Monday 28 June 2010

Persaingan Si Kakak dan Si Adik

 

Waspadalah. Tanpa intervensi, sibling rivalry bisa berlanjut hingga dewasa.

Mitha (13 tahun) merasa kesal karena selalu disuruh mengalah pada adiknya,
Viera (10). ”Kenapa sih dari dulu saya disuruh mengalah terus,” teriak gadis
cilik yang menginjak remaja itu.
Bila Mitha sedang bermain sesuatu, adiknya sering merebutnya. Demikian pula
sebaliknya, Mitha juga sering mengganggu adiknya, sehingga hampir setiap hari
dia rumahnya terjadi keributan di antara kakak beradik ini. Bila sudah
demikian, ayah atau ibunya selalu menyuruh Mitha mengalah. Sebab, Mitha kan
‘lebih besar’. Hal seperti itu terjadi sejak mereka masih kecil. Perselisihan
model Mitha dan adiknya, menurut psikolog dari RS Dr Sardjito/Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwi Susilowati SPsi, merupakan
sibling rivalry alias persaingan antarsaudara kandung.

Fokus perhatian

Sibling rivalry adalah hal yang wajar pada anak menyesuaikan dengan kondisi
yang baru. Biasanya muncul jika ada kelahiran anak kedua, dan anak pertama
belum dipersiapkan lebih dulu bahwa dia akan mempunyai adik. ”Orang tua yang
tadinya fokus perhatiannya hanya pada anak pertama (ketika belum punya adik),
namun sejak kehadiran anak kedua, orang tua secara tidak sadar akan lebih fokus
ke anak kedua,” tutur Kiki, panggilan akrab Dwi Susilowati.
Karena itu bila orang tua berniat untuk mempunyai anak lagi, saran dia, si
kakak harus dipersiapkan sejak si adik masih dalam kandungan. Misalnya, si
kakak diberi tahu bahwa dia akan mempunyai adik dan bila ada adik, mainnya
lebih enak daripada main sendiri.

”Kemudian kita yakinkan bahwa dengan kehadiran adik, adik masih lemah,
sehingga apa-apa harus dibantu, kakak kan sudah bisa main sendiri, mengambil
sendiri,” kata Kiki, ”Dengan demikian anak akan memahami bila si ibu atau
ayah akan lebih mendahulukan adiknya.”
Kadang-kadang si kakak akan mengalami kecemburuan dengan adanya adik baru.
Tetapi, dengan bertambahnya usia, justru adik yang mengalami kecemburuan.
Misalnya, kakak usia lima tahun sudah bisa naik sepeda, sedangkan adik usia 2-3
tahun belum bisa naik sepeda dan ia iri pada kemampuan si kakak.

Cari penyebabnya

Kebanyakan sibling rivalry dialami oleh anak-anak sesuai tahapan perkembangan.
Misalnya, pada usia 2-3 tahun anak sedang berkembang keakuannya, ingin
dihargai, ingin diakui bahwa mereka nomor satu dan paling disayangi orang tua.
Sehingga orang tua penting mengatur trik-triknya. Misalnya: kakak pintar dan
bagus dalam hal merapikan pakaian, adik pintar bila bertemu orang langsung
bersalaman, sehingga tidak ada pembedaan. ”Kita memperlakukan adik dan kakak
sama, tetapi tidak membandingkan atau membedakan,” kata Kiki.

Tetapi kadang sibling rivalry itu tidak terjadi saat anak masih balita,
melainkan ketika sudah usia SD. Misalnya, anak ingin nomor satu, ingin mendapat
perhatian lebih dari orang tua, dan sebagainya. Sibling rivalry juga bisa
muncul antar sepupu. Misalnya, ketika pascagempa di Yogyakarta, orang tuanya
menampung keluarga kakak/adik yang rumahnya hancur. Dulu ketika berbeda rumah,
si anak mau berbagi dengan sepupunya. Tetapi ketika saudara sepupunya tinggal
serumah, si anak tidak mau lagi berbagi.

Menurut Kiki, sebetulnya yang penting adalah bagaimana orang tua menyikapi
lebih dari satu anak, bagaimana membagi perhatian kepada anak-anak dan
menyikapi terjadinya persaingan/kecemburuan tersebut. Namun, sering kali sikap
orang tua dengan sadar atau tidak menyuruh si kakak mengalah dengan adik,
menyuruh menjaga si adik, karena si kakak sudah besar.
”Sikap itu justru akan menjadikan sikap kecemburuan yang besar si kakak
terhadap si adik,” katanya. Menurut alumni Fakultas Psikologi UGM ini, adalah
tidak bijak jika kakak disuruh selalu mengalah. ”Kita harus melihat latar
belakangnya penyebab kenapa ramai antara kakak dan adik? Untuk itu harus ada
pendekatan lain.” Apabila kakak dan adik selalu bertengkar, dua-duanya harus
salah dan menanggung akibat.

