

Ada 12 gaya komuniksi yang populer dilakukan orang tua. Walau disebut populer tapi belum tentu gaya komunikasi tersebut benar. Istilahnya yaitu GKM alias gaya komunikasi menyimpang. Contoh kasus, seorang ibu yang melarang anaknya bermain di ruang tamu karena baru membeli guci yang harganya “selangit”.

“Coba ya, Kakak sama Adik jangan main di situ. Tahu enggak, guci mama itu baru. Harganya mahal banget. Nanti kalau kesenggol kan bisa pecah. Sana, mainnnya di tempat lain.”

Namun, namanya anak-anak, maklum saja kalau mereka tetap bermain di situ. Sampai tiba-tiba si Kakak terdengar menangis keras. Si ibu pun berlari tergopoh-gopoh. Ia menghela napas lega kala gucinya masih aman-aman saja di tempatnya. Namun, ia terperanjat saat kaki anaknya terluka karena terjatuh. Lalu mulailah sang ibu mengeluarkan 12 GKM tadi, yaitu:

“Tuh, kan tadi Mama bilang juga apa. Enggak denger, sih!” (Menyalahkan)
“Sudah, diam, jangan nangis!” (Memerintah)
“Katanya jagoan, tapi kok nangis?” (Mengeritik)
“Benar, kan. Ini akibat kamu eggak mendengarkan mama. Lain kali kalo Mama bilang, nurut ya.” (Menasehati)
“Nakal, sih, enggak bisa diam.” (Melabel/mencap)
“Coba sini Mama lihat lukanya. Ah, kayak begini aja masak sakit.” (Meremehkan).
“Adik aja waktu lukanya menganga enggak sampai menangis begitu.” (Membandingkan)
“Ya, sudah, besok pasti sembuh.” (Membohongi)
“Sudahlah, jangan dirasa-rasai. Nonton TV atau baca buku sajalah sana.” (Menghibur)
“Awas ya, kalau lain kali Mama bilang ngga nurut.” (Mengancam)
“Coba pikir, kenapa sampai terjatuh? Kan kamu enggak dengerin Mama? Kamu dorong-dorongan sama Adik?” (Menganalisa)
“Lain kali main dorong-dorongan lagi saja. Kan enak…!” (Menyindir)

DAMPAK GKM

Padahal jika 12 GKM tadi terus-menerus dilakukan, tak sedikit dampak yang diakibatkan. Diantaranya kepercayaan diri anak bisa hilang, anak merasa tidak punya harga diri, perasaan anak selalu tertekan, emosinya tak tersalurkan, serta komunikasi antara anak dan orang tua sesungguhnya takpernah berjalan. Jelas saja akhirnya anak akhirnya frustasi terhadap orang tua. Bahkan beberapa kasus salah komunikasi seperti itu, bisa berakibat fatal karena anak memutuskan menghabisi dirinya sendiri, seperti yang kini banyak terjadi.

12 GKM tak hanya berampak pada sisi kejiwaan anak, tapi juga akan mempengaruhi perkembangan otaknya. Menurutnya, komunikasi-komunikasi menyimpang tadi ang berlangsung terus- akan mengganggu sirkuit otak anak.
Pasalnya, anak yang selalu dalam keadaan terancam tidak akan pernah bisa berpikir panjang apalagi belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan otak bagian korteks yang merupakan pusat logika. Berarti di korteks inilah pusat kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa, kemampuan memecahkan masalah hingga kemampuan mengambil keputusan.

Namun, korteks hanya bisa “dijalankan” kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila tidak, atau saat anak dalam keadaan tertekan karena kerap dimarahi, tidak disayang, merasa tidak dibutuhkan, maka segala stimulus yang masuk hanya sampai di batang otak saja. Kalau sudah begitu, cara berpiki anak tak berbeda dengan cara berpikir binatang yang hanya menggunakan instink.

Ya, seperti dikatakan tadi, anak jadi tidak bisa berpikir panjang. Tak heran kalau ada anak yang tidak dibelikan duren oleh orang tuanya lantas bunuh diri karena dia tidak bisa berpikir panjang.
Oleh arena itu, dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua harus memperhatikan pula cara sirkuit otak bekerja. apa pun kondisi orang tua, apakah sedang capek, letih, lesu, sakit, tetaplah berusaha menjaga komunikasi yang tidak menyimpang dengan anak.

