Saturday 24 July 2010

BALADA SEORANG ROIHAN - Potret buram pendidikan




Dalam sebuah seminar beberapa minggu yang lalu di ITB Bandung, saya duet dengan mas Hernowo, sangat terkesan sekali dengan pernyataan mas Hernowo bahwa hentikanlah dan jangan lagi yang ‘diobok-obok’ adalah siswa dalam proses pembelajaran. Jika ada kelambanan siswa menangkap materi belajar, maka sisi siswa yang selalu disalahkan. Lamban, nakal, punya hambatan, dan sampai pada pernyataan kasar yaitu ‘bodoh’, ‘goblok’ atau ‘bahlul’. Mas Hernowo menantang, apa mau, kita sebagai guru yang harus introspeksi. Kenapa siswaku lamban? Apa yang salah dengan cara mengajarku? Apa aku harus ganti pendekatan yang lain? Bagaimana sih sebenarnya kondisi siswaku?

Saya sepakat dengan mas Hernowo, mestinya jika terjadi kesulitan mengajar, maka langkah pertama adalah guru harus introspeksi dengan cara:
Pertama, jelajahi siapa sosok siswa anda yang lemah tersebut. Bagaimana gaya belajar dia? Apakah dia mempunyai hambatan-hambatan tertentu? Selidiki dan cari tahu hambatan itu. Lalu identifikasikan bagaimana sosok siswa anda tersebut.
Kedua, rancang perencanaan mengajar sesuai dengan identifikasi siswa tersebut. Apakah kita sebagai guru salah strrategi dalam megnajar sebelumnya, ataukah siswa kita memang mempunyai hambatan. Maka solusi yang tepat harus dilakukan oleh guru.
Ketiga, terus jaga motivasi siswa kita untuk selalu medukung dan mengatakan kepada dia bahwa dia adalah mampu mengikuti dan menyelesaikan materi ini. Terus munculkan kaki-kaki positif, agar siswa kita terus mempunyai kepercayaan diri yang kuat.

Teringat juga pelajaran dari dosen saya di Universitas Negeri Jakarta yang luar biasa yaitu ibu Lara Fridani yang sekarang sedang menempuh S3 di Australia. Beliau seorang psikolog yang pernah terjebak dalam pekerjaan memberikan tes kematangan sekolah kepada anak-anak TK untuk masuk ke SD. Hasil tesnya adalah sebagian anak belum matang untuk bersekolah dan sebagian dinyatakan sudah matang. Tentunya yang belum matang, tidak boleh masuk SD. Dan harus menunggu tahun depan, tentunya jika tahun depan anak tersebut ‘sudah matang’ untuk bersekolah. Lalu beliau mengatakan, bahwa saat ini beliau sadar bahwa mestinya yang ‘belum matang’ dalam hal ini adalah sekolahnya untuk menerima anak-anak tersebut. Sesungguhnya bukan anak-anak tersebut yang belum matang.

Saya sepakat dengan kedua sahabat saya tersebut, dan sedihnya adalah datang sahabat saya yang ketiga ke kantor, sepasang suami istri menumpahkannya keluhan-keluhan yang berkaitan dengan pendidikan dan sekolahnya anaknya. Sebut saja Roihan, putranya yang dinyatakan tidak naik ke kelas 5 SD oleh gurunya. Buat saya bukan ‘tidak naik’nya yang menjadi perhatian, namun proses sampai Roihan tidak naik-lah yang perlu kita semua cermati.

Roihan, saya sempat bertemu dengan dia. Roihan menurut saya adalah anak yang cerdas, mempunyai kecerdasan kinestetis dan interpersonal. Bahkan dia sampai hafal merk-merk mobil keluaran baru beserta harganya pula. Roihan punya banyak teman di kelasnya. Namun dia kurang perhatian untuk menerima materi dari para gurunya.
Sayang sekali para gurunya tidak memahami gaya belajar Roihan. Mereka kewalahan menghadapi Roihan, apalagi tuntutan nilai ketuntasan dari sekolah membuat para guru ambil jalan pintas, yaitu Roihan adalah anak ‘bodoh’ dan tidak akan pernah berhasil sekolah.
Jalan pintas itu kemudian dimunculkan menjadi ‘peruntuhan kepercayaan diri’ Roihan. Sampai-sampai ada seorang guru yang mengatakan bahwa Roihan tidak akan pernah naik ke kelas 5 nanti. Pasti tidak naik. Jika mau naik, harus keluar dari sekolah ini dan harus sekolah di pinggir kali (sungai). Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan yang ‘menjatuhkan’ mental Roihan.
Akhirnya Roihan menjadi sosok murid yang selalu dalam posisi salah dan disalahkan. Roihan berontak terhadap keadaan yang dia rasa tidak adil ini. Namun pemberontakan Roihan dianggap sebagai perilaku ‘nakal’ yang tak termaafkan lagi.
Orangtuanya juga pernah dipanggil dan datang ke sekolah untuk ‘complain’. Namun guru-guru yang terlibat tidak mau berterus terang. Mereka tambah membenci Roihan.
Anda dapat membayangkan kondisi psikologis Roihan di sekolah tersebut. Sangat menderita. Apalagi ‘peruntuhan kepercayaan diri’ tersebut terus dilakukan oleh guru-guru yang tidak bertanggung jawab secara terbuka di depan siswa-siswa yang lain. Roihan akhirnya tidak mau sekolah lagi.

