Monday 30 May 2011

Kami Keluarga "Broken Home"


“Sepertinya kita keluarga broke home ya mi,” Zuhdi, sulungku mengagetkanku dengan pertanyaannya di suatu sore.
Aku sempat terpana beberapa saat, teringat olehku kesibukanku dan suamiku bekerja sehingga tak menyisakan banyak waktu untuk bercengkerama bersama anak-anak. Jangan-jangan ia merasa tak nyaman dengan kebersamaan kami selama ini dan mencari ‘kebahagiaan’ di luar ya? Pikiranku mulai melayang kemana-mana karena satu istilah yang dilontarkannya barusan.
“Eh, maksudnya...?” kucoba mengklarifikasi pernyataannya, tentu sambil berdebar-debar menunggu jawabannya selanjutnya.
“Iya, tuh lihat rumah kita, hampir tiap hari hancur...eh, berantakan kayak kapal pecah” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.
Oalah...syukurlah, kirain...

Dalam hati, kubenarkan juga ucapan sulungku. Kutatap ruang tengah kami yang kini berubah fungsi menjadi ‘bumi perkemahan’ dadakan. Ada beberapa kursi yang sengaja dibalik, selimut besar yang dihamparkan di atas kursi-kursi sebagai tenda. Bantal, guling, juga aneka buku yang berserakan di sekitarnya (ini yang  paling kusuka, dalam hampir setiap permainannya anak-anak selalu melibatkan buku dan membacanya!). Bahkan kadang mereka juga makan dan minum dalam ‘rumah imajiner’nya tersebut. Sesekali aku bertandang juga ke ‘rumah’ mereka, memastikan mereka merasa nyaman dan tak ada benda- benda berbahaya di dalamnya.

Tak hanya itu, anak-anak kadang juga menjadikan ruang tidurnya medan peperangan dengan bantal dan guling sebagai senjatanya. Beberapa perkakas dapur seperti panci, baskom, dan penggorengan kadang mereka gunakan pula sebagai tameng.
“Pinjam dulu ya mi, ntar kalau menang perang aku kasih bonus deh...” begitu biasanya ia merayuku. Bonusnya unik, kadang ciuman di pipi atau secarik kertas bertuliskan ‘aku sayang ummi’. Tapi, aku sangat menyukai bonus itu!

Pernah juga mereka membawa ‘pasukannya’ bermain ke rumah. Empat orang anakku ditambah lima orang temannya membuat rumahku bak tempat penitipan anak! Lalu, sebagai tuan rumah yang baik, anak-anakku akan mengambil makanan dan minuman untuk tamu-tamu mereka. Aku pun terheran-heran saat membuka tudung saji dan menemui lauk pauk dan sayuran yang barusan kumasak hanya tinggal wadahnya saja. Kembali wajah-wajah polos itu mengharap pengampunanku.
“Kata ummi, kita kan harus berbagi...Kasihan teman-temanku, mereka lapar, jadi aku kasih makanan yang di meja makan buat mereka.”
Haha...lagi-lagi aku ‘takluk’ dengan maklumat mereka yang (selalu saja) menjadikan nasehatku sebagai tamengnya.

Kadang ada juga saat-saat aku sangat lelah dan ingin melihat rumahku rapi serta tak ada suara-suara ribut anakku.
“Bisakah kalian sebentar saja tenang dan tak membuat keributan? Ummi lelah sekali, pengen tidur siang!” ucapku sambil melongokkan kepalaku dari balik jendela kamar, berharap mereka menghentikan keributannya bermain perang-perangan di parit depan rumah.
Lalu, wajah-wajah polos yang dicoreti krayon itu bermunculan dari balik parit, menatapku dengan tampang memohon.
“Ayolah, mi...ijinkan kami bermain sebentar saja, kami sudah capek sekolah dari tadi pagi” si sulung mulai berdiplomasi.
“Iya...katanya ummi senang kalau kami senang. Jangan lupa, ummi juga sudah janji tak akan marah-marah lagi,” adiknya menimpali sambil mengikuti gayaku saat sedang memberi nasehat. Aduuuh...kena deh!
 Akhirnya aku mengalah, meneruskan istirahatku dengan menangkupkan bantal di kedua telingaku, berharap suara-suara mereka tak mengganggu tidur siangku.

