Saturday 31 July 2010

Mengatasi Kerewelan Anak Dengan Hati


Malam ini,seperti malam-malam sebelumnya,selalu kuamati wajah polos anak-anakku yg tertidur pulas sambil tak henti bersyukur atas keceriaan yg mereka bagikan setiap saat. Ada kepuasan yg teramat saat seharian mampu mengatasi kerewelan mereka dengan bijak dan tak terpancing emosi. Tapi sering pula penyesalan meraja kala hari-hari bersama mereka terlewati dengan bentakan,cacian,bahkan cubitan, dan diakhiri dengan tangisan.

Hmm....kesalahan yang berulangkali dilakukan orang tua (terutama saya ^_^) adalah bertindak kasar pada anak dan sesudahnya menyesal setengah mati,tapi toh esok hari diulangi lagi. Pantas saja kalau anakku pernah berkomentar seperti ini saat aku minta maaf padanya suatu hari,"Paling-paling besok ummi marah-marah lagi,terus minta maaf lagi!".Huaaa....malunya!

Kucoba lagi menelusuri, kondisi apa saja yg seringkali membuatku 'bertanduk' di depan anak-anak.
Biasanya saat aku diburu waktu dan anakku rewel,aku akan mengeluarkan kata-kata ajaib untuk membuatnya diam.Alih-alih diam,dia malah semakin merajuk.Jadilah pagi yg sibuk menjadi arena argumentasi yg tak searah,yg satu marah-marah krn keburu telat,satunya lagi senewen karena keinginannya tak dikabulkan. Tinggallah para tetangga melongo menyaksikan pertarungan tak seimbang antara ibu dan para balitanya ;).

Kali lain, aku biasanya mudah terpancing untuk marah saat 'bad mood'. Saat kondisi hati tak stabil, anak yang penurut pun bisa tiba-tiba dimarahi.Apalagi kalau anak bikin ulah, jadilah diriku bak penyiar radio yg siaran non stop 24 jam 'menceramahi' anakku.

Atau saat kondisi badanku lelah sepulang kerja, berharap dapat istirahat sejenak dan melihat rumah dalam keadaan rapi. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya...belum lagi sempat duduk,sudah dihadang tangisan dan rumah yang bak kapal pecah.Lagi-lagi emosi yang bicara....

Sepertinya aku harus selalu menata hatiku terlebih dahulu sebelum berinteraksi dg anak-anak. Saat kita marah, seharusnya emosi kita yg hrs kita lawan,bukan anak-anak....

Saturday 24 July 2010

Meninggalkan anak sendirian di rumah

Banyak orangtua yang merasa anak usia ini sudah bisa ditinggal sendirian di rumah. Misalnya orangtua pergi kondangan selama beberapa jam. Ada pun pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah:
1. Benarkah anak usia ini sudah bisa ditinggal sendirian di rumah?
2. Kalau anak belum berani, bagaimana mengajarkannya?
3. Sebaliknya kalau anak terlalu berani, bagaimana menyikapinya?
4. Apa saja yang harus diajarkan pada anak saat ditinggal sendirian di rumah?
5. Bolehkah sekaligus “dititipi” untuk menjaga adik?



Jawaban


Dalam hal kemandirian, anak usia sekolah (7 – 12) thn memang dituntut untuk mengembangkan dan memiliki kemandirian dasar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, diharapkan dengan bertambahnya usia, anak mampu mengurus diri nya sendiri dan bahkan bisa bertanggung jawab terhadap tugas-tugas rumah tangga yang diberikan oleh orangtua.

Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek kemandirian anak, sangat tergantung pada pola asuh serta disiplin yang diterapkan oleh orangtua. Jadi, kita bisa lihat mengapa ada anak yang ketika masuk di kelas 1 SD sudah bisa ”enjoy” sendirian tanpa ditemani orangtuanya, tetapi ada juga anak yang masih harus ditunggui bahkan ditemani oleh orangtuanya sampai di dalam kelas.