Orangtuanya bingung dan stres. Dan saya sempat terpana mendengar cerita orangtuanya tentang Roihan. Wow .. saya langsung ingat mas Hernowo dan bu Lara, yaitu penyakit mengobok-obok siswa. Ternyata masih ada saja potret buram pendidikan di negeri kita.

Tips saya kepada orangtuanya sebagai berikut:
Selamatkan Roihan dari ‘sekolah robot’ tersebut. Pindahkan Roihan ke ‘sekolahnya manusia’. Saya ceritakan bagaimana kisah Totto Chan juga pindah dari sekolah robot ke sekolah Tomoe Gakuen, sekolahnya manusia. Totto Chan diselamatkan oleh sekolah ini dan sekarang Totto Chan, nama aslinya Tetsuko Kuroyanagi berhasil menjadi duta UNICEF untuk program pendidikan bagi negara-negara yang terbelakang. Dan alhamdulilah Roihan pada tahun ajaran ini sudah dipindahkan ke sekolahnya manusia. Semoga Roihan akan menjadi seperti Totto Chan dan sukses dalam kehidupannya di dunia dan di akherat.


Lalu masukan saya kepada masyarakat konsumen pendidikan, bahwa kita semua harus hati-hati dan cermat memilih sekolah untuk anak kita. Terkadang ada bungkus cantik yang memperdaya kita. Bungkus itu seperti embel-embel sekolah favorit, sekolah unggul, padahal di dalamnya adalah ‘penjara’ buat anak kita. Kita orangtua tidak bisa merasakan, namun anak kita bisa. Sekolah robot adalah sekolah yang para gurunya juga robot. Guru robot adalah guru yang ingin ambil gampangnya saja. Mereka ingin mengajar anak yang pinter-pinter dan baik-baik. Mereka sangat membenci anak yang kurang pandai dan nakal.

Untuk membedakannya dengan sekolahnya manusia, dengarlah munajat doa yang dilantunkan oleh seorang guru di sekolahnya manusia. Dialah gurunya manusia.

“Alhamdulillah ya Allah, tahun ini aku mendapat karunia dengan masuknya anak-anak yang luar biasa, yang mana dengan anak-anak ini aku akan tertantang menjadi agent of change buat diri mereka dan diriku sendiri. Terima kasih ya Allah ... tahun ini aku belajar dari siswaku yang ‘tidak bisa diam’, aku belajar dari siswaku yang sulit untuk memahami materi, aku belajar dari siswaku yang nakal, yang setiap hari terus menggodaku.
Aku benar-benar bersyukur ya Allah, Engkau hadirkan mereka untuk aku. Bagiku mereka adalah rizki. Bagaimana tidak, ilmuku bisa bertambah dengan kehadiran mereka. Kesabaran ku bisa berlipat-lipat dengan kehadiran mereka.
Dan yang paling aku nikmati adalah ketika mereka tersenyum dan membisikkan sebuah kalimat di telingaku ..’guru ... ternyata aku bisa!’
Bagaimana aku tidak berterima kasih kepadaMu Ya Allah, jika kenikmatan hati ini terus setiap hari muncul di kelasku.
Ya Allah ...berikan kekuatan kepada ku, untuk terus berjuang menjadikan mereka insan-insan yang nanti akan mempunyai manfaat, baik bagi dirinya sendiri, keluarnya, masyarakatnya, bangsanya dan bagi agamanya. Amien ya robbal alamien (Munif Chatib)

No comments:

Post a Comment