Dengan contoh kasus tadi, saat orang tua tahu anaknya terjatuh padahal sudah dilarang bermain di tempat itu, yang pertama mesti dilakukan adalah kendalikan diri jangan langsung bereaksi. Ini juga berlaku pada semua kasus.

Jika orang tua bisa mengendalikan diri berarti dia juga bisa mengendalikan emosinya sehingga otaknya memiliki waktu untuk berpikir, apakah perkataan yang dikeluarkan akan menyakitkan anak atau tidak. Dengan emosi yang terkendali sangat mungkin orang tua akan berkata, “Jatuh ya sayang. Sini Mama obatin. Lain kali enggak usah main dorong-dorongan lagi ya!”
Source : al-habib

Selamatkan Generasi Kita

Masalah kenakalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang, maka arus hubungan antar kota-kota besar dan daerah semakin dekat, lancar, cepat dan mudah, seolah tiada batas. Dunia teknologi yang semakin canggih, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, disisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas diberbagai lapisan masyarakat.

Pengaruh Televisi yang Tidak Mendidik

Meningkatnya kenakalan remaja saat ini merupakan salah satu dampak dari media informasi yaitu program siaran televisi yang dinilai kurang memberikan nilai edukatif bagi remaja ketimbang nilai amoralnya. Hal ini disebabkan karena industri perfilman kurang memberikan pesan-pesan moral terhadap siaran yang ditampilkan.

Dapat diperhatikan dalam berbagai program televisi seperti pada sinetron-sinetron maupun reality show yang banyak menayangkan tentang pergaulan bebas remaja bersifat pornografis, kekerasan, hedonisme dan sebagainya untuk selalu ditampilkan dilayar kaca. Oleh karena program tersebut banyak diminati publik, khususnya remaja.

Berbagai acara yang menayangkan tentang pergaulan bebas remaja di kota besar yang sarat akan dunia gemerlap (dugem). Seperti tayangan remaja dalam mengonsumsi obat-obatan terlarang, cara berpakaian yang terlalu minim alias kurang bahan / sexy, kisah percintaan remaja hingga menimbulkan seks bebas, ucapan-ucapan kasar dengan memaki-maki atau menghina dan sebagainya. Inilah yang seringkali menjadi contoh tidak baik yang sering mempengaruhi remaja-remaja yang berada di kota maupun di daerah untuk mengikuti perilaku tersebut.

Dari tayangan – tayangan tersebut ada remaja yang hanya sekedar menyaksikan, tapi tidak terpengaruh mengikutinya. Dan ada juga remaja yang memang gemar menyaksikan dan terpengaruh untuk mengikuti hal tersebut guna mencari sensasi di lingkungan pergaulan.

juga program yang menayangkan adegan kekerasan sehingga remaja yang pola pikirnya masih labil dan emosional cenderung untuk melakukan perilaku yang kasar dan tidak sopan baik kepada teman sendiri, maupun kepada guru bahkan orang tua sekalipun.

Diantara remaja-remaja, pastinya juga ada yang mengambil sisi positif dari acara yang diberikan. Kenakalan remaja akibat dari program televisi menyimpang dapat terjadi apabila didukung pula oleh lingkungan yang memberikan kesempatan buruk terhadap pergaulan mereka.

Kondisi Labil Remaja

Kita ketahui bahwa usia remaja merupakan masa labil pada seseorang. Dimana saat itu timbul rasa ingin menunjukkan diri ”ini aku”. Oleh karena itu sikap meniru pada kalangan remaja merupakan suatu bentuk dari masa pubertas yang dialami oleh keadaan jiwa yang masih labil. Artinya dampak yang timbul antara lain pada kenakalan remaja seperti pencurian, cabul, perkosaan, pemerasan, narkoba kebut-kebutan dijalan atau tauran antar sekolah dalam ajang menunjukkan kejagoannya.

Faktor Kenakalan Remaja

Berdasarkan perkembangan zaman saat ini adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab kenakalan remaja saat ini adalah:

1. Faktor intern: Keinginan meniru terhadap yang mereka saksikan dilakukan hanya sekedar rasa iseng untuk mencari sensasi dalam lingkungan pergaulan dimana mereka bergaul tanpa batas dan norma agar dipandang oleh teman-temannya dan masyarakat sebagai remaja yang gaul dan tidak ketinggalan zaman. Timbulnya minat atau kesenangan remaja yang memang gemar menonton acara televisi tersebut dikarenakan kondisi remaja yang masih dalam tahap pubertas. Sehingga rasa ingin tahu untuk mencontoh berbagai tayangan tersebut yang dinilai kurang memberikan nilai moral bagi perkembangan remaja membuat mereka tertarik.