Tapi bagaimanapun aku selalu menikmati kekonyolan anak-anakku saat mereka bereksperimen. Membiarkan mereka ‘menghancurkan’ rumahku dengan ide-ide anehnya. Bukan berarti aku tak mengajarkan kerapian dan kebersihan pada anak-anak tapi bagiku kesenangan dan kenyamanan anak-anak saat berada di rumah lebih penting daripada sekedar memiliki rumah yang selalu terlihat rapi. Merapikan rumah bisa dilakukan setelah mereka puas menikmati permainannya. Tentu saja dengan melibatkan mereka untuk melatih rasa tanggung jawab.

Aku sangat setuju dengan pendapat Richard Templar dalam bukunya “The Rules Of Parenting” yang mengatakan ‘being tidy isn’t as important as you think’. Menurutnya, dalam hal kebersihan dan kerapian rumah, orang tua mempunyai dua opsi pilihan. Yang pertama adalah selalu menjaga rumah senantiasa terlihat rapi, bersih, tak ada bercak atau kotoran di sana sini dengan resiko orang tua merasa letih serta anak-anak tertekan dan tak bisa bersikap natural seperti anak-anak selayaknya. Opsi yang kedua adalah bersikap santai, memaklumi bahwa anak-anak adalah anak-anak, dan memiliki kehidupan yang menyenangkan bersama seluruh anggota keluarga, mampu menikmati kehidupan di rumah walau mungkin situasi rumah agak berantakan.

Richard juga menjelaskan bahwa bukan dia mengatakan bahwa anak-anak tak perlu diajari tentang kerapian dan kebersihan. Hanya saja, ujarnya lagi, biarkan mereka menikmati dulu, baru kemudian dibereskan. Tak masalah jika terdapat banyak noda dan bercak di rumah atau noda kotor di pakaian anak-anak, semua itu bisa dibersihkan. Namun merupakan suatu masalah bila anak-anak tak diijinkan untuk bersantai dan bergembira.

Aku yakin, masa-masa kecil yang bahagia akan menjadi kenangan manis saat anak-anakku dewasa kelak. Dan aku percaya, anak-anak yang bahagia akan tumbuh menjadi orang dewasa yang berbahagia pula...

Sunday 22 May 2011

Menulislah, Maka Kita ‘Ada’... (A Tribute For Nurul F Huda)


Beberapa hari yang lalu aku dikejutkan oleh sebuah kabar duka. Nurul F Huda, salah satu pengarang favoritku telah tiada. Penyakit jantung yang dideritanya sejak belia, tak mengijinkannnya lebih lama lagi hidup di dunia. Meninggalkan dua putranya yang masih berusia belia, sepantaran dengan anak sulungku yang baru duduk di kelas tiga SD. Rasa haru, sedih, dan kehilangan bercampur aduk jadi satu di dadaku. Apalagi selama ini dia harus membesarkan kedua buah hatinya seorang diri, setelah sang suami pergi meninggalkannya demi wanita lain.

Kubayangkan hari-hari sepi yang dilaluinya tanpa pendamping yang menjadi penyejuk jiwa dan pelipur laranya. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi ibu yang sungguh tak bersyukur. Aku dikaruniai seorang suami dan lima anak yang membuat hari-hariku senantiasa ceria, namun betapa seringnya aku mengeluh dan merasa terbebani dengan tugasku sebagai seorang istri dan ibu.

Tengah malam, aku membuka-buka beberapa buku karangannya. Dalam keterbatasannya, ternyata tak membuatnya berhenti berkarya. Hampir 23 buku berhasil ditulisnya, dan rata-rata memberikan berjuta hikmah dan inspirasi bagi pembacanya. Bahkan, menjelang kematiannya ia masih sempat menulis sebuah buku “Hingga Detak Jantungku Berhenti”. Sepertinya ia telah mempunyai firasat bahwa ia tak lama lagi membersamai kedua buah hatinya di dunia, hingga judul itu yang ia pilih untuk buku terakhirnya. Kurasakan hatiku semakin tertaut pada sosok kurus nan ringkih namun murah senyum itu. Butiran bening mengalir dari kedua pipiku.

Aku mengenalnya hanya lewat dunia maya, serta dari berbagai tulisan yang ditorehkannya. Aku belum pernah bertemu dengannya secara nyata. Namun mengapa aku begitu kehilangan saat ia tiada? Mengapa air mataku kembali menetes tiap mengingat perjuangannya? Mengapa tiap kali menatap anakku yang sebaya dengan anak yang ditinggalkannya, luka hatiku sembali menganga?