Terkait dengan pertanyaan di atas, maka untuk meninggalkan anak sendirian di rumah, banyak hal yang harus kita ”persiapkan” sejak dini. Keberanian untuk berpisah dengan orgtua, kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasar (seperti : Makan, minum, buang air kecil dan besar), penguasaan terhadap seluk beluk rumah (bisa membuka dan mengunci pintu, mengetahui tempat penyimpanan kotak P3K, bisa mematikan kompor, mematikan kran air), bagaimana bersikap kepada orang asing yang mungkin datang ke rumah saat orgtua tidak ada, serta mengetahui apa yang harus dilakukan bila terjadi emergency (misalnya : kebakaran, ada yg terluka).


Dari keterangan di atas, meski faktor keberanian anak merupakan hal mendasar dalam kemandirian, namun hal tsb tidak lah cukup bila kita ingin meninggalkan anak sendirian di rumah tanpa ada org dewasa yg menemani. Faktor keberanian, haruslah ditunjang dengan faktor2 lain yg sudah saya sebutkan di atas. Mengapa? Karena kita tidak akan pernah tahu hal2 apa saja yang bisa terjadi saat kita pergi sementara tidak ada orang dewasa yang bisa membimbing anak atau membuat keputusan saat terjadi peristiwa yg sifatnya emergency.


Jadi, latihlah anak-anak sejak dini untuk berani, mandiri, juga percaya diri, yang kemudian orgtua dapat memberi bekalan pengetahuan dan tips seputar P3K, savety, bagaimana menghadapi orang asing, dan apa yang harus dilakukan bila terjadi hal2 yg sifatnya emergency. Orgtua juga harus memberitahu dan menempel nomor2 telp penting di tempat yg mudah terlihat oleh semua orang di rumah, termasuk anak2. Dengan demikian, diharapkan, saat anak berusia 8 atau 9 tahun, orgtua sudah bisa meninggalkannya sendiri di rumah.


Oh ya, untuk melatihnya, harus dilakukan secara bertahap. Orgtua jangan langsung meninggalkan anak2 sendiri dalam jangka waktu yang lama. Mulailah dari 0.5 jam dahulu untuk jarak yang tidak terlalu jauh (misalnya untuk berbelanja di toko yg masih terletak di dalam lingkungan rumah).


Setelah itu barulah ditambah lagi durasi waktunya menjadi 1 jam, lalu bisa 2 jam, lalu 3 jam. Jangan lupa sebelum pergi, orgtua harus me-ngecek dahulu keadaan rumah (matikan kompor, kran air, menyiapkan lampu emergency bila listrik padam), dan buatlah perjanjian dgn anak kapan saja/berapa kali orgtua harus menelpon ke rumah sehingga anak tetap merasa aman meski orgtua tidak ada di rumah.


Mengenai ”dititipi” adik, kita sebagai orgtua harus benar2 cermat dalam mengambil keputusan, karena itu artinya kita menyerahkan pengasuhan adik kepada kakak yang juga harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam hal ini, faktor usia si kakak, juga si adik, perlu dipertimbangkan.


Idealnya adalah dalam hal ini si adik pun sudah memiliki keberanian dan kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya sendiri (minimal sudah bisa makan dan minum sendiri, buang air sendiri), sehingga si kakak bisa kita ”bebankan” hanya untuk mengawasi dan mengajak adik bermain sambil tetap waspada dengan keadaan di rumah. Ingat!, meski si kakak lebih dewasa dan matang, tetap saja secara usia (7 – 12thn) bukan lah usia yg tepat untuk menyerahkan sepenuhnya tanggungjwab pengasuhan si adik kepada kakak.


Jadi, orgtua harus ingat waktu dan tidak terlalu lama meninggalkan anak2 sendirian di rumah tanpa ada yang mengawasi.

(Fajriati Maesyaroh,Psi)

BALADA SEORANG ROIHAN - Potret buram pendidikan




Dalam sebuah seminar beberapa minggu yang lalu di ITB Bandung, saya duet dengan mas Hernowo, sangat terkesan sekali dengan pernyataan mas Hernowo bahwa hentikanlah dan jangan lagi yang ‘diobok-obok’ adalah siswa dalam proses pembelajaran. Jika ada kelambanan siswa menangkap materi belajar, maka sisi siswa yang selalu disalahkan. Lamban, nakal, punya hambatan, dan sampai pada pernyataan kasar yaitu ‘bodoh’, ‘goblok’ atau ‘bahlul’. Mas Hernowo menantang, apa mau, kita sebagai guru yang harus introspeksi. Kenapa siswaku lamban? Apa yang salah dengan cara mengajarku? Apa aku harus ganti pendekatan yang lain? Bagaimana sih sebenarnya kondisi siswaku?