2. Faktor ekstern: Faktor ini dapat disebut sebagai faktor lingkungan yang memberikan contoh atau teladan negatif serta didukung pula oleh lingkungan yang memberikan kesempatan. Hal ini disebabkan karena pengaruh trend media televisi yang telah banyak teradopsi oleh nilai-nilai budaya luar yang kurang dapat mereka seleksi mana yang layak dan yang tidak layak untuk ditiru.

Peran Orang Tua Sangat Dominan

1. Kurangnya perhatian dari orang tua dan lingkungan

Kurangnya perhatian orang tua dan lingkungan yang buruk, bagi para remaja, sehingga remaja mencari perhatian diluar. Mereka cenderung melakukan atau mencari kesenangan di lingkungan pergaulannya. Dengan alasan Ikut-ikutan hingga tak lagi dapat membedakan yang mana baik dan buruk. Rasa takut hilang karena menganggap banyak temannya yang melakukan hal keliru tersebut. Hingga akhirnya ketergantungan dan mereka terus melakukannya berulang kali seperti halnya biasa dan membentuk sebuah budaya yang tak bisa lepas dari hidup mereka.

2. Keutuhan Keluarga

Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan remaja sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan yang akan berdampak pada kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Namun demikian ketidakutuhan sebuah keluarga bukanlah faktor yang dominan karena ada juga mereka yang berasal dari keluarga utuh terjerumus pula pada kenakalan remaja. Begitupun dengan tingkat interaksi keluarga mempengaruhi kenakalan remaja, bagi keluarga yang interaksinya baik maka pengaruhnya baik, begitupun sebaliknya. Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan.

3. Kehidupan Beragama Keluarga

Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rohani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.

Oleh karena itu, menciptakan generasi yang unggul, tentunya bukan hal mudah, tetapi merupakan pekerjaan rumah yang mesti kita selesaikan. Generasi muda adalah cerminan dari bangsa kita kedepan. Mari kita jaga generasi muda saat ini………….. Save Our Generation, Now !!

Source : percikan iman

Wednesday, 29 July 2009

Mungkinkah ADHD?

Jika anak-anak sulit menyimak perkataannya, banyak orang tua merasa khawatir anak-anak mereka mengidap attention deficit hyperactivity disorder(ADHD). Kenyataannya, ADHD sulit dideteksi,bahkan sering tidak terdiagnosis pada anak usia 4 - 5 tahun. Karena gejala ADHD sperti kurang perhatian,hiperaktif,impulsif(berlebihan ketika berbicara,mengganggu,atau memukul) adalah perilaku umum anak-anak usia itu kata Dr.Stwart Mostofsky.

"ADHD biasanya dideteksi belakangan,ketika anak sudah menghadapi berbagai tuntutan di sekolah."

Meskipun begitu,konsultasikan anak ke dokter jika si kecil sulit berkonsentrasi,terlalu aktif,atauu lebih impulsif dibandingkan anak-anak seusianya,atau jika perilakunya tampak berlebihan dan mengganggu performa di sekolah.
Source : Parents Guide edisi April 2007

Saturday, 25 July 2009

Anak-Anak - Pasar Empuk Pembuat Produk Pornografi

JAKARTA, KOMPAS.com — Anak-anak di bawah umur 10 tahun belum dapat menggunakan logika berpikir secara maksimal. Apa yang mereka lihat akan langsung dipraktikan tanpa menganalisis benar atau salah. Setelah mereka melakukan tindakan itu dan merasa mendapatkan kenikmatan, mereka akan mengulangi tindakan tersebut lagi dan lagi. Dengan demikian, tak mengherankan jika anak-anak adalah target utama para pembuat dan pemasar tayangan pornografi.

Elly Risman, Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati, menerangkan, sebelum membuat tayangan pornografi, para ahli berkumpul untuk merancang "strategi". "Ada ahli dari ahli syaraf, psikolog, dan yang pasti ahli-ahli dari pembuat teknologi yang membuat tayangan tersebut menarik. Kemudian, pasar yang dibidik adalah anak laki-laki yang belum baliq," ujarnya setelah pembahasan Uji Materi UU Anti Pornografi, di Kantor KPAI Jakarta, Selasa (5/5).