Aku tahu jawabnya. Karena ia menuliskan perjuangannya. Ia menuliskan visi hidupnya dalam setiap buah karyanya. Visi yang sama dengan harapanku hidup di dunia ini. Itulah yang mengikat hati kami sehingga saling terpaut walau kami belum pernah bersua secara fisik. Dari berbagai tulisannya, aku menjadi tahu  pribadinya yang sesungguhnya, impian-impiannya, idealismenya, kebahagiaannya membesarkan kedua buah hatinya, perjuangannya dengan penyakit jantung yang dideritanya, bahkan suka dukanya menjadi istri yang harus merelakan sang suami berpaling pada wanita lain.

Dengan menulis, Nurul F Huda telah meninggalkan jejak bahwa ia pernah ada di muka bumi ini. Bahwa idealisme dan cita-citanya tetap abadi dan tidak ikut terkubur bersama jasadnya. Walau ia telah tiada, goresan penanya akan tetap menginspirasi banyak manusia, dan semoga bisa menjadi pahala amalan jariahnya di akhirat.

Selamat jalan sahabat...
Beristirahatlah dengan tenang dalam tidurmu yang panjang...
Semoga hasil karyamu menjadi cahaya yang akan senantiasa menerangi kuburmu...
Ijinkan aku mengikuti jejakmu, meninggalkan goresan pena yang akan menginspirasi banyak manusia...
Sekecil apapun itu, akan kupahatkan bahwa aku pernah ‘ada’...



Tuesday 17 May 2011

Wahai Ibu, Menulislah...


Kabar terbaru, Barat sedang menggalakkan kampanye agar para ibu kembali ke rumah. Hal ini berkebalikan dengan emansipasi yang dulu mereka dengungkan bahwa wanita bebas berkarier di luar rumah. Mungkin kampanye ini berkaitan erat dengan semakin maraknya kenakalan remaja dan kurangnya ‘sentuhan’ kasih sayang orang tua dalam keluarga.

Peran ibu dalam keluarga sangatlah strategis, yaitu menjadi pendidik pertama bagi putra-putrinya. Tetapi peran tersebut memerlukan konsekuensi, yang pertama adalah waktu yang memadai untuk mendampingi sang buah hati. Sulit dibayangkan seorang ibu yang berkarir bisa mengoptimalkan waktu yang dimilikinya untuk membesarkan anak-anaknya.

Yang kedua adalah ilmu yang memadai. Membesarkan anak tak cukup hanya mengandalkan naluri saja, seorang ibu juga harus rajin men’charge’ ilmunya agar mampu menghadapi berbagai problema yang mengiringi tumbuh kembang sang anak. Dengan aktif mencari ilmu, baik dengan cara membaca, searching di internet, maupun mengikuti berbagai seminar parenting, ibu akan lebih optimal mendidik anaknya. Apalagi bobot masalah yang dihadapi akan semakin meningkat seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seorang ibu yang rajin ‘belajar’ pasti akan lebih tangkas menghadapi masalah yang dihadapi anak-anaknya dibandingkan ibu yang malas ‘meng-update’ ilmunya.

Ketika sang ibu mampu menangani masalah perkembangan anak kemudian ia bagikan pengalamannya tersebut melalui tulisan, maka manfaat yang diperoleh pun akan berlipat ganda. Sebagaimana tulisan Kartini yang mampu menjadi penggerak perubahan sosial bagi kaum wanita. Mungkin bila Kartini hanya menyimpan tulisannya dalam buku harian, kita tak pernah tahu perjuangannya yang telah menginspirasi kaum wanita untuk hidup lebih bermartabat. Dan hebatnya, tulisan tersebut mampu tetap menginspirasi walau sudah ditulis berpuluh tahun yang lalu.

Kisah Kartini tersebut seharusnya men jadi ‘pemantik’ bagi kita-kaum ibu- untuk bisa meneruskan perjuangannya. Hanya bersenjatakan pena, yakinlah bahwa kita mampu mengubah dunia. Perjuangan yang bahkan bisa dilakukan tanpa kita perlu keluar rumah. Kita hanya perlu mengisi kekayaan khazanah pengetahuan kita dengan banyak membaca, kemudian menuliskannya dan membagikannya agar semakin banyak manusia yang tercerahkan. Yakinlah, bahwa semakin banyak orang yang mengambil manfaat dari ilmu yang kita bagikan, semakin besar tabungan pahala yang kita miliki. Insya Allah...