Introspeksi dulu

Selanjutnya, Psikolog dari RS Dr Sardjito/FK UGM Dra Yemima Triwuryani Psi,
lebih mengartikan sibling rivalry sebagai emosi iri yang terjadi antarorang
yang mempunyai hubungan dekat. Emosi iri atau iri hati itu harus dikendalikan,
karena tidak sehat. Bagaimanapun iri hati itu buruk, kalau dia sampai bersikap
positif itu karena dia justru bisa mengendalikan iri hati. Sibling rivalry yang
terjadi sejak usia anak-anak, jika tidak diintervensi dengan baik itu akan
berlanjut sampai dewasa. Emosi iri itu sulit menyelesaikannya, karena
percampuran dari marah, benci, dan cinta.

Dalam menyelesaikan masalah sibling rivalry yang terjadi antara kakak-beradik,
orang tua harus menganalisis dulu, kira-kira apa penyebabnya? ”Itu pertanyaan
yang tidak mudah untuk dijawab dan harus betul-betul ada kesungguhan dan
pengertian orang tua untuk mengerti anaknya, baik yang diirikan maupun yang
tidak,” tutur Yemima. Banyak kasus penyebabnya secara fisik, misalnya: satunya
cantik dan satunya tidak, satunya kulit hitam dan putih.

Orang tua di bawah sadar kerap membedakan hal itu. Sebab, orang tua mempunyai
pandangan hidup, filsafat hidup mengenai orang, misalnya orang itu bahagia
kalau pandai, cantik, putih kulitnya, dan itu terekspresi ketika punya anak.
Berbeda halnya bila pandangan orang bahwa bahagia itu adalah orang yang
jalannya lurus dan baik. Soal orangnya pendek, hitam, tidak terlalu pandai, itu
tidak masalah.

Jadi, kata Yemima, bila mau memanage atau mengintervensi anak yang sibling
rivalry, orang tuanya harus melakukan introspeksi diri lebih dulu. Sesungguhnya
setiap orang itu ada emosi iri, tetapi ada yang mampu mengendalikan.
Anak-anak yang tidak bisa mengendalikan emosi iri akan berperilaku negatif.
Anak akan berperilaku buruk supaya orang tua marah, dia akan ‘menghukum’ orang
tua.

Dampak iri hati itu adalah anak banyak menuntut secara materi. Dan, orang
tua bertugas bagaimana agar sang anak tidak dikuasai emosi iri. Yemima
menyarankan agar orang tua memberi dukungan dan perhatian kepada anak yang
dalam posisi ‘kurang’ dari saudaranya. Yang sering banyak terjadi justru yang
banyak kekurangan itu yang sering disalahkan. Jika tidak bisa mengatasi sibling
rivalry yang terjadi, Yemima menyarankan orang tua agar tak segan meminta
bantuan orang yang profesional.(republika.co.id)

Saturday 26 June 2010

Agar Anak Tak Cengeng

1. Khawatir boleh,tapi jangan berlebihan.
Kendalikan kekhawatiran ibu,jangan dinampakkan di raut muka.Separah apapun kondisi anak,ibu hrs terlebih dahulu menenangkan diri.

2. Tegas itu perlu.
Tindakan ibu yg sesekali mengabulkan permintaan anak dan menolaknya di kesempatan yg lain akan membuat anak tak memiliki kepastian.Anak akan menangis dgn harapan ibu akan menuruti permintaannya.Kecuali jika mrk tahu pasti bhw ibu tak akan mengabulkan permintaannya,mrk tak akan menangis,krn tahu akan sia-sia.

3. Penuhi rasa aman
anak.
Jangan memaksa anak utk menghilangkan rasa takutnya.Hindari komentar seperti,"Tak usah takut,nggak ada apa-apa kok."Atau,"Ah,begitu saja kok takut."
Ketika anak menangis,peluk mrk terlebih dulu utk menumbuhkan perasaan aman.Satu atau dua menit berikutnya,barulah mrk bisa diyakinkan bhw kekhawatiran mrk tak terjadi.

4. Latih anak menguatkan mentalnya.
Ketika anak menghadapi suasana menegangkan,latih mrk utk menguasai diri.Saat mrk mulai menangis,tenangkan hati mrk dgn sabar.
"Sabar, sayang.Kita cari bersama trukmu yg hilang.Kalau kau mencarinya dgn menangis,justru tdk akan terlihat olehmu."

5. Beri pujian ketika berhasil.
Jangan pusatkan perhatian pada kesalahannya.Diamkan dan jangan beri perhatian baik berupa kata penghibur atau omelan saat anak menangis tanpa sebab.Sebaliknya,segera beri pujian,perhatian,dan sentuhan kasih sayang manakala anak sesekali berhasil menahan tangisnya.
(Irawati Istadi)