Ia menerangkan, pada anak laki-laki yang belum mengalami masa puber sekitar umur 9 tahun, mereka mempunyai rasa penasaran yang tinggi terhadap tayangan pornografi. "Anak-anak dilarang menonton tayangan itu oleh orangtuanya dengan alasan masih kecil, dan itu membuat rasa penasaran mereka bertambah," kata dia.

Saat orangtua lengah, ia melanjutkan, anak akan mencuri-curi untuk menonton tayangan pornografi itu. Setelah menonton tayangan tersebut, apa yang dilihat akan tersimpan terus di dalam sistem limbik. "Tak jarang saat menonton, anak mengalami orgasme. Pada saat itu mereka memang merasa berdosa. Namun, karena merasa ada sesuatu yang menyenangkan, mereka akan mengulanginya lagi," ungkapnya.

"Dan setelah mengalami 33-36 kali pengalaman orgasme, seumur hidup anak akan kecanduan pada tayangan pornografi itu," imbuhnya.
Menurutnya, jika pada umur 9 tahun saja anak sudah kecanduan dengan tayangan pornografi, pada usia 14 tahun anak itu berpotensi melakukan hal-hal yang lebih berbahaya lagi karena setiap hari kadar adiksi dan tingkah laku anak terus berkembang.

"Untuk mencegah anak-anak kecanduan pada tayangan pornografi, orangtua juga harus mengawasi kegiatan anak. Kalau mau memberikan mainan untuk anak, sebaiknya dilihat dulu, kalau tidak mengerti tanya pada pihak lain," kata dia.
"Hilangkan budaya tidak peduli antara anak dan orangtua. Walaupun sibuk, tetap berikan perhatian kepada anak. Selain itu, pemerintah juga harus menegakkan peraturan dengan tegas. Anak-anak harus dilindungi," tandasnya.

Waspadai Pengaruh TV Pada Anak

Hari Minggu seharian si kecil nongkrongin televisi. Bagus-bagus acaranya. Mulai Doraemon, PMan, hingga Dragonball. Masih juga dilengkapi dengan kehadiran gadis kecil berambut pendek bertas ransel yang populer disebut Dora. Sebegitu menariknyakah kehadiran kotak ajaib yang kini menjadi barang wajib dalam setiap rumah itu? Haruskah kita membiarkan si kecil berada di depannya tanpa ada kita di hadapannya? Artikel berikut ini bisa jadi bahan panduan Anda. Selamat membaca!

Sayangnya banyak tayangan TV yang sama sekali tak baik bagi perkembangan anak.
Anda mau bukti konkret? Teruslah membaca artikel ini ya. Sebuah penelitian regional yang melibatkan anak-anak Kanada, Australia, Amerika dan Indonesia dalam hal menonton televisi mendapatkan hasil menarik. Mau tahu? Anak Indonesia adalah penonton TV terlama, disusul Amerika, Australia dan paling rendah Kanada.

Hal ini tak lepas dari perubahan gaya hidup masa kini yang dianut sebagain besar orang tua di Indonesia: Sibuk bekerja, pengasuhan anak diserahkan kepada pengasuh serta berbagai faktor lain yang mengiringi.
Menonton televisi tampaknya membawa dampak negatif pada perkembangan anak dibanding dampak positif. Dari televisi anak-anak dapat menyaksikan semua tayangan, bahkan termasuk yang belum layak mereka tonton, mulai kekerasan dan kehidupan seks.

Dr. Endang Darmoutomo, MS, SpGK, dalam seminar yang diselenggarakan 'Dancow Parenting Center' beberapa waktu lalu mengungkapkan kecenderungan menonton tv terlalu lama akan meningkatkan angka obesitas pada anak-anak. Satu jam nonton tv misalnya, akan meningkatkan obesitas sebesar 2%. Pasalnya selama menonton TV, lanjut Dr. Endang, anak lebih banyak ngemil dan tak melakukan aktivitas olah tubuh.

Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. "Saat nonton tv atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang digunakan," ujar Dr. Endang. Saat anak nonton tv, kalori yang dibakar hanya 36 kkal/jam, padahal apa yang dia konsumsi jauh melebihi kalori yang digunakan. "Anak perlu aktif untuk bertumbuh," tandas Dr. Endang.