Saya sepakat dengan mas Hernowo, mestinya jika terjadi kesulitan mengajar, maka langkah pertama adalah guru harus introspeksi dengan cara:
Pertama, jelajahi siapa sosok siswa anda yang lemah tersebut. Bagaimana gaya belajar dia? Apakah dia mempunyai hambatan-hambatan tertentu? Selidiki dan cari tahu hambatan itu. Lalu identifikasikan bagaimana sosok siswa anda tersebut.
Kedua, rancang perencanaan mengajar sesuai dengan identifikasi siswa tersebut. Apakah kita sebagai guru salah strrategi dalam megnajar sebelumnya, ataukah siswa kita memang mempunyai hambatan. Maka solusi yang tepat harus dilakukan oleh guru.
Ketiga, terus jaga motivasi siswa kita untuk selalu medukung dan mengatakan kepada dia bahwa dia adalah mampu mengikuti dan menyelesaikan materi ini. Terus munculkan kaki-kaki positif, agar siswa kita terus mempunyai kepercayaan diri yang kuat.

Teringat juga pelajaran dari dosen saya di Universitas Negeri Jakarta yang luar biasa yaitu ibu Lara Fridani yang sekarang sedang menempuh S3 di Australia. Beliau seorang psikolog yang pernah terjebak dalam pekerjaan memberikan tes kematangan sekolah kepada anak-anak TK untuk masuk ke SD. Hasil tesnya adalah sebagian anak belum matang untuk bersekolah dan sebagian dinyatakan sudah matang. Tentunya yang belum matang, tidak boleh masuk SD. Dan harus menunggu tahun depan, tentunya jika tahun depan anak tersebut ‘sudah matang’ untuk bersekolah. Lalu beliau mengatakan, bahwa saat ini beliau sadar bahwa mestinya yang ‘belum matang’ dalam hal ini adalah sekolahnya untuk menerima anak-anak tersebut. Sesungguhnya bukan anak-anak tersebut yang belum matang.

Saya sepakat dengan kedua sahabat saya tersebut, dan sedihnya adalah datang sahabat saya yang ketiga ke kantor, sepasang suami istri menumpahkannya keluhan-keluhan yang berkaitan dengan pendidikan dan sekolahnya anaknya. Sebut saja Roihan, putranya yang dinyatakan tidak naik ke kelas 5 SD oleh gurunya. Buat saya bukan ‘tidak naik’nya yang menjadi perhatian, namun proses sampai Roihan tidak naik-lah yang perlu kita semua cermati.

Roihan, saya sempat bertemu dengan dia. Roihan menurut saya adalah anak yang cerdas, mempunyai kecerdasan kinestetis dan interpersonal. Bahkan dia sampai hafal merk-merk mobil keluaran baru beserta harganya pula. Roihan punya banyak teman di kelasnya. Namun dia kurang perhatian untuk menerima materi dari para gurunya.
Sayang sekali para gurunya tidak memahami gaya belajar Roihan. Mereka kewalahan menghadapi Roihan, apalagi tuntutan nilai ketuntasan dari sekolah membuat para guru ambil jalan pintas, yaitu Roihan adalah anak ‘bodoh’ dan tidak akan pernah berhasil sekolah.
Jalan pintas itu kemudian dimunculkan menjadi ‘peruntuhan kepercayaan diri’ Roihan. Sampai-sampai ada seorang guru yang mengatakan bahwa Roihan tidak akan pernah naik ke kelas 5 nanti. Pasti tidak naik. Jika mau naik, harus keluar dari sekolah ini dan harus sekolah di pinggir kali (sungai). Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan yang ‘menjatuhkan’ mental Roihan.
Akhirnya Roihan menjadi sosok murid yang selalu dalam posisi salah dan disalahkan. Roihan berontak terhadap keadaan yang dia rasa tidak adil ini. Namun pemberontakan Roihan dianggap sebagai perilaku ‘nakal’ yang tak termaafkan lagi.
Orangtuanya juga pernah dipanggil dan datang ke sekolah untuk ‘complain’. Namun guru-guru yang terlibat tidak mau berterus terang. Mereka tambah membenci Roihan.
Anda dapat membayangkan kondisi psikologis Roihan di sekolah tersebut. Sangat menderita. Apalagi ‘peruntuhan kepercayaan diri’ tersebut terus dilakukan oleh guru-guru yang tidak bertanggung jawab secara terbuka di depan siswa-siswa yang lain. Roihan akhirnya tidak mau sekolah lagi.