Obesitas tak hanya berdampak buruk bagi kesehatan karena mengundang berbagai penyakit seperti hipertensi, diabetes, gangguan sendi, penyakit jantung koroner hingga stroke saat anak dewasa, namun juga dapat mengganggu psikologis anak. Ingat, obesitas akan terbawa saat anak dewasa jika tak ditangani secara baik. Mungkin ia akan merasa malu, rendah diri, bahkan merasa tak berharga karena memiliki tubuh 'berbeda' dibanding teman-teman di lingkungannya.

Apa lagi dampak negatif menonton televisi pada anak selain obesitas? Ternyata menonton tv terkait erat dengan kecerdasan. Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA (K) mengutip hasil penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement.

Arch Pediatr Adolesc Med 2005, bahwa menonton tv saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun.
Sedangkan penelitian lain mengenai pengaruh tv terhadap IQ anak mendapati hasil bahwa anak di bawah 3 tahun yang rajin menonton televisi setiap jamnya ternyata hasil uji membaca turun, uji membaca komprehensif turun, juga memori. Yang positif hanyalah kemampuan mengenal dengan membaca naik.

Dari situ disimpulkan bahwa menonton tv pada anak di bawah 3 tahun hanya membawa lebih banyak dampak buruk dibanding efek baiknya.Anak yang sering menonton tv juga mengalami masalah pada pola tidurnya, seperti terlambat tidur, kurang tidur bahkan tak bisa tidur, cemas tanpa sebab, terbangun malam dan mengantuk pada siang hari.

Dr Hardiono menjelaskan, otak berfungsi merencanakan, mengorganisasi dan mengurutkan perilaku untuk kontrol diri sendiri, konsentrasi atau atensi dan menentukan baik atau tidak. "Pusat di otak yang mengatur hal ini adalah korteks prefrontal yang berkembang selama masa anak dan remaja," papar Dr. Hardiono. Televisi dan game video yang mindless (tak membutuhkan otak untuk berpikir) akan menghambat perkembangan bagian otak ini.

Lebih lanjut Dr. Hardiono memaparkan, hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu tv bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik.

Nah masih tega membiarkan anak tercinta kita sendirian di depan televisi? Tentu lebih bijak rasanya kalau kita menemaninya sembari memberikan pengertian mengenai acara yang berlangsung. Siapa sih yang ingin anaknya memiliki pengetahuan luas? Tetapi siapa juga yang ingin anaknya terjerembab dalam dunia lain, mimpi layaknya suguhan televisi?

Oke, selamat menjadi orang tua yang bisa menjelma menjadi sahabat anak-anak.

Diadaptasi dari hanya wanita

Friday, 24 July 2009

Tragis, Bocah 7 Tahun Ketagihan Tontonan Porno

detikcom - Jakarta, Jika Anda menonton tayangan "miring", waspadaianak-anak Anda. Jangan sampai dia bernasib apes seperti seorang bocahTaiwan berumur 7 tahun yang ketagihan tontonan porno karena ulah sembrono pengasuhnya. Bocah malang ini saat ini tengah mendapat bantuan ahli untuk menanggulangi adiksinya pada tontonan porno tersebut.


Bagaimana bisa seorang bocah menderita "penyakit" itu?


Ceritanya, dia mulai menonton tayangan haram itu saat dia tengah belajar berjalan tertatih-tatih. Itu terjadi ketika kakek yang menjaganya, keranjingan menonton VCD dalam kategori X itu.Sedang ibu si bocah yang hanya diidentifikasikan sebagai Nyonya Liu,menyatakan bahwa bapaknya berpikir bahwa cucunya itu tidak mengerti apayang sedang ditontonnya, demikian lapor United Daily News.

Namun,perkiraan itu keliru besar.Ketika sang anak yang baru belajar berjalan itu belajar bagaimanamenyetel televisi, dia lebih suka mencari tontonan yang mengandung unsurpornografi ketimbang film-film kartun yang lazimnya disukai anak-anakseusianya.Tragisnya, ketika umur si bocah mencapai 3 tahun, ibunya memergoki bocahitu sedang memanjakan penisnya ketika sebuah film porno ditayangkan ditelevisi. Buru-buru Ny.Liu pun pindah dari rumah ayahnya.
Selama inidia memang tinggal di situ karena suaminya yang berprofesi sebagai tentarajarang pulang ke rumah.