Orangtuanya bingung dan stres. Dan saya sempat terpana mendengar cerita orangtuanya tentang Roihan. Wow .. saya langsung ingat mas Hernowo dan bu Lara, yaitu penyakit mengobok-obok siswa. Ternyata masih ada saja potret buram pendidikan di negeri kita.

Tips saya kepada orangtuanya sebagai berikut:
Selamatkan Roihan dari ‘sekolah robot’ tersebut. Pindahkan Roihan ke ‘sekolahnya manusia’. Saya ceritakan bagaimana kisah Totto Chan juga pindah dari sekolah robot ke sekolah Tomoe Gakuen, sekolahnya manusia. Totto Chan diselamatkan oleh sekolah ini dan sekarang Totto Chan, nama aslinya Tetsuko Kuroyanagi berhasil menjadi duta UNICEF untuk program pendidikan bagi negara-negara yang terbelakang. Dan alhamdulilah Roihan pada tahun ajaran ini sudah dipindahkan ke sekolahnya manusia. Semoga Roihan akan menjadi seperti Totto Chan dan sukses dalam kehidupannya di dunia dan di akherat.


Lalu masukan saya kepada masyarakat konsumen pendidikan, bahwa kita semua harus hati-hati dan cermat memilih sekolah untuk anak kita. Terkadang ada bungkus cantik yang memperdaya kita. Bungkus itu seperti embel-embel sekolah favorit, sekolah unggul, padahal di dalamnya adalah ‘penjara’ buat anak kita. Kita orangtua tidak bisa merasakan, namun anak kita bisa. Sekolah robot adalah sekolah yang para gurunya juga robot. Guru robot adalah guru yang ingin ambil gampangnya saja. Mereka ingin mengajar anak yang pinter-pinter dan baik-baik. Mereka sangat membenci anak yang kurang pandai dan nakal.

Untuk membedakannya dengan sekolahnya manusia, dengarlah munajat doa yang dilantunkan oleh seorang guru di sekolahnya manusia. Dialah gurunya manusia.

“Alhamdulillah ya Allah, tahun ini aku mendapat karunia dengan masuknya anak-anak yang luar biasa, yang mana dengan anak-anak ini aku akan tertantang menjadi agent of change buat diri mereka dan diriku sendiri. Terima kasih ya Allah ... tahun ini aku belajar dari siswaku yang ‘tidak bisa diam’, aku belajar dari siswaku yang sulit untuk memahami materi, aku belajar dari siswaku yang nakal, yang setiap hari terus menggodaku.
Aku benar-benar bersyukur ya Allah, Engkau hadirkan mereka untuk aku. Bagiku mereka adalah rizki. Bagaimana tidak, ilmuku bisa bertambah dengan kehadiran mereka. Kesabaran ku bisa berlipat-lipat dengan kehadiran mereka.
Dan yang paling aku nikmati adalah ketika mereka tersenyum dan membisikkan sebuah kalimat di telingaku ..’guru ... ternyata aku bisa!’
Bagaimana aku tidak berterima kasih kepadaMu Ya Allah, jika kenikmatan hati ini terus setiap hari muncul di kelasku.
Ya Allah ...berikan kekuatan kepada ku, untuk terus berjuang menjadikan mereka insan-insan yang nanti akan mempunyai manfaat, baik bagi dirinya sendiri, keluarnya, masyarakatnya, bangsanya dan bagi agamanya. Amien ya robbal alamien (Munif Chatib)