Ny.Liu lantas memonitor perilaku anaknya dan memperhatikan bahwa anaknyasuka dipeluk di antara payudara wanita dan akan meraba payudara parawanita dengan tidak malu-malu.Ketika dia masuk TK pun, bocah itu suka mengangkat rok guru-guru merekadan menggambar wanita telanjang ketimbang tokoh-tokoh kartun. Dia jugamengintip rumah tetangga yang dihuni seorang wanita yang punya kebiasaantidur telanjang tanpa menutup jendela. Bocah itu juga mencuri pakaiandalam tetangga itu dan hal itu terus berlanjut meski ibunya seringmengomelidan memukulnya.

Ny.Liu akhirnya menyadari bahwa anaknya membutuhkan bantuan ahli setelahanaknya itu mulai merabanya ketika dia sedang terlelap. Dokter-dokterdi RS psikiatrik di Kaohsiung mengatakan pada si ibu bahwa perilaku anaknyaitu adalah hasil dari eksposure yang cukup panjang dari film-filmpornografi.Para dokter mengatakan, para orang dewasa keliru bila mereka berpikiranak-anak yang masih muda tidak terpengaruh oleh materi semacam itu.Jadi, waspadai tontonan anak-anak Anda!

Hindari Kekerasan Fisik Pada Anak

Tema mengenai reward and punishment untuk anak sudah kerap dibicarakan, melalui berbagai media massa maupun lewat seminar dan diskusi. Namun, dalam kenyataan masih banyak orangtua yang menerapkan kekerasan fisik kepada anak-anaknya, dengan berbagai alasan.

Bagi psikolog pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lucia RM Royanto, mendidik anak itu pada dasarnya adalah membuat mental anak sehat. Jadi, perasaan anak harus dijaga sebaik-baiknya. Anak rewel, nakal, ngambek, tidak menurut adalah hal yang biasa. Orangtua sebaiknya tidak memberikan hukuman dengan kekerasan fisik (corporal punishment) sama sekali.

Menurut Lucia, hukuman fisik bisa berdampak serius. Salah satunya adalah membuat anak imun. "Awalnya, diceples sudah mempan. Lama-lama dipukuli pun tidak mempan lagi. Anak makin beradaptasi dengan rasa sakit, dan ini bisa menimbulkan agresivitas," katanya.

Dampak lain, kekerasan pada anak mengakibatkan efek modeling atau meniru. Anak yang kerap dipukuli orangtua biasanya akan memukuli teman-temannya. Jika ia tidak belajar dan bersikap terbuka saat dewasa, perlakuan ini pun bisa ditularkan kepada anaknya. Ia akan memukuli anaknya seperti dia dipukuli orangtuanya.

Selain itu, kekerasan juga traumatis dan akan terbawa sampai anak menjadi dewasa. Memang, tidak semua anak demikian, tergantung bagaimana pula lingkungan membentuknya. Bagi orangtua yang mau belajar dan bersikap terbuka, kekerasan yang pernah diterimanya sewaktu kecil tidak akan ditularkan kepada anaknya.

Secara pribadi, Lucia tidak mengharamkan pukulan sama sekali. "Hanya ada satu alasan mengapa anak harus kita pukul, yaitu ketika pengaruh perilaku anak itu membahayakan dia dan orang lain. Misalnya menyeberang jalan seenak perut. Boleh dipukul di paha agak keras, supaya tahu kalau itu tidak boleh," paparnya.

Namun, untuk perilaku seperti tidak akur dengan adik, makan tidak baik dan berceceran, hal itu justru bisa menjadi ajang bagi orangtua untuk berdiskusi dengan anak. "Resolusi konflik itu dengan diskusi. Tunjukan jika orangtua itu marah bukan pada orangnya tetapi pada perilakunya," tutur Lucia.

Masa anak-anak adalah masa bermain, jadi jangan racuni mental anak dengan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis. "Sewaktu kecil tidak boleh dikerasi, apalagi kalau sudah besar dan bisa menimbang-nimbang sendiri," katanya.

Ada beberapa tips buat orangtua ketika marah kepada anak:
- Minta orang lain (suami kalau istri yang marah/istri kalau suami yang marah) untuk menasehati anak
- Diam dan menghitung angka paling tidak satu sampai sepuluh.
- Minum air putih banyak-banyak.

Sumber: